Setelah bekerja sepanjang hari, Febi tidak bertemu Julian. Ketika Febi pulang kerja, dia berjalan turun dari gedung administrasi Hotel Hydra sambil bergandengan tangan dengan Tasya. Saat dia sampai di lantai pertama, tanpa sadar dia memeriksa waktu, kemudian melirik lift khusus direktur.
Tidak tahu bagaimana dengan cedera Julian hari ini.
Tasya melihat semua ekspresi Febi dan menabrak bahunya dengan ambigu, "Kamu terus-menerus melihat ke belakang, kenapa kamu tidak menunggunya di sini saja?"
"Jangan omong kosong." Febi memalingkan wajahnya, "Aku hanya melihat-lihat saja."
Keduanya berjalan beriringan menuju pintu hotel. Ponsel Febi berdering sebentar, itu adalah pesan teks dari Julian.
Isinya sangat singkat.
"Masih rapat, kamu kembali dulu, tidak perlu menungguku untuk makan malam."
Setelah membacanya, dia dengan cepat memasukkannya ke dalam tasnya, tapi mata Tasya yang seperti sinar-X sudah melihat dengan jelas. Kali ini, Tasya malah tidak menggodanya, tapi malah bertanya dengan tegas, "Febi, katakan yang sebenarnya, kapan kamu akan bercerai dengan Nando? Benar-benar bukan pilihan tepat kamu menghabiskan waktu seperti ini."
Setelah Tasya mengungkit masalah ini, Febi pun teringat dengan masalah besar ini.
Dia memberi Nando tenggat waktu, mengapa hari ini dia tidak datang menemuinya?
Dia mengeluarkan ponselnya dan berniat untuk menelepon Nando. Namun sebelum Febi menelepon, sebuah panggilan masuk terlebih dahulu.
"Baru saja dibicarakan, dia sudah meneleponku." Febi mengangkat teleponnya.
Tasya mengangkat alisnya untuk melihat, dia hanya melihat serangkaian nomor yang tidak dikenalnya, "Nando?"
"Hmmm. Mungkin ingin berbicara tentang perceraian denganku."
"Kalau begitu kenapa kamu masih bertele-tele? Cepat angkat!" Tasya bahkan lebih bersemangat darinya dan menabraknya. Ketika Febi mengangkat telepon itu, Tasya segera menundukkan kepalanya dan menempelkan telinganya.
Mereka hanya mendengar suara Nando yang berbicara terlebih dulu.
"Kamu di mana?"
Hanya tiga kata sederhana, tapi malah membuat Febi sedikit mengernyit.
Dengan pemahaman Febi terhadap Nando, dia segera mengetahui ada yang tidak beres dengannya. Nando telah minum.
"Baru pulang kerja, apa kamu sudah menandatangani surat cerai?" Febi tidak berniat berbasa-basi dengannya. Bahkan tanpa kehadiran Julian, Febi juga tidak dapat menemukan alasan untuk mempertahankan pernikahan ini.
Tentu saja, Julian tidak diragukan lagi menjadi pendukung yang terkuat. Tidak peduli saat dia kondisi sedih atau memalukan, asalkan Febi teringat masih ada orang yang memberikan dukungan hangat di sisinya, hatinya akan merasa jauh lebih baik.
Di sisi lain....
Napas Nando sangat berat dan tertekan. Febi dan bahkan Tasya yang "menguping" juga merasakan sesak di dada mereka. Keduanya saling memandang dengan tatapan aneh, kemudian mereka mendengar suara yang datang dari sana.
"Apa kamu sangat ingin meninggalkanku?" Suaranya sedih dan kesepian, juga terdengar sedikit gemetar.
Febi tidak tersentuh sedikit pun, "Sudah terlambat bagi kita untuk mengatakan ini sekarang."
"Aku akan menunggumu di depan pintumu. Kembalilah!" kata Nando.
"Oke, aku akan segera ke sana," jawab Febi dengan singkat dan menutup telepon. Tasya mengerutkan kening, "Dia sepertinya tidak mau menceraikanmu."
"Dia hanya tidak senang kata 'cerai' diusulkan olehku, dia merasa itu menjatuhkan harga dirinya yang telah dia bangun sejak masih kecil. Sebagian besar dia hanya merasa tidak rela," jelas Febi.
Dia selalu merasa alasan mengapa Nando begitu tidak ingin melepaskannya bukan karena cinta. Pria itu sama sekali tidak mengenal cinta!
"Tidak peduli bagaimanapun, aku merasa bahagia mendengar penampilannya yang kesepian sekarang. Dia juga pantas mendapatkannya. Benar-benar tidak sia-sia kita memberikan mereka krisan putih!" Teringat akan masalah itu, Tasya masih merasa sangat kesal. Detik berikutnya, wajahnya berubah menjadi tersenyum lagi, "Untungnya, kamu bertemu dengan seorang pria yang seratus kali bahkan seribu kali lebih baik darinya, kita benar-benar bisa membanggakan hal ini!"
Berbicara tentang Julian, Febi mengangkat bibirnya dan tersenyum.
...
Setengah jam kemudian, Febi kembali ke Jalan Akasia.
Febi turun dari mobil dan berjalan menuju gedung. Di kejauhan, dia melihat mobil Hummer yang familier sedang diparkir di bawah gedung. Staf terus mengetuk jendela mobil Hummer, "Pak, tidak diperbolehkan parkir di sini, silakan kendarai mobil ke garasi di bawah."
Namun, tidak peduli bagaimana staf itu mengetuk, jendela tidak diturunkan dan mobil tidak bergerak.
"Pak!" Pihak lain mengetuk lebih keras.
Febi sedikit mengernyit.
Apa yang sedang Nando lakukan?
Dia tidak mendekat, tapi hanya mengeluarkan ponselnya dari tasnya dan menelepon Nando. Telepon berdering beberapa kali, kemudian baru diangkat. Dari telepon, Febi juga bisa mendengar suara staf.
"Nando, cepat pergi ke garasi bawah. Tidak diperbolehkan parkir di sini," kata Febi untuk mengingatkannya.
Di sana, tidak ada suara. Febi mendongak dan melihat jendela mobil perlahan diturunkan.
Wajah yang familier muncul di depannya. Dia jelas minum banyak. Saat jendelanya diturunkan, bahkan Febi yang berjarak dua meter bisa mencium bau alkohol.
Wajah tampan itu mabuk. Di bawah sinar matahari terbenam yang seperti darah, Nando meliriknya dengan tatapan mengejek dan sedih.
"Pak, kamu minum begitu banyak alkohol dan masih mengemudi? Ini akan berakibat serius!" tegur sang staf.
Dia tersenyum dan meremas ponselnya.
Nando jelas berbicara dengan staf, tapi matanya menatap lurus ke arah Febi, "Tidak apa-apa, tidak akan terjadi apa-apa, istriku ada di sini...."
"Istrimu?" Staf mengikuti pandangannya dan melihat Febi berdiri di sana sambil memegang ponsel.
"Kak, apakah dia suamimu? Dia sangat mabuk dan mobil tidak boleh diparkir di sini."
Febi menutup telepon dan berjalan dengan wajah dingin, "Apa yang kamu lakukan?"
Nando juga melemparkan ponsel ke samping, lalu membuka pintu mobil dan keluar. Dia benar-benar minum banyak alkohol, bahkan langkahnya sedikit tidak stabil dan matanya menunjukkan dia mabuk.
Febi mengerutkan kening dan memperhatikannya, tapi dia tidak melangkah maju untuk memapahnya. Nando mengulurkan tangan dan meraih pergelangan tangan Febi yang ramping.
"Febi, kamu adalah istriku!" Tiba-tiba dia membuka suara. Setiap kata itu diucapkan dengan sangat keras, seolah-olah dia terlalu mabuk dan tidak bisa berpikir. Jadi, dia hanya bisa mengulanginya, "Kamu adalah istriku. Aku adalah suamimu! Kita adalah suami dan istri yang sah!"
"Nando, bolehkah kamu tidak menggila karena alkohol?" Febi merasa tidak berdaya dan ingin melepaskan diri dari tangannya.
Hari ini, Nando sangat aneh.
Namun, Nando memegang erat-erat dan menolak untuk melepaskan Febi.
"Aku tidak mabuk, pikiranku sangat jernih." Sudah berapa banyak dia minum? Dia tidak ingat lagi. Dia ingin membuat dirinya mabuk dan melumpuhkan ingatannya, tapi....
Dia menyadari....
Semakin dia merasa sedih, dia semakin sulit mabuk.
Foto-foto yang tidak sedap dipandang itu, satu per satu melintas di benaknya. Setiap foto bagaikan pisau tajam yang menusuk langsung ke dadanya, hingga membuatnya sulit bernapas.
"Kalian berdua, bolehkah kalian membicarakan urusan keluarga kalian setelah kalian kembali? Di sini benar-benar tidak diperbolehkan untuk parkir. Ini adalah aturan gedung ini. Mohon pengertian kalian," bujuk Staf dengan pelan.
Melihat Nando telah mabuk, staf berkata kepada Febi, "Suamimu sudah mabuk, jangan minta dia mengemudi daripada menabrak mobil di garasi. Di sana semua adalah mobil mewah dan aku tidak mampu untuk bertanggung jawab. Kamu yang kendarai saja."
"Dia akan segera pergi," jawab Febi. Dia menundukkan kepalanya untuk melepaskan tangan Nando dan berkata dengan wajah tanpa ekspresi, "Kamu telepon sopir untuk datang menjemputmu, aku tidak punya waktu untuk melayanimu sekarang."
Sambil berkata, Febi berbalik untuk pergi.
"Febi!" panggil Nando dari belakang.
Febi tidak menghentikan langkah kakinya.
"Febi, berhenti!" Nada suaranya jelas sudah kesal.
Febi masih tidak menoleh ke belakang.
"Apakah sekarang aku mengendarai mobil dan ditabrak hingga mati di jalan, kamu juga akan berjalan tanpa menoleh ke belakang seperti ini?" Mungkin karena sedang minum, saat ini suara Nando terdengar sedikit serak.
Di senja seperti itu, bahkan ada beberapa kesedihan yang tak dapat terlukiskan.
Febi sedikit mengernyit dan berhenti sebentar.
Sebenarnya apa yang ingin Nando lakukan hari ini? Melihat situasi ini, sepertinya dia sama sekali tidak ingin berbicara tentang perceraian.
"Hei, bagaimanapun dia adalah suamimu. Suami istri bertengkar tidak akan lama, kenapa kamu begitu tidak berperasaan?" bujuk staf itu.
Febi perlahan berbalik dan menatap Nando dengan mata jernih, tanpa ada emosi apa pun, "Selain bercerai, kita tidak punya apa-apa untuk dibicarakan. Jadi, kalau kamu bukan untuk memberikan surat cerai padaku, kelak tolong jangan meneleponku lagi. Besok aku akan meminta pengacara pergi langsung ke Perusahaan Dinata untuk mencarimu!"
Febi langsung menyelesaikan kata-katanya tanpa ada perasaan nostalgia, tapi dia sangat tidak berperasaan dan tegas.
Tangan Nando mengepal.
Setelah mendengar kata-kata Febi, depresi dan rasa sakit yang mengakar di dada Nando dengan cepat membengkak dan berubah menjadi batu berat yang menekan erat dadanya.
Akan tetapi....
Bayangan itu berjalan ke dalam gedung tanpa berhenti.
Di bawah cahaya samar matahari terbenam....
Tubuh ramping itu, selangkah demi selangkah berjalan dan menghilang dari pandangannya....
Seakan-akan Febi juga perlahan-lahan melangkah keluar dari dunianya....
Nando merasa seperti seseorang mencekik tenggorokannya. Matanya menjadi dingin, lalu dia mulai mengejar. Staf menangkapnya dan berkata, "Pak, kamu tidak bisa pergi begitu saja. Mobilmu belum diparkir!"
Nando dengan cepat mengeluarkan dompet dan memberikan semua uang pada staf itu.
"Parkirkan mobil di garasi, uang ini akan menjadi milikmu."
Jumlah uang itu sangat banyak.
Hanya untuk memarkir mobil dan staf secara alami bersedia melakukannya.
Staf mengambil uang itu. Melihat Nando telah berlari untuk mengejar Febi, dia berteriak dari belakang, "Seorang wanita hanya perlu dibujuk, peluk dan kamu akan segera menaklukkannya! Setelah selesai, kembali ke sini untuk mengambil kunci!"
...
Lift langsung naik.
Febi bersandar ke dinding lift dengan lelah. Dari awal dia sudah lama berpikir Nando tidak akan menceraikannya dengan mudah. Dia benar-benar tidak tahu mengapa Nando masih berjuang hingga sejauh ini.
Setelah bercerai, mereka akan menjadi orang asing dan tidak memiliki hubungan apa pun, hidup mereka pun bisa lebih tenang. Kenapa Nando harus berbuat seperti ini? Tidak hanya mempersulit Febi, dia juga mempersulit dirinya sendiri, bahkan Vonny dan anak di dalam rahimnya.
Ketika Febi sampai di pintu, dia mengambil kunci untuk membuka pintu dan masuk.
Saat hendak menutup, pintu didorong dengan kuat dari luar. Dia mengangkat kepalanya dan melihat tubuh tinggi Nando sudah masuk.
Kemudian, ada bau alkohol di udara yang tercium oleh Febi.
Febi mengerutkan kening, "Kenapa kamu datang?"
Nando mendorong pintu hingga terbuka lebar, lalu menatapnya dengan matanya yang gelap, tatapan itu seolah ingin menembus Febi. Bahaya di dalam mata itu membuat Febi menelan ludah dan tanpa sadar menggenggam tas di tangannya.
Tubuh Nando yang tinggi dan lurus tiba-tiba mendekatinya.
Febi langsung mundur dan tubuhnya langsung melewati pintu masuk dan masuk ke dalam ruangan.
Ada api kemarahan dalam mata Nando. Tatapannya tajam, seolah ingin mencabik-cabik seluruh tubuhnya.
Rasa dingin menyeruak dari telapak kakinya, Febi bergidik tanpa sadar dan berkata, "Nando, berhenti! Berdiri saja di sana dan jangan bergerak!"
Namun bagaimana mungkin Nando akan mendengarkannya?
Sekarang....
Memikirkan foto-foto itu, Nando tiba-tiba kehilangan akal sehatnya.
Dia melangkah ke depan bagaikan macan tutul liar yang langsung menjatuhkan Febi ke sofa di belakangnya. Gerakannya lincah dan tajam, hingga Febi sama sekali tidak memiliki ruang untuk melarikan diri atau menolak.
"Apa yang sedang kamu lakukan?"
Febi segera meronta, dia berjuang untuk melepaskan tubuhnya.
Namun, begitu Nando menekankan kakinya, dia dengan mudah mengunci kaki Febi yang sedang menendang.
Menyadari apa yang ingin dia lakukan, Febi mengangkat tangannya dan menamparnya dengan keras. Nando tidak bergerak sama sekali. Dia meraih tangannya, mengangkat dan menekan tangan Febi ke atas kepalanya.
"Kamu kecanduan menamparku, bukan?" Sambil menggertakkan giginya, setiap kata yang diucapkan Nando terasa dingin dan keras bagaikan batu yang keluar dari bibirnya.
"Kalau kamu berani menyentuhku lagi, aku tidak hanya akan menamparmu, tetapi juga menuntutmu!" Febi juga menggertakkan giginya.
Aku ingin melihat undang-undang mana yang menetapkan seorang suami dilarang berhubungan dengan istrinya?" Nando mencubit dagu Febi dengan satu tangan dan mengangkat wajahnya yang enggan, "Febi, aku sudah memperingatkanmu, kamu akan selalu menjadi wanitaku. Tidak ada pria yang boleh menyentuhmu kecuali aku!"
Apa?
Betapa konyolnya ini?
Apakah hanya Nando yang boleh bertindak seenaknya, sedangkan Febi tidak boleh melakukan apa pun?
Nando benar-benar berpikir hati Febi bukan terbuat dari daging? Bisakah dia menahannya? Menahan semua itu?
"Kalau aku sudah disentuh. Selain itu, aku sudah disentuh berkali-kali, apa yang akan kamu lakukan? Membunuhku?" Febi menatap langsung ke arahnya dengan ekspresi menantang.
Awalnya Nando sudah merasa sangat marah dan sekarang dia kembali dirangsang oleh Febi, seketika kemarahan itu kobaran api besar. Dalam sekejap, kecemburuan membakar akal sehatnya hingga menjadi abu.
"Aku tidak akan membunuhmu, tapi aku akan membiarkanmu mengerti siapa priamu!"
Mata Nando berkilat dingin.
Mata itu menatapnya dari atas ke bawah, bagaikan binatang yang tidak berperasaan hingga membuat orang bergidik.
Tanpa sadar Febi bergidik dan menatapnya dengan waspada, "Apa yang ingin kamu lakukan?"
"Membuatmu sadar!" jawab Nando. Pada saat berikutnya, dia mengulurkan tangan dan merobek pakaian Febi.
Bukan pertama kalinya Febi dipermalukan olehnya seperti ini, tapi dia masih ketakutan. Febi mengerahkan kekuatan dan tangannya terlepas dari telapak tangan Nando, lalu dia segera menutupi kerah kemejanya, "Dasar Gila! Keluar dari sini!"
"Kamu benar, aku gila!"
Nando berteriak, "Aku orang gila, jadi aku tidak menginginkan kamu selama dua tahun dan membiarkan kamu jatuh ke tangan lelaki jahat yang lain! Aku orang gila, itu sebabnya aku membiarkan Julian merebut istriku!"
Pada saat ini, Nando sudah sangat marah. Dia mengulurkan tangannya dan merobek baju di tubuh Febi hingga menimbulkan suara desir.
Febi merasakan udara dingin dan tersentak kaget, wajah menjadi pucat dan tidak berdarah.
Kancing-kancing pada kemeja itu terjatuh ke lantai. Kulit seputih salju terlihat dan terlihat oleh Nando hingga napasnya tiba-tiba menjadi sesak.
Di matanya, terlintas cahaya keinginan.
Mata itu membuat Febi merasa malu dan dia semakin merasa putus asa....
Rongga mata tiba-tiba menjadi merah. Febi mengulurkan tangan untuk meraihnya, tapi Nando dengan mudah meraih kedua tangan Febi dan meletakkan di belakang punggungnya. Saat berikutnya, Nando menarik Febi untuk duduk, "Febi, hari ini aku akan membuatmu mengingatku dengan baik! Ingat bahwa di antara kita, tidak hanya pernikahan yang bisa dibicarakan!"
Kata-katanya sangat dingin....
Kesejukan itu menembus dari kulit ke dalam setiap pori-porinya dan menembus ke dalam hatinya....
Febi menatap Nando dengan sedih. Sampai sekarang, Febi masih menahan air matanya. Hanya saja air mata yang tergenang di dalam matanya membuat orang merasa kasihan.
"Nando ... kalau hari ini kamu berani menyentuhku, aku akan membencimu seumur hidupku...."
Tangan Nando yang perlahan-lahan menjulur ke bawah berhenti sejenak karena kata-kata Febi. Namun, detik berikutnya, terlintas kekejaman dan ketegasan di matanya, "Bahkan kalau kamu membenciku, aku akan menjadikanmu wanitaku! Febi, mulai hari ini dan seterusnya, kamu adalah milikku!"