Namun, detik berikutnya, terlintas kekejaman dan ketegasan di matanya, "Bahkan kalau kamu membenciku, aku akan menjadikanmu wanitaku! Febi, mulai hari ini dan seterusnya, kamu adalah milikku!"
Saat Nando mengatakannya, dia seakan dirasuki oleh iblis. Dia menggerakkan tangannya ke atas dan ke bawah, hingga membuat Febi menangis, "Nando, berhenti ... jangan sentuh aku...."
Air mata yang terjatuh membuat mata Nando menegang, ada rasa sakit yang luar biasa berkedip di dalam matanya.
Namun....
Ketika Nando berpikir Febi juga berada di bawah tubuh pria lain dengan penampilan seperti ini, kecemburuan di hatinya tumbuh dengan gila.
Nando tidak boleh melepaskannya!
Tidak boleh!
Begitu Nando melepaskannya, wanita ini ... benar-benar tidak akan pernah menjadi miliknya lagi....
"Aku tidak bisa berhenti! Aku menginginkanmu!" Suaranya yang kasar dipenuhi dengan depresi dan rasa sakit yang dalam. Bahkan Nando sendiri juga tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Dulu, seberapa ingin dia menyingkirkan wanita ini, maka sekarang seberapa kuat pula keinginannya untuk mendapatkan dan tidak ingin melepaskannya.
Nando jelas mengetahui dirinya dan Febi sudah tidak memiliki masa depan lagi. Melepaskan mungkin menjadi pilihan terbaik bagi mereka sekarang. Namun, Nando tidak mampu membohongi perasaannya....
Nando mencium air mata di wajah Febi dengan obsesif dan bergumam dengan mabuk, "Febi, aku telah diracuni olehmu. Aku mencintaimu ... bagaimana aku bisa melepaskanmu?"
Cinta?
"Aku tidak butuh cintamu! Aku hanya membencimu! Aku benci kamu!"
Jika cinta Nando selalu memberikan luka padanya, maka....
Febi tidak mampu menerimanya!
Namun....
Nando seakan kerasukan. Dia tidak bisa berpikir jernih, seakan ada iblis yang hidup di dadanya dan terus-menerus berteriak dia menginginkan Febi! ingin dia!
Sambil terengah-engah, Nando menarik ritsleting pakaiannya.
"Ah.... Jangan!" Febi benar-benar ketakutan. Dia menjerit dan sekujur tubuhnya bergemetar.
Gelombang keputusasaan yang dingin terus naik ke tubuh Febi. Febi sudah tidak dapat menahan air mata.
"Selamatkan aku...." Julian....
Tangisan menyedihkan disertai isakan minta tolong keluar dari mulutnya. Febi bagaikan binatang kecil yang terluka, dia berteriak secara acak, "Julian ... selamatkan aku ..."
Dia tidak mau memberikan pertama kalinya kepada Nando! tidak mau!
Febi yang memanggil nama Julian membuat mata Nando tiba-tiba terbelalak. Seketika, matanya tiba-tiba memerah.
"Febi, bahkan hari ini kamu membunuhku pun, aku tidak akan melepaskanmu! Julian juga tidak bisa menyelamatkanmu!" Nando menggertakkan giginya dan tindakannya menarik pakaian Febi menjadi lebih kasar.
Febi mencoba mengencangkan tubuhnya, tapi di hadapan iblis yang marah, dia sama sekali tidak bisa melawannya.
Saat berikutnya, Febi mendengar suara "srek", kain tebal telah terobek. Febi tampak memalukan, tertekan dan pakaiannya compang-camping. Dia sangat malu sehingga terseduh-seduh dan air matanya semakin deras.
Pada saat ini....
Dalam benaknya, hanya ada bayangan tinggi yang mondar-mandir.
Julian....
Julian....
Jika kali ini, dia tidak bisa menjaga dirinya sendiri. Maka, tidak ada kemungkinan lagi antara Febi dan Julian....
Hati Febi terasa sakit bagaikan ikan yang terpisah dari air. Dia membuka bibirnya dan tiba-tiba menggigit bahu Nando. Kekuatannya sangat berat, seolah ingin melampiaskan segala keluh kesah di hati dan tubuhnya.
Nando mengerang kesakitan, tapi dia tidak melepaskannya. Dia hanya menatap mata Febi dengan erat, "Febi, gigit aku kalau kamu membenciku. Tapi bahkan kamu menggigitku sampai mati pun, aku tidak akan melepaskanmu!"
Febi menggigit dan tidak bisa melepaskannya, air mata mengalir dengan deras...
Telapak tangan besar Nando menjulur ke belakang Febi, mencoba untuk melepaskan pakaian dalamnya. Febi menangis dan sekujur tubuhnya bergemetar.
Seakan ada luka yang muncul di kulit yang sedingin es.
Tepat ketika dia tenggelam di dalam keputusasaan dan kepanikan....
Tubuhnya tiba-tiba terasa ringan.
Detik berikutnya, Nando diangkat dan dilempar ke belakang.
Melalui mata yang berlinang air mata, tubuh yang tinggi dan besar itu terlihat olehnya.
"Julian ..." panggil Febi tanpa sadar dan segera melompat dari sofa.
Julian menarik Febi ke dalam pelukannya dengan satu tangan, memberinya dukungan yang paling dapat diandalkan.
Sampai sekarang, Julian masih bisa merasakan seluruh tubuh Febi yang bergemetar. Julian bahkan tidak berani membayangkan apa konsekuensinya kalau dia terlambat satu langkah!
Julian menatap Nando dengan dingin, tubuhnya memancarkan permusuhan dan ketegasan yang menyeramkan.
Julian melepas pakaiannya dan mengenakan di tubuh Febi. Setiap jarinya yang kaku menunjukkan kemarahannya saat ini.
Air mata Febi tiba-tiba mengalir ke leher Julian.
Berada di dalam pelukan Julian, kepanikan, ketakutan dan keputusasaan Febi berangsur-angsur memudar, digantikan oleh ketenangan yang tak terlukiskan....
Selama ada Julian, seolah-olah seberapa kacau pun situasi yang Febi alami, Julian akan dengan mudah menyelesaikannya. Kesedihan Febi semua hilang karena Julian.
"Patuhlah, pergi dan duduk di samping, aku tidak ingin menyakitimu." Mata yang memelototi Nando sangat tajam, tetapi ketika Julian berbicara dengan Febi, nadanya sangat lembut. Seolah khawatir akan membuat Febi ketakutan.
Pikiran Febi kacau, jadi dia hanya bisa mengikuti instruksi Julian, dia dengan patuh berjalan ke sofa di sampingnya dan duduk.
...
Sial!
Mereka terlihat sangat dekat!
Di depan Julian, Febi berperilaku sangat patuh seperti kelinci kecil yang jinak. Febi tidak terlihat seperti saat berhadapan dengan Nando yang seakan ada duri di sekujur tubuhnya.
Adegan ini berhasil memprovokasi Nando.
Tinjunya mengepal dan matanya merah, "Julian, aku sudah lama ingin memberimu pelajaran!"
"Aku juga!" Julian tidak berbicara omong kosong, dia bahkan tidak peduli dengan cedera di punggungnya. Dia melayangkan tinjunya yang sekeras besi ke arah Nando.
Pukulan itu kejam, akurat dan cepat. Nando tidak mengelak, dia menerima pukulan itu dengan kuat hingga darah langsung mengalir dari lubang hidungnya.
Darah merah gelap, mengalir di wajah tampan yang marah itu hingga terlihat menakutkan. Nando bahkan tidak mengangkat tangannya untuk menyekanya, dia juga melayangkan tinjunya.
Julian melayangkan tendangan dengan indah, Nando menghindar dan dia menyerang Julian bagaikan seekor binatang buas.
Kedua pria itu mulai bergulat.
Tidak ada yang mau kalah!
Dengan cepat....
Hidung Nando membiru dan wajahnya bengkak, mimisannya juga semakin banyak.
Julian tidak lebih baik darinya, luka di tubuhnya terbuka dan darah merembes dari bajunya hingga terlihat menakutkan.
Febi kembali sadar. Saat dia melihat darah di lantai, dia terkejut dan segera bangkit.
Nando mengepalkan tinju ke arah Julian lagi. Febi bergegas mendekat dan dia berdiri di depan Julian tanpa ragu-ragu.
Tinju tidak bisa ditarik kembali lagi dan akan mendarat di wajahnya. Pada saat itu, wajah Julian dan Nando menjadi serius.
Detik berikutnya, tubuhnya sudah ditarik oleh Julian dan mundur dua langkah.
Tatapan matanya sangat jelas menyalahkan diri sendiri.
"Wanita bodoh, apa yang kamu lakukan?" Nando juga ketakutan. Untungnya, dia menghindar dengan cepat. Dia melayangkan tinju itu dengan keras. Jika mengenai wajah Febi, bahkan mungkin menghancurkan pangkal hidungnya.
"Jangan melukai dirimu sendiri, berdiri di samping!" Julian juga berbicara pada saat bersamaan. Dia juga tak lupa merapikan mantel di tubuh Febi.
Dua pria dengan tingkat dominasi yang berbeda.
Akan tetapi....
Febi menolak untuk menjauh.
"Nando, Pergi! Menghilang dari sini, seumur hidup jangan muncul lagi di sini!" ucap Febi sambil menggertakkan giginya.
Febi sebisa mungkin bersikap tenang, tapi jelas dia masih panik dan suaranya masih bergetar.
Tatapan mata yang tegas itu, membuat Nando sedih.
Setelah berkelahi dengan Julian barusan, dia sudah lebih sadar dari pengaruh alkohol. Saat ini, segala macam emosi rumit melonjak di hatinya.
Ada keengganan, penyesalan dan kemarahan....
Nando menatapnya dengan mata yang rumit, seolah mencoba menjelaskan, "Febi, aku...."
"Kamu tidak perlu mengatakan apa-apa, aku tidak ingin mendengar apa pun lagi darimu!" sela Febi. Mengingat betapa terhina dan malunya dia barusan, Febi tidak bisa menahan air matanya dan suaranya menjadi serak, "Jangan muncul di hadapanku lagi, seumur hidup ... aku tidak akan pernah memaafkanmu lagi!"
Nando terkejut.
Febi terus menggertakkan giginya, "Tidak akan pernah!"
...
Alhasil....
Pintu dibanting hingga tertutup.
Pintu yang tebal mengisolasi Nando dari Febi dan Julian di dua dunia yang berbeda.
Nando bersandar di pintu, seperti ayam jago yang kalah.
Dia merasa sedih dan tertekan....
Saat Nando memikirkan dua orang di balik pintu, kecemburuan dan rasa sakit bercampur di dadanya. Perasaan itu terus-menerus menyiksanya....
Bahkan dia tidak merasakan sakit pada luka di wajah dan tubuhnya.
Wanita itu, jelas-jelas Nando masih memiliki akta nikah dengannya. Jelas-jelas Febi tidur di sisinya selama dua tahun. Kenapa mereka berdua bisa sampai dalam titik seperti ini?
Rasa sakit di dada Nando membuatnya sulit bernapas. Dia bersandar di pintu dan membenamkan wajahnya di telapak tangannya dengan putus asa.
...
Begitu Nando keluar, seluruh ruangan menjadi sunyi.
Febi masih dalam keadaan memalukan. Rambutnya acak-acakan dan ujung rambutnya yang basah oleh air mata menempel di wajahnya.
Dia menatap Julian dengan air mata di matanya, lalu mengangkat tangannya untuk mengeringkan air matanya dan berkata, "Tunggu aku, aku akan segera menemanimu ke rumah sakit."
Febi baru berbalik, Julian telah mengulurkan tangan dan meraih pergelangan tangannya. Febi berbalik untuk menatapnya, dia melihat kelembutan dan belas kasihan yang tidak disembunyikan di mata Julian. Untuk sesaat, tatapan itu seakan menyentuh titik paling rentan di dalam hatinya.
Keluhan terus-menerus mengalir.
Mata Julian menyipit, dia mengulurkan tangan dan memeluk Febi dengan erat.
Julian memeluknya dengan erat, seolah-olah dia ingin menyembunyikan Febi di dalam tubuhnya untuk melindunginya dari bahaya.
"Maaf, aku masih terlambat ..." gumam Julian untuk meminta maaf sambil mencium rambutnya.
Febi melingkarkan lengannya di leher Julian dan memeluknya erat-erat, seolah-olah dia telah menemukan penyelamat hidupnya. Tiba-tiba Febi membenamkan kepalanya di leher Julian dan menangis.
"Kalau kamu terlambat sedikit lagi ... aku benar-benar tidak punya apa-apa untuk diberikan kepadamu lagi...." isak Febi.
Satu-satunya hal yang bisa Febi berikan pada Julian adalah pertama kali yang sudah tidak termasuk pertama kali lagi.
Untungnya....
Untungnya masih ada....
Kata-kata Febi mengejutkan Julian, perasaan yang tak terlukiskan melintas di hati Julian.
Julian mengulurkan tangannya, lalu mengangkat wajah Febi yang menangis. Matanya yang gelap menatap Febi dengan tak daya, "Kamu benar-benar membuatku tidak berani menunggu lebih lama lagi...."
Hanya Julian yang tahu betapa dia menginginkan Febi.
Sekarang, suasana hatinya sebenarnya sama dengan Nando.
Julian juga sangat ingin memonopolinya. Selain Julian, tidak ada orang yang boleh mengingini Febi lagi.
Akan tetapi....
Julian jelas tidak akan menggunakan tindakan seperti Nando! Juga bukan sekarang.
...
Luka Julian menjadi lebih parah.
Di dalam bangsal.
Julian melepas bajunya yang bernoda darah, lalu dia berbaring di ranjang rumah sakit.
Ketika dokter masuk dan melihatnya, dia menggelengkan kepalanya, "Ckck."
"Kamu benar-benar berpikir kamu adalah King Kong, kamu terluka begitu parah, masih berani berkelahi!" keluh Dokter sambil mengambil obat. Lalu, dokter melirik Febi yang berdiri di samping, "Kamu juga. Sebagai pacar, kamu tidak memedulikannya, malah membiarkan dia berbuat seenaknya! Sudah tidak menginginkan tangannya lagi, ya?"
Pacar?
Karena tiga kata ini, Febi tanpa sadar menatap Julian. Sebelum Febi menjawab Julian sudah mengulurkan tangan dan meraih tangannya.
Seolah-olah Julian menyetujui kata-kata dokter.
Kehangatan melonjak dari telapak tangannya, membuat tubuh Febi yang dingin terasa jauh lebih nyaman.
Dia bertanya kepada dokter dengan cemas, "Apakah lukanya serius? Apakah dia harus tinggal di rumah sakit malam ini?"
"Perlu menjahit lagi, menurutmu serius tidak?" sela Dokter dengan marah. Febi benar-benar khawatir dengan cedera di punggung Julian, jadi dia tidak punya waktu untuk membalas dokter.
Febi menundukkan kepalanya dan memberi tahu Julian, "Kalau begitu malam ini kamu tinggal di rumah sakit, kamu tidak boleh pergi ke mana pun."
"Oke," jawab Julian dengan patuh, tetapi tidak lupa memesankan, "Kamu juga tinggal di sini."
Bahkan Julian tidak bertanya sekali pun, Febi juga tidak akan pergi. Pertama, dia mengkhawatirkan Julian. Kedua, setelah mimpi buruk yang diberikan Nando, Febi tidak ingin sendirian.
"Oke." Febi setuju.
Dokter melirik ke arah mereka berdua dan berkata, "Benar-benar. Sudah terluka seperti ini, masih bisa berpacaran di sini. Sudah, aku akan bantu dia menjahit lukanya dulu, kamu tunggu di bangsal."
Pada pandangan pertama, dokter wanita paruh baya ini bukanlah orang yang baik hati. Febi tidak ingin terlalu memedulikannya, jadi dia dengan cepat dan hati-hati memapah Julian dari ranjang.
Saat tubuh Julian bergerak, lukanya pun tertarik dan terasa sedikit sakit. Julian mendengus, Febi dengan cepat berhenti dan lebih berhati-hati, "Pelan, pelan! Apakah sakit?"
Di hadapannya, Julian melihat dengan jelas wajah kecil yang khawatir itu.
Dia melihatnya hingga membuatnya merasa tenang.
Julian tertawa, lalu berdiri tegak dan menghiburnya, "Aku laki-laki, aku tidak terlalu rentan. Jangan khawatir."
"Aku akan menunggumu di luar ruang operasi." Bagaimana mungkin Julian tidak khawatir? Dia terluka dua kali karena dia.
"Oke, Jangan bertele-tele lagi. Ini hanya operasi kecil, kamu tidak perlu gugup. Jangan khawatir, aku tidak akan melukai dia." Dibandingkan dengan kegugupannya, dokter itu malah terlihat tenang. Ini membuat Febi merasa sedikit malu, jadi dia melirik Julian dengan malu dan tidak mengikutinya.
...
Setelah waktu yang lama, Julian selesai menjahit lukanya. Tubuhnya terbungkus kain kasa dan dia kembali ke bangsal.
Febi mencari dokter dan meminta alkohol untuk mengobati luka di wajahnya.
Julian bertelanjang dada, duduk menyamping di sofa.
Febi mengambil kapas dan mencelupkannya ke dalam alkohol untuk mengobati luka di wajah Julian. Alkohol dingin menyentuh luka dan rasa sakit yang membakar menyebabkan Julian mengernyit.
Febi mencondongkan kepalanya dan membungkuk, lalu dia mengerucutkan bibirnya seperti anak kecil. Febi meniup lukanya dengan napas yang hangat dan bergumam, "Tidak sakit lagi, tidak sakit lagi, sebentar lagi tidak akan sakit lagi...."
Garis-garis wajahnya begitu lembut. Bahkan tatapan matanya juga lembut bagaikan kain kasa yang tipis.
Julian merasa hatinya bergetar hebat, dia menatap dalam-dalam ke wajah kecil itu. Tiba-tiba dia membungkuk dan mencium bibir Febi.
Febi sedang mengerucutkan bibirnya. Dia membantu Julian menghilangkan rasa sakit dengan sungguh-sungguh dan ciuman Julian ini membuatnya tertegun.
Julian berkata dengan serius, "Seperti ini lebih efektif."
Ada kehangatan di bibirnya. Febi menggigit bibir bawahnya dengan ringan, "Sudah seperti ini, kamu masih punya minat untuk menggodaku...."
"Aku serius. Kalau kamu menciumku lagi, mungkin rasa sakit di punggungku akan berkurang." Suara Julian terdengar seksi dalam malam yang gelap ini, seperti godaan dan memimpin Febi.
Febi tahu dia sedang membohonginya, tapi dia rela jatuh ke dalam perangkap kecil yang dibuat oleh Julian.