Malam itu.
Febi sedang berbaring di ranjang besar Julian. Cahaya bulan berkabut, tiba-tiba tidak begitu dingin, tetapi malah terasa sedikit romantis.
Hotel akan mengganti sprei bersih setiap hari, seprei memiliki aroma lemon yang sangat nyaman. Febi mengenakan kemeja Julian, memeluk selimut, meringkuk di ranjang besar dan tidak tertidur untuk waktu yang lama.
Ketika sudah larut malam, Febi mengambil selimut dari lemari dan berjalan keluar dari kamar tidur. Julian masih tidur di sofa. Sofa itu tidak kecil, itu adalah sofa kulit yang sangat mewah. Namun, saat Julian berbaring di atasnya, sofa itu terlihat sedikit sempit untuk dia yang bertubuh tinggi. Febi menundukkan kepalanya dan menatap wajah tampan Julian, hatinya merasa sangat tersentuh.
Dia mengambil selimut itu dan meletakkannya dengan pelan di atas tubuh Julian. Gerakannya sangat hati-hati, karena dia takut akan membangunkan Julian. Julian tidak bangun, dia hanya bergerak, menarik selimut dan tertidur.
...
Keesokan harinya.
Febi bangun sangat pagi. Dia mengikat rambutnya yang tergerai dan memanaskan sepanci air panas terlebih dahulu, lalu pergi ke kamar mandi.
Febi mengenakan kemeja yang Julian panjang dan lebar hingga membuatnya terlihat lebih ramping. Di pakaiannya masih tersisa aroma Julian yang seakan Febi sedang dipeluk olehnya, hingga membuat jantung Febi berdebar kencang.
Febi berdiri di depan cermin dan melihat dirinya yang seperti ini, ada perasaan aneh yang terlukiskan di dalam hatinya. Bagaimanapun, dia masih memiliki hati seorang gadis muda. Saat dia menonton "City Hunter", adegan Nana yang mengenakan kemeja Yun-seong terus teringat olehnya untuk waktu yang lama.
Febi merasa itu adalah adegan yang sangat romantis.
Sekarang, dia juga memakai kemeja seorang pria, tapi ... pria yang pernah dia pikirkan ternyata digantikan oleh Julian....
Febi tersenyum, dia merasa perasaan ini tidak buruk.
Febi mengambil sikat gigi sekali pakai yang disiapkan oleh hotel, lalu memeras keluar pasta gigi dan menggosok gigi.
"Apa yang kamu tertawakan pagi-pagi begini?"
Suara yang tiba-tiba muncul itu mengagetkannya. Febi melihat ke samping dan melihat Julian bersandar di pintu dengan mengenakan pakaian tidur.
Julian jelas belum sepenuhnya bangun, ada kelelahan yang mendalam di matanya yang gelap dan ekspresinya terlihat seakan dia sedang kesakitan. Dia mengangkat tangan dan menekan pelipisnya. Febi buru-buru mengeluarkan sikat gigi dari mulutnya, lalu mengambil air dan membilas mulutnya. Kemudian, dia menatap Julian dengan cemas, "Apakah aku terlalu berisik hingga membangunkanmu?"
Julian mengangkat kepalanya dan melihat tatapan meminta maaf Febi, dia melambaikan tangannya dengan tergesa-gesa, "Tidak ada hubungannya denganmu, aku mudah terbangun."
"Itu juga ada hubungannya denganku. Aku menempati ranjangmu, jadi kamu tidak tidur nyenyak." Febi berjalan mendekat dan menunjuk ke arah ranjang, "Kamu berbaring sebentar. Aku akan membuatmu teh panas. Airnya sudah direbus. Tadi malam kamu minum banyak, sekarang kamu pasti sakit kepala."
"Tidak perlu, bukankah kamu terburu-buru? Aku akan berkemas dan mengantarmu kembali ke Jalan Akasia." Julian meraih tangannya.
"Sekarang masih pagi, kamu duduklah." Febi menekan Julian ke ranjang, "Jangan bergerak, aku akan membawakan teh."
Febi meniru penampilan Julian yang mendominasi dan sengaja memperlihatkan ekspresi memerintah. Penampilan itu membuat Julian tersenyum dan membiarkannya pergi.
Febi mencabut stekernya dengan lincah. Setelah menuangkan air panas ke dalam cangkir puluhan juta, dia baru mengaduk teh dengan saksama.
"Agak panas, sekarang masih belum bisa diminum. Kamu berbaring dan tunggu sebentar," jelas Febi berjalan kemari sambil membawa cangkir teh dan membantu Julian meniup teh panas itu.
Julian mengangkat kepalanya dan melihat gerakan kecil itu, hingga dia sedikit termenung. Febi menundukkan kepalanya, garis-garis wajahnya terlihat sangat lembut dan memesona, hingga membuat hatinya sedikit luluh. Bukan tidak mungkin Nando tiba-tiba menyadari kebaikan Febi dan jatuh cinta padanya.
Febi tidak mendengar suaranya, jadi dia menatapnya dengan penasaran dan dia menyadari Julian sedang termenung melihat dirinya. Wajah Febi menjadi sedikit memerah. Dia berdeham pelan untuk mengingatkan Julian dan bertanya dengan tenang, "Kenapa kamu menatapku?"
Julian tiba-tiba mengulurkan tangan untuk merangkul pinggang Febi dan menariknya lebih dekat. Takut membuatnya panas, Febi segera menjauhkan teh panas yang ada di tangannya, "Jangan ... jangan main-main, aku sedang memegang air mendidih...."
Sebenarnya Julian tidak berani main-main. Saat air panas tertumpah, orang pertama yang terluka pasti adalah Febi. Julian mengulurkan lengannya yang panjang, lalu mengambil teh di tangan Febi dan meletakkannya di meja samping ranjang. Tangan yang melingkar di pinggang Febi sedikit mengencang.
Febi hanya mengenakan kemeja Julian yang berwarna putih, sedikit tipis dan sedikit transparan. Sementara wajah tampan Julian tepat berada di dadanya.
Napas Febi terhenti dan tangannya dengan kaku diletakkan di bahu Julian, "Apa yang kamu ... lakukan?"
Julian tidak melakukan apa pun, dia hanya meraih tangan Febi dan menekannya di pelipisnya, "Tolong pijat sebentar, kepalaku sedikit sakit."
Nada itu membuat Febi merasa kasihan dan matanya sedikit berkaca-kaca.
Tidak ada sikap dominasi seperti sebelumnya dan ekspresinya juga tidak macam. Julian seperti anak kecil yang sedang sakit terus terang mengungkapkan dia tidak enak badan.
Febi memijat pelipisnya dengan pelan, "Apakah sakit karena minum alkohol atau karena migrainmu kambuh lagi?"
"... aku tidak tahu, mungkin karena keduanya."
Febi sedikit mengernyit, lalu menundukkan kepalanya dan menatap wajah Julian dengan saksama, "Bagaimana kalau kamu pergi ke rumah sakit?"
Wajah Julian tidak terlihat baik, hingga membuat Febi khawatir.
"Tidak apa-apa, hanya cukup memijat sebentar." Julian memejamkan mata, seolah menenangkan emosinya. Kemudian, setelah beberapa saat, dia membuka matanya dan memegang tangan Febi yang memijatnya, "Oke, aku akan beres-beres dulu dan tunggu beberapa menit."
Julian berdiri dan melepaskan tangannya. Febi malah meraih ujung jari Julian dengan khawatir, "Jangan memaksakan diri. Aku lihat terakhir kali kamu sakit kepala parah. Kamu tidak perlu mengantarku, aku bisa naik taksi sendiri."
"Aku tahu batasan." Julian meliriknya, kemudian melihat ke segelas teh, "Bantu aku dinginkan teh itu, aku akan segera meminumnya."
"Haih!" Febi sedikit tidak puas dengan sikap Julian yang sedikit egois, tapi Julian sudah melepaskan tangannya dan berjalan ke kamar mandi. Saat Julian sampai di pintu, dia berhenti, lalu berbalik untuk menatapnya dan menyiratkan makna yang dalam, "Apakah aku pernah memberitahumu? Penampilanmu saat ini akan mudah membuat pria melakukan hal yang tidak-tidak?"
"..." Febi merasa malu hingga wajahnya memerah. Dia memelototi Julian dengan malu dan kesal, "Cepat mandi!"
Julian masih memiliki minat untuk menggodanya, hal ini menunjukkan kondisinya tidak terlalu buruk. Febi pun menghela napas lega.
Julian masuk ke kamar mandi dan berdiri di samping meja kaca. Dia menopang dahinya dan merasa sedikit pusing. Setelah memejamkan mata sejenak, pusing itu menghilang dengan cepat.
...
Di luar.
Febi menundukkan kepala untuk menatap dirinya sendiri. Mengingat kata-kata terakhir Julian, wajah Febi langsung menjadi panas. Dia dengan cepat melepas kemejanya dan mengganti pakaiannya.
Dia melihat jam dari ponselnya dan menyadari waktu sudah siang, jadi dia menelepon Tasya.
Setelah berdering sebentar, telepon diangkat. Akan tetapi, suara yang masuk ke telinganya membuat Febi terpana.
"Halo...."
Suara itu terdengar malas dan sedikit tidak sabar. Selain itu ... itu adalah suara seorang pria!
"Pak Agustino?" Febi terkejut, tetapi dia merasa ini adalah hal yang biasa.
"Apakah Tasya ada di sana?" Dia merasa sedikit malu seolah-olah telah membongkar sebuah rahasia.
"Masih tidur," jawab Agustino.
"..." Agustino tidak menyembunyikan apa pun. Febi berdeham sejenak, "Eh, bisakah kamu membantuku menyerahkan telepon kepadanya? Kami akan segera melakukan perjalanan bisnis."
Saat Febi baru mengucapkan kata-kata itu, terdengar keluhan tidak puas dari Tasya, "Agustino, kenapa kamu menjawab teleponku?"
"Berisik!"
"Berisik juga privasiku."
"Kalau kamu tidak mengangkatnya, aku akan menutup teleponnya!" Emosi Agustino jelas tidak baik.
Tasya mengertakkan gigi dan mengambil telepon itu.
"Tasya...." Febi baru membuka mulutm, Tasya sudah berkata, "Ini tidak seperti yang kamu pikirkan, aku tidak memiliki hubungan apa pun dengannya."
Febi memutar matanya, "Tolonglah, kamu bahkan telah melahirkan anaknya. Kamu masih beraninya kamu mengatakan tidak seperti itu?"
"Itu adalah sebuah kesalahan!"
"Kamu bilang Delvin sebuah kesalahan?"
"..." Tasya menggertakkan giginya, "Pagi-pagi sudah ingin membuat masalah denganku, kenapa? tadi malam kamu sudah bersenang-senang?"
Kalimat berikutnya yang dia tanyakan sangat ambigu. Febi tanpa sadar melirik ke kamar mandi, melihat bayangan yang ramping, jantungnya berdetak kencang dan dia mengalihkan pandangannya, "Kita tidak berbicara omong kosong lagi, cepat bangun dan bersiap-siap, kita sudah harus berangkat."
Tasya sepertinya baru mengingat masalah perjalanan bisnis, dia terkejut dan berkata, "Segera!"
Telepon terputus begitu saja dan pintu kamar mandi terbuka. Julian telah mencukur janggutnya dan masih ada tetesan air di wajahnya. Dibandingkan dengan barusan, sekarang dia terlihat jauh lebih energik. Febi mengambil teh panasnya, "Cepat minum selagi panas, sudah tidak terlalu panas."
Julian menatapnya sambil mengambil teh, "Kamu berganti pakaian begitu cepat, apa kamu benar-benar takut aku berbuat macam-macam padamu?"
Febi menggigit bibirnya, "... jangan main-main lagi. Cepat minum, tidak ada waktu lagi."
Julian tersenyum dan menyesap teh. Febi meliriknya dan bertanya, "Bagaimana tentang temanmu?"
"Agustino?"
"Yah."
"Tadi malam dia membawa temanmu pergi?"
"... hmm."
"Jangan khawatir, Agustino tidak buruk." Julian meletakkan cangkir teh, "Sebelumnya tidak ada batasan, jadi dia memiliki anak dengan temanmu. Sekarang tidak ada pacar yang cocok di sisinya."
Febi merenung dan mengangguk. Karena Julian berkata bagus, dia berpikir karakternya tidak akan buruk, jadi dia tidak perlu terlalu mengkhawatirkan Tasya.
...
Julian mengantar Febi ke Jalan Akasia terlebih dahulu, dia dengan cepat mengemasi barang bawaannya dan pergi ke bandara. Dalam perjalanan, awalnya mereka berdua masih berbincang, tetapi kemudian kata-kata Julian menjadi semakin sedikit, sampai-sampai tidak ada lagi yang bisa dikatakan.
Saat hampir tiba di bandara, Febi memperhatikan jari-jari Julian yang memegang kemudi menjadi sangat erat. Dia menatapnya dengan cemas, "Apakah kamu benar-benar baik-baik saja?"
"... Hmm." Julian hanya berdeham pelan.
Febi ingin mengatakan sesuatu, tapi mereka sudah tiba di bandara. Setelah Julian menghentikan mobil, Febi turun dari kursi penumpang, berjalan ke area mengemudi dan membuka pintu mobil, "Kamu pergilah periksa ke rumah sakit."
Tidak tahu mengapa, hati Febi merasa sangat panik.
Meskipun Julian berkata hanya migrain dan gejalanya memang mirip, Febi selalu merasa dia menyembunyikan sesuatu darinya.
Julian keluar dari mobil dan menatapnya, "Apakah kamu sangat mengkhawatirkanku?"
"Kamu masih bisa bercanda, aku berbicara serius denganmu." Febi memegang tangannya dengan ekspresi serius, "Tanganmu sangat dingin."
"Oke, Aku tahu. Sebelum ke perusahaan, aku akan pergi ke rumah sakit," janji Julian dengan tegas.
"Benarkah?" Febi tampak tidak yakin.
"Benar."
Dia masih sedikit khawatir, Julian menggenggam tangannya dan meyakinkannya, "Aku tahu apa yang harus kulakukan."
Febi meliriknya dan sebelum dia menjawab, dia telah mendengar sahutan pelan, "Febi!"
Dia mengalihkan pandangannya dan melihat Tasya keluar dari Bentley. Di sisi lain, Agustino membuka bagasi dan mengeluarkan barang bawaan Tasya. Febi berbalik dan tersenyum pada Julian. Dia benar, setidaknya Agustino adalah seorang pria sejati seperti dia.
"Febi, cepatlah. Kita harus melalui pemeriksaan keamanan, sudah terlambat." Tasya berlari ke arah Febi sambil membawa kopernya dan meninggalkan Agustino di belakang.
Ekspresi Agustino terlihat masam dan berjalan ke arah Julian.
Febi tidak ingin buru-buru pergi, tapi waktu tidak menunggunya. Dia mengambil kopernya dan melirik Julian. Julian mengangguk, "Pergilah, jangan ketinggalan pesawat. Saat kamu sampai di sana, seseorang akan menemuimu."
"Kalau begitu aku pergi dulu." Febi melambai padanya dan mengucapkan 'selamat tinggal' kepada Agustino, lalu membawa koper dan mengandeng lengan Tasya berjalan ke lobi bandara.
...
"Kamu menghabiskan malam dengan Pak Julian tadi malam?" Mereka baru berjalan beberapa langkah, Tasya sudah mulai mengerahkan semangat gosipnya.
"... yah, bukankah kamu juga bersama Agustino?"
"Hubungan kami tidak seperti kalian."
Febi tersenyum, "Ya, tentu saja kita berdua berbeda dari kalian. Kalian bahkan sudah memiliki anak."
"Kamu ini. Apakah tidak menindasku, kamu akan merasa tidak enak badan? Itu adalah masalah beberapa tahun yang lalu!" Tasya mendorongnya, "Beri tahu aku ukuran Pak Julian, sejak pertama kali aku sangat ingin tahu tentang ini...."
Sebelumnya, saat Tasya menyebutkan masalah ini, Febi tidak merasa malu. Bagaimanapun, dia belum pernah melihatnya. Akan tetapi sekarang setelah Tasya menyebutkannya, tanpa sadar dia akan memikirkan malam itu di Kota A.
Hanya memikirkannya saja, adegan penuh gairah itu sudah cukup untuk membuat wajahnya memerah.
Dia terbatuk canggung dan berkata dengan tenang, "Aku tidak tahu, aku belum pernah melihatnya."
Tasya pura-pura mencubitnya, "Kamu berpura-pura! Kamu bahkan tidak melihat ekspresi kakumu, bisakah kamu menyembunyikannya dariku?"
"Lepaskanlah aku. Kalau tidak, aku akan bertanya tentang ukuran Agustino."
"Lupakan saja, mari kita hentikan topik ini!"
...
Kedua gadis itu tertawa dan memasuki lobi bandara. Febi tidak bisa menahan diri untuk melihat ke belakang dari pintu kaca.
Julian sudah membalikkan punggungnya, sehingga dia tidak bisa melihat ekspresinya saat ini. Tasya menariknya, "Hanya dua hari, jangan bersikap enggan untuk berpisah. Ketika kalian kembali, kalian akan bekerja di tempat yang sama."
Febi mencubitnya, "Siapa bilang aku enggan berpisah?"
"Masih tidak mengakuinya, lihat berapa lama kamu bisa bertahan! Ngomong-ngomong, bukankah kamu bilang dia dan Vonny punya anak? Kenapa kamu kembali akur dengannya."
"Ceritanya panjang, nanti aku ceritakan di pesawat."
...
Di sisi lain.
"Hei! Apakah kamu bersama Febi lagi? Sebelumnya bukankah kalian bertengkar?" tanya Agustino kepada Julian sambil melihat kedua wanita itu.
Julian tidak menjawabnya, dia hanya membalikkan punggungnya dan meletakkan tangannya di atas mobil. Pembuluh darah biru di lengannya tiba-tiba melonjak, tampak seakan menopang berat seluruh tubuhnya.
Agustino tidak mendengar jawaban, dia hanya mendengar suara napas yang agak berat. Jadi dia melihat ke belakang dengan ragu dan melihat darah di tanah. Wajah Agustino memucat dan segera memapahnya, "Julian!"
Julian masih terdiam, dia hanya mengambil napas dalam-dalam sambil menyeka hidungnya dengan tangan kosong dan tangannya menjadi penuh dengan darah.
Pandangannya menjadi sedikit berputar.
"Aku akan membawamu ke rumah sakit, bertahanlah!" Agustino ketakutan, dia membuka pintu belakang mobil dan mendorongnya masuk, "Berikan aku kunci mobilnya!"
Julian memberikan kunci mobil padanya, Agustino mengambilnya dan melompat ke dalam mobil.
Agustino mengendarai mobil dengan sangat cepat, terkadang dia melihat dari kaca spion. Dia menarik beberapa lembar tisu dan melemparkannya kepadanya, "Cepat sumbat hidungmu! Angkat kepalamu!"
Julian menyumbat hidungnya dan darah merembes keluar lagi hingga membasahi tisu. Agustino menjadi semakin cemas dan menarik beberapa lembar. Akhirnya, dia melemparkan kotak tisu kepadanya.
Dibandingkan dengan kepanikan Agustino, wajah Julian masih terlihat tenang. Dia menyumbat hidungnya dengan tisu, lalu mengulurkan tangan dan mengambil sebotol air. Kemudian, dia membuka tutup botol, menuangkan sedikit ke tangannya dan menepuknya di belakang lehernya.
Darah, akhrinya tidak mengalir sebanyak itu lagi.
Agustino menghela napas lega, "Kamu beristirahatlah sebentar, aku akan membangunkanmu kalau sudah tiba di rumah sakit."
Julian menutup matanya dan mengernyitkan alisnya erat-erat, kepalanya terasa sangat sakit. Dia tanpa sadar memikirkan Febi, teringat kelembutan saat Febi memijatnya dan kekhawatirannya....
Jika Febi melihat Julian yang seperti ini, dia mungkin akan sangat ketakutan.