Chereads / Direktur, Ayo Cerai / Chapter 101 - ##Bab 101 Mendengar Suaranya, Dia Merasa Sangat Tenang

Chapter 101 - ##Bab 101 Mendengar Suaranya, Dia Merasa Sangat Tenang

Agustino mengantarnya ke Rumah Sakit Royal Olvis. Pada saat ini, darah telah berhenti dan ada noda darah di baju putih bersihnya.

"Minta Profesor Suherdi dari dokter spesialis neurologi segera datang!" pinta Agustino pada perawat yang berdiri di bangsal.

"Aku baru saja menelepon dan Profesor Suherdi akan segera datang." Perawat itu tidak berani mengabaikan dan segera berbicara. Julian, dia kenal orang ini. Orang seperti ini terlalu mempesona sehingga orang tidak bisa tidak memperhatikannya. Meskipun catatan medisnya dirahasiakan dari dunia luar, seseorang yang memiliki pengalaman dapat melihat bahwa kondisi jelas tidak baik.

Tak lama kemudian, seorang profesor tua dengan rambut putih datang mengenakan jubah putih.

"Pak Suherdi, kamu akhirnya datang." Agustino segera bangkit dan pergi menemuinya.

Profesor Suherdi mendorong kacamata di pangkal hidungnya dan menginstruksikan Julian, "Berbaringlah, biarkan aku memeriksanya."

Julian menutup matanya dan berbaring di ranjang. Profesor Suherdi mengambil senter dan membuka kelopak matanya sebentar, lalu Agustino bertanya, "Bagaimana kondisinya?"

"Tetap di rumah sakit selama dua hari dan aku akan segera mengatur pemeriksaan otak untukmu. Setelah itu baru kita pastikan." Profesor Suherdi meletakkan senter di sakunya, lalu berbalik dan mengulurkan tangan kepada perawat. Perawat yang buru-buru menyerahkan pena dan kertas. Dia dengan cepat menulis dengan penanya sambil menginstruksikan Agustino, "Pergi dan selesaikan prosedur rawat inap terlebih dahulu."

"Oke," jawab Agustino dan berjalan keluar. Julian mengalami sakit kepala yang parah, dia berusaha untuk duduk di ranjang dan berkata dengan lemah, "Kali ini, aku akan merepotkanmu lagi."

"Memang merepotkan, aku harap kamu tidak menggangguku. Kalau tidak nenekmu pasti akan mengkhawatirkanmu lagi," kata Profesor Suherdi.

"Karena kamu tidak ingin nenekku khawatir, jangan beri tahu nenekku tentang aku masuk rumah sakit. Agar dia tidak merasa tidak nyaman."

"Kalau dia tidak bertanya, aku tidak akan memberi tahu. Kalau dia bertanya nanti, aku tidak bisa berbohong padanya. Aku adalah teman lamanya. Kalau dia ingin tahu tentang kamu, aku masih menyembunyikannya darinya. Aku tidak tahu bagaimana dia akan membuat masalah denganku." Pak Suherdi menghela napas.

Julian tertawa.

"Bagaimana frekuensi sakit kepala akhir-akhir ini?" Pak Suherdi mengalihkan topik pembicaraan ke kondisinya. Dia menatap Julian dari bawah kacamata yang terkulai ke pangkal hidungnya.

"Lumayan baik, terakhir kali sakit setengah bulan yang lalu. Kali ini rasa sakitnya tidak terlalu parah."

"Bagaimana dengan mimisan? Setiap saat?"

"Belum tentu."

"... baiklah," jawab Pak Suherdi dan menuliskannya dengan jelas di rekam medis.

Apa yang ditanyakan profesor tua itu, Julian akan menjawabnya. Sampai akhirnya, Julian tidak pernah menanyakan bagaimana kondisinya, apakah akan mengancam nyawa?

Dua puluh tahun yang lalu, kakeknya juga memiliki kondisi yang sama dengannya dan juga diobati oleh Pak Suherdi. Setelah kraniotomi, operasi berjalan lancar. Akan tetapi ketika semua orang tenggelam dalam kegembiraan, Takdir memberikan mereka pukulan yang lebih menyakitkan.

Tiga bulan kemudian, penyakit lama kambuh. Kali itu tidak ada keajaiban, nyawa orang tua itu direnggut tanpa ampun.

Hanya saja....

Pada saat itu, tidak ada yang mengira dua puluh tahun kemudian, kesedihan akan menutupi Keluarga Ricardo lagi.

...

Febi dan Tasya naik pesawat dengan lancar. Febi duduk di dekat jendela sambil memegang teleponnya erat-erat di telinganya. Mendengar tidak ada yang menjawab telepon, tidak tahu kenapa hatinya merasa gelisah.

Febi menutup telepon, menarik napas dan melihat ke luar jendela dalam diam. Dia berharap semuanya hanya pikirannya sendiri.

"Apakah kamu baik-baik saja? sepertinya setelah kamu berpisah dengan Pak Julian, kamu jadi murung. Apakah kamu benar-benar tenggelam dalam lautan cinta?" Tasya hanya berpikir Febi enggan untuk berpisah.

"Hatiku terus merasa gelisah. Tasya, kamu telah berhubungan dengan Pak Agustino begitu lama. Apakah dia menyebutkan Julian kepadamu?"

Tasya menggelengkan kepalanya, "Tidak, topik kita terbatas pada Delvin. Aku bahkan tidak ingin bertemu dengannya, apalagi membicarakan topik lain dengannya. Kalau kamu ingin mengetahui sesuatu, kamu dapat memberi tahuku. Lain kali aku akan menanyakannya."

Febi berpikir sejenak, lalu menggelengkan kepalanya.

"Lupakan saja, mungkin hanya aku yang terlalu banyak berpikir."

Dia tidak menelepon lagi, mungkin dia sedang mengerjakan sesuatu. Jadi, Febi terus menelepon hingga terlihat sedikit mengganggunya. Lagi pula, keduanya tidak menjalin hubungan, apalagi dia bukan anak berusia tiga tahun.

Mendengar pengingat di pesawat, Febi mematikan ponsel dan memasukkannya ke dalam tasnya.

Sepanjang perjalanan, dia mengobrol dengan Tasya yang membuatnya sedikit mengalihkan pikirannya dan tidak terlalu khawatir. Setelah turun dari pesawat dan menyalakan ponsel, ada panggilan yang masuk.

Dia langsung membukanya, lalu menurunkan pandangannya dengan kecewa.

Bukan dia, itu adalah panggilan Kak Robby.

Febi memikirkannya sebentar, tapi masih khawatir. Saat Febi menunggu bagasi, dia berjalan ke samping dan menelepon lagi.

Setelah berdering tiga kali, panggilan itu tersambung.

Hati Febi merasa bahagia, suaranya menjadi lebih ceria, "Julian!"

"Nona Febi." Orang yang menjawabnya adalah suara wanita, dia adalah sekretaris Caroline. "Pak Julian sedang sibuk sekarang, untuk sementara tidak bisa menjawab panggilanmu. Apakah kamu memiliki sesuatu untuk disampaikan? Aku dapat menyampaikannya."

"Oh, tidak ada. Kalau begitu biarkan dia sibuk, aku tidak mengganggunya." Mendengar Julian sedang sibuk, Febi menghela napas lega. Jika dia bisa sibuk, itu membuktikan dia baik-baik saja, Febi sudah terlalu banyak berpikir.

Ketika Febi menyadari hal ini, seketika dia merasa lega. Di sisi lain, Tasya memanggilnya, Febi segera menjawab dan buru-buru menutup telepon untuk mengambil barang bawaannya.

...

Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, Julian sangat lelah sehingga dia berbaring di ranjang dan memejamkan mata. Caroline mematikan suara ponselnya dan meletakkannya di meja samping ranjang. Suara panggilan hanya akan membuatnya semakin lemah.

"Profesor Suherdi, bagaimana kondisi Pak Julian?" tanya Caroline dengan cemas. Setelah menerima telepon dari Wakil Direktur Agustino, dia segera mengemasi perlengkapan mandi Pak Julian dan datang.

Profesor Suherdi menghela napas dan menggelengkan kepalanya, "Kondisinya tidak baik. Tumor di otak sudah membesar dan obat yang diresepkan terakhir kali jelas telah mengembangkan resistensi dan tidak ada cara untuk menghambat penyebaran tumor."

"Jadi apa yang harus dilakukan sekarang?"

"Sekarang coba obat lain dan tinggal di rumah sakit selama dua hari untuk observasi. Kalau memburuk, mungkin akan mengalami kebutaan. Kalau semakin memburuk...." Profesor tua itu tidak mengatakan apa-apa lagi dan Caroline sudah memahaminya apa yang ingin dia ucapkan. Setelah bertolak dada, lalu dia berkata, "Pak Suherdi, Anda harus menemukan cara untuk menyembuhkan penyakit Pak Julian. Seluruh Hotel Hydra wilayah Asia-Pasifik tidak dapat hidup tanpanya."

Pak Suherdi mengangguk, "Aku akan mencoba yang terbaik."

...

Febi dan Tasya turun dari pesawat, staf di sini datang untuk menjemput mereka. Setelah keluar dari hotel tempat mereka menginap, mereka langsung menuju lokasi pembangunan hotel baru. Skala pembangunan hotel sudah terbentuk. Selain taman di sekitar hotel, juga ada taman bermain seluas 120 hektar.

Tempat ini bukan area pusat kota, sekarang masih sepi, hanya ada sesekali orang datang dan pergi. Febi berdiri di sebidang tanah kuning itu sambil termenung, dia sepertinya membayangkan tidak lama lagi akan menjadi betapa mewahnya tempat ini. Tempat ini adalah kerajaan yang diciptakan oleh Julian dan timnya.

Sementara Febi....

Sekarang juga adalah bagian dari tim itu.

Memikirkan hal ini, suasana hati Febi sedikit membaik, ada rasa suka cita dan kehormatan di dalam hatinya.

"Apa yang membuatmu termenung hanya dengan melihat tumpukan lumpur kuning?" Tasya mendorongnya dengan alat pengukur di tangannya, "Jangan berlama-lama, beban kerja kita sangat besar. Malam ini kita kirim data ukuran interior agar mereka bisa sesegera mungkin menyiapkan gambar CAD."

Febi meningkatkan semangatnya, "Ayo bekerja!"

...

Setelah kembali ke hotel tempat dia menginap, ponsel Febi tidak pernah berdering.

Julian tidak membalas teleponnya.

Febi berbaring di ranjang dan melihat ponselnya lagi. Hatinya merasa sedih hingga membuatnya merasa sangat konyol.

Febi terlalu peduli.

Semakin Febi peduli, maka Febi merasa semakin tersiksa dan serakah. Perasaan ini benar-benar buruk.

Febi menggaruk rambutnya dengan cemas, lalu menutupi tubuhnya dengan selimut dan memaksa dirinya untuk tidur. Pada saat ini, ponsel yang baru saja dia letakkan tiba-tiba berdering.

Di tengah malam, di ruang yang tenang, suara itu terdengar sangat tajam. Namun, seketika membuat hatinya merasa panik dan bergejolak tak terkendali. Dia segera meraih ponselnya. Melihat nomor yang ditampilkan di layar dan matanya langsung tersenyum.

Namun....

Febi tidak langsung menjawab, dia hanya menoleh ke samping, menyesuaikan posturnya dan bernapas dengan lancar. Kemudian, dia menjawab telepon dan menempelkannya ke telinga.

"Halo...." Febi sengaja memanjangkan suaranya, menonjolkan suara sengaunya dan berpura-pura mengantuk.

Hanya Febi yang tahu sebenarnya dia tidak mengantuk. Dia terus-menerus menunggu panggilannya.

"Apakah kamu sudah tidur?" Suara rendah Julian datang melalui gelombang radio, yang terdengar sangat seksi di malam yang gelap. Suara itu menggelitik hati Febi. Febi tanpa sadar menarik selimut dan menjawab dengan ringan, "Ya. Aku sibuk sepanjang sore dan sedikit lelah...."

Nada lembutnya terdengar sedikit centil.

Julian berdiri di jendela bangsal, dia tersenyum pada lampu di gedung rawat inap di seberangnya dengan wajahnya yang terlihat lelah, "Kalau begitu aku tidak akan mengganggumu, tidurlah."

"Selamat malam."

Dua kata berikutnya yang Julian ucapkan membuat Febi sangat tertekan sehingga dia membenamkan seluruh wajahnya di selimut. Pada saat berikutnya, dia akhirnya melepaskan kendalinya dan menghentikan Julian, "Tunggu sebentar!"

Sebenarnya Julian tidak ingin menutup telepon, dia sedang menunggu Febi menghentikannya.

Di malam yang panjang ini, bisa mendengar suaranya adalah hal yang membuatnya merasa tenang.

"Kenapa?" Julian berbaring di ranjang dan mencari posisi yang nyaman. "Bukankah kamu mengantuk? Sekarang kamu terdengar bersemangat."

"..." Febi merasakan perasaan malu karena tingkahnya yang terungkap. Tadi dia terlalu cemas, jadi dia lupa untuk berpura-pura. Febi menggigit bibirnya, lalu berkata dengan kaku, "Begitu panggilanmu datang, aku tidak mengantuk lagi."

"Benarkah?" Julian terkekeh, nadanya jelas tidak percaya.

"Tentu saja, tidurku tidak nyenyak. Ngomong-ngomong, kenapa kamu meneleponku jam segini?" Febi dengan cepat mengganti topik pembicaraan.

"Baru pulang kerja." Julian memilih berbohong. Sebenarnya, setelah pemeriksaan di sore hari, dia kelelahan dan tertidur. Dia tertidur sampai tengah malam.

Hanya dalam waktu singkat, ponsel di samping ranjang memiliki lusinan panggilan tidak terjawab dan semua itu adalah pelanggan bisnis, tapi Julian tidak melihat panggilan Febi. Jadi, tidak peduli seberapa larut sekarang, Julian masih meneleponnya.

"Kalau begitu apakah kamu pergi ke rumah sakit hari ini?" Febi khawatir tentang hal ini.

"Yah, sudah pergi."

"Apa kata dokter? Apakah kamu sudah diperiksa?" tanya Febi dengan cemas dan duduk di ranjang.

"Jangan khawatir, ini penyakit lama. Hanya perlu minum obat, tidak akan ada masalah besar," jawab Julian dengan enteng.

Namun....

Perasaan diperhatikan oleh Febi sebenarnya tidak buruk....

"Benarkah?" Febi tampak tidak yakin.

"Yah."

"Kalau begitu aku akan tenang, aku khawatir sepanjang hari ini, aku...." Mendengar tawa rendah Julian, Febi baru menyadari dia telah mengungkapkan isi hatinya. Dia menggigit bibirnya dengan marah dan wajahnya memerah, "Lupakan saja, aku tidak mengatakan apa-apa. Kamu istirahatlah lebih awal, aku mengantuk!"

Febi juga berpura-pura menguap.

Julian tersenyum lebih lebar, "Tidurlah."

...

Febi dengan cepat menutup telepon dengan perasaan bersalah. Dia berbaring di ranjang sambil melihat ke langit-langit, tapi dia malah mengangkat bibirnya dan tersenyum. Setelah cemas sepanjang hari, dia akhirnya tenang. Bahkan Febi merasa ngantuk dengan cepat dan tertidur dengan tenang.

.................

Dua hari kemudian, Febi kembali dari perjalanan bisnis.

Setelah turun dari pesawat, Julian memanggil, "Apakah kamu sudah turun dari pesawat?"

"Baru saja turun."

"Asisten Ryan sudah tiba di pintu. Ketika kamu keluar dari pintu nomor 1, kamu akan bertemu dengannya."

"Sebenarnya, kamu benar-benar tidak perlu mengirim seseorang untuk menjemputku. Tasya dan aku bisa naik taksi sendiri." Febi dan Tasya menyeret barang bawaan mereka berdampingan dan sekilas mereka melihat Ryan berdiri di pintu keluar menunggu mereka sambil tersenyum.

"Mau kemana?" tanya Julian.

"Hari ini adalah hari ayah mertuaku keluar dari rumah sakit, aku harus pergi ke rumah sakit," kata Febi terus terang.

"Ayah mertua?" Julian menekan dua kata ini dengan arti khusus. Dia sudah terbiasa memanggil seperti itu, hingga membuat Julian mengingatkan kata 'suami' yang tersimpan di ponsel Febi.

Febi tidak berbicara dan Julian tidak menanyakan hal itu lagi. Dia hanya berkata, "Kalau begitu sampai jumpa malam ini."

...

Setelah Febi membawa barang bawaannya kembali ke Jalan Akasia, dia meminta Ryan untuk mengantar Tasya. Kemudian, dia bergegas ke rumah sakit dengan taksi.

Ketika dia tiba, Usha sedang menyelesaikan prosedur keluar rumah sakit di lantai bawah. Selain Samuel, ada Nando dan Bella di bangsal. Febi memanggil 'Ayah' dan 'Ibu', tapi Bella hanya menjawab dengan acuh tak acuh.

Setelah melihat Febi, Nando segera berdiri dan bertanya, "Kamu baru kembali dari perjalanan bisnis?"

"Ya," jawab Febi dengan acuh tak acuh.

Sebenarnya, kamu tidak perlu terburu-buru ke sini. Di sini masih ada kita yang menjaga Ayah. "Nando sepertinya tidak merasakan sikap acuh tak acuh Febi.

"Aku ke sini untuk menemui Ayah," jawab Febi dengan singkat, dia tidak berniat untuk berbicara lebih banyak dengannya.

Adegan ini dilihat oleh kedua orang tua itu, yang satu merasa senang, yang lainnya merasa tertekan.

Samuel menghibur kemajuan putranya, "Febi, Ayah akan mendiskusikan sesuatu denganmu."

Febi buru-buru berjalan ke ranjang, "Ayah, katakan saja."

"Ayah tahu kamu kesal. Nan Xiao telah memperbaiki perbuatannnya sekarang. Menurutku, kamu berilah dia kesempatan dan kembalilah ke rumah." Permintaan tiba-tiba dari ayah mertua membuat Febi terkejut. Kembali ke rumah? Sejak dia meninggalkan rumah itu, dia benar-benar tidak berniat untuk kembali lagi.

Hal yang Febi pikirkan sekarang adalah setelah pemilihan dewan direksi selesai, dia akan mengakhiri pernikahan dengan lancar. Hal ini juga yang dijanjikan ayah mertua padanya.

Sebelum Febi bisa menjawab, Nando sudah menjawab, "Febi, setujuinya permintaan Ayah. Ayah masih belum sembuh total, jangan biarkan dia khawatir tentang urusan kita."

Nando mengatakan ini seolah-olah Febi tidak berbakti jika dia tidak setuju.

Ekspresi Febi berubah menjadi dingin.

Bella adalah orang pertama yang keberatan, "Kenapa? Dia tidak ada di rumah itu, jadi terasa tenang. Jarang bagiku bisa menjalani hari-hari yang tenang."

Untuk pertama kalinya, Febi berterima kasih kepada ibu mertuanya karena sepemikiran dengannya. Febi sekarang hidup sendiri dan merasa damai. Dia tidak ingin kedamaian ini dirusak.

Wajah Samuel tiba-tiba menjadi masam dan dia memarahinya, "Apakah kamu tidak ingin cucu lagi? Kamu tidak mengizinkan menantu baik yang tidak melakukan kesalahan apa pun untuk pulang? Putramulah yang telah melakukan kesalahan!"

"Tidak melakukan kesalahan apa pun?" cibir Bella sambil melirik Febi, "Kita semua tahu bagaimana rumor menyebar di luar. Kenapa dia memilih tinggal di luar sendirian? Bukankah karena dia tidak tahan kesepian? Kalau dia benar-benar punya anak, aku tidak tahu apakah itu benih Keluarga Dinata atau bukan!"

Kata-kata Bella kasar dan kejam.

Febi tidak mengatakan sepatah kata pun.

"Cukup!" bentak Samuel dengan dingin.

Nando berdiri di samping dengan wajah yang memucat. Sangat Jelas, kata-kata Bella telah membuatnya kesal. Dia melirik Febi dengan mata sedih, Febi hanya berpura-pura tidak melihatnya dan menjawab Samuel, "Ayah dan Nando sudah sangat jelas tentang keputusanku dan aku tidak akan mengubahnya lagi. Pernikahan bukan hanya akan menghubungkan aku dan Nando, tapi tentang dua keluarga. Aku dan Ibu saling membenci, jadi kami benar-benar tidak perlu saling memaksa."

Febi sengaja menekankan kata-kata "saling membenci".