Febi berbalik, memunggungi mereka dan mengeluarkan ponselnya. Benar saja, itu adalah pesan dari Julian.
Dia membukanya.
Isi pesan itu langsung terlihat.
'15 menit kemudian, keluar dari ruangan!'
Isi pesan dengan nada perintah yang tak dapat dibantah. Jari Febi membeku sejenak dan ingin menghapusnya, seolah-olah dia tidak melihat pesan itu.
Namun, pesan lain masuk. Kali ini, lebih mendominasi.
'Kalau aku tidak melihatmu dalam 15 menit, aku akan langsung masuk dan membawamu.'
Febi tertegun sejenak, lalu tanpa sadar dia berbalik untuk menatapnya. Namun, mata Julian sama sekali tidak tertuju pada Febi. Dia hanya mengucapkan selamat tinggal pada Samuel dan Bella dengan sopan.
Apa yang ingin Julian lakukan?
Febi sedikit bingung, dia menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas. Di sana, Julian sudah berdiri dan hendak pergi.
"Tidak mau duduk sebentar lagi? Kenapa kamu tidak tinggal dan makan malam bersama? Sudah hampir waktunya makan malam," pinta Bella dengan bersemangat agar Julian tetap tinggal dan terus mengedipkan mata pada putrinya.
Usha segera mengangguk dengan setuju, "Senior, ibuku sudah mengundangmu. Kamu jangan menolak, ya?"
Ekspresi Julian tetap acuh tak acuh, "Aku sudah cukup merepotkan kalian, jadi aku tidak tinggal lebih lama lagi."
Penolakan yang terang-terangan.
Usha sedikit frustrasi dan sedikit sedih.
Saat dia masih ingin mengatakan sesuatu, Samuel berkata dengan tegas, "Pak Julian masih memiliki banyak hal yang harus dilakukan, jangan tidak pengertian."
"Benar, benar." Bella menepuk tangan putrinya, "Kalau begitu Usha, kamu antar Pak Julian pergi."
"Oke," jawab Usha segera. Kemudian, dia dan Julian pergi berdampingan.
Febi melirik ke bayangan yang tinggi dan lurus sambil memikirkan dua pesan yang dia kirim. Jika nanti Febi tidak keluar, dengan temperamen Julian Febi khawatir dia akan benar-benar masuk lagi, apa konsekuensi untuk Febi? Jangankan Bella dan Usha yang pasti akan membuat keributan, ayah mertuanya mungkin akan sangat kecewa dengannya. Tidak apa-apa kecewa, hanya saja sekarang orang tua itu pendarahan otak. Jika dia marah dan terjadi sesuatu padanya, Febi tidak mampu untuk bertanggung jawab.
Dalam lima belas menit ini, Febi terus termenung. Saat Bella dan Usha sedang mengobrol, dia tidak mendengarkan sedikit pun. Sampai tubuhnya didorong, Febi baru mengangkat kepalanya.
Bella menatapnya dengan tidak senang dan mengeluh kepada suaminya, "Lihat dia, mendiskusikan tentang hal yang begitu penting dengannya, tapi dia bahkan tidak mendengarnya!"
Baru pada saat itulah Febi menyadari mata ketiga orang di bangsal sedang menatapnya, dia mengalihkan pandangannya ke Samuel, "Ayah, apakah Ayah berbicara denganku?"
"Ya." Samuel sedikit mengangguk, "Aku ingin membicarakan tentang ibu dan adikmu."
Saat mengungkit masalah ibu dan adiknya, wajah Febi menjadi cerah, "Apakah ibuku sudah bisa kembali?"
"Yah, rumah sakit memberi tahu kondisinya telah membaik dan dia ingin keluar dari rumah sakit, jadi aku akan meminta seseorang untuk menjemputnya kembali."
Febi tersenyum, "Terima kasih Ayah. Aku ingin menjemput ibuku."
Samuel belum berbicara, tapi Usha sudah berkata, "Menurutku, kalau kamu ingin ibumu hidup beberapa tahun lagi, jangan muncul di depannya. Kamu benar-benar tidak disenangi siapa pun, bahkan ibumu juga membencimu."
Ekspresi Febi sedikit berubah. Meskipun dia tidak pernah mau mengakui ibunya membencinya, dia selalu merasa selama ibunya ada, dia bisa seperti orang biasa yang menikmati kasih sayang keluarga. Namun, kata-kata Usha telah menusuk lukanya.
"Jangan menyela pembicaraan orang lain!" tegur Samuel pada Usha dengan wajah dingin.
Usha mencebikkan bibirnya dengan sedih dan melirik Bella. Bella berkata, "Usha mengatakan yang sebenarnya."
Febi merasa tidak nyaman dan tidak ingin berlama-lama pada topik ini. Dia menundukkan kepala untuk melihat jam dan menyadari dia hampir melampaui batas waktu yang diberikan Julian, jadi dia membuka mulutnya dan berkata, "Ayah, kesehatan ibu akhirnya membaik. Aku juga tidak ingin membuatnya marah. Saat Ayah meneleponnya, tanyakan apakah dia masih ingin melihat putrinya. Kalau dia masih ingin melihatnya, aku akan menjemputnya ."
"Jangan dengarkan omong kosong mereka berdua." Samuel melirik istri dan putrinya, lalu berkata, "Aku dan ibumu telah berteman lama. Aku tahu apa yang dia pikirkan. Kalau dia benar-benar tidak menyukaimu, sebelum dia pergi kenapa dia masih memercayakanmu kepadaku dan memintaku menjagamu dengan baik?"
Febi tidak mengerti apakah ayah mertuanya mengatakan ini untuk menghiburnya atau kenyataan. Sebenarnya, dia lebih suka memercayai kata-kata ayahnya. Dengan begitu, setidaknya dia tidak terlihat begitu menyedihkan.
"Ayah berbaringlah sebentar, aku akan mengambilkan air panas untukmu."
Febi tidak tinggal lebih lama lagi, dia mengambil termos kecil dari meja samping tempat tidur dan berjalan keluar. Kakinya yang didorong oleh Usha hingga terkilir terasa sedikit sakit. Namun, rasa sakit itu terasa menyakitkan sampai ke lubuk hatinya....
Ketika mengungkit masalah ibunya, Febi sudah sangat khawatir. Begitu dia keluar, dia melihat sosok yang akrab berdiri di dekat jendela ujung koridor. Matahari terbenam bersinar melalui jendela hingga membentuk bayangan panjang.
Febi hanya merasakan sesak di dadanya, hingga dia tidak bisa bernapas. Dia tidak mengerti mengapa Julian masih mencarinya? Apakah Julian ingin menghancurkan semuanya, bertengkar hebat dan membuat mereka berdua sama-sama kesal?
Febi meletakkan termos di sudut dan menyeret kakinya yang terluka ke arah Julian.
Julian berbalik dan memandangnya yang pincang dengan acuh tak acuh, dia tidak pernah berniat untuk mengambil langkah lebih dekat dengannya. Ekspresinya sedikit dingin dan tatapan matanya yang dalam seakan menyembunyikan makna mendalam yang tidak bisa dia mengerti.
"Kamu terlambat satu menit," kata Julian dengan dingin.
Febi merasa seakan ada duri di hatinya, "Pak Julian, aku bukan bawahanmu, bukan karena kamu menetapkan kapan aku keluar, aku harus keluar dari ruangan tepat waktu. Bukankah kamu ingin masuk dan membawaku keluar? Bagaimana kalau sekarang kita masuk bersama? Lagi pula, kita tidak memiliki hubungan apa pun dan aku tidak takut mengatakan dengan jelas di depan mereka."
Ekspresi Julian tetap sama dan sedikit acuh tak acuh, "Febi, aku baru menyadari ingatanmu sangat buruk."
Tentu saja kata-katanya berarti sesuatu. Dia berbicara tentang malam di Kota A. Sebenarnya, bagaimana mungkin Febi bisa lupa? Malam itu, dia hampir berpikir mereka berdua sama seperti pasangan biasa, tapi semakin dia mengingat adegan itu, dia semakin merasa dirinya sangat bodoh.
Malam itu, Julian hanya berakting atau apakah dia juga menggunakan sedikit ketulusan? Febi sama sekali tidak tahu!
Jika wanita yang memiliki hubungan dengan Julian adalah wanita lain, mungkin Febi tidak akan merasa memalukan. Namun wanita itu adalah Vonny....
"Ingatanku tidak buruk, aku hanya ingat apa yang harus aku ingat dan apa yang ingin aku ingat." Febi menggigit bibirnya dan menurunkan pandangannya. Dia mengingatkan dirinya untuk tidak bodoh lagi, "Sisanya, biarkan berlalu, anggap tidak pernah terjadi."
Julian menatapnya sambil tersenyum, senyum itu begitu dingin hingga seolah menembus ke dalam hati Febi.
"Febi, kamu tidak bisa membedakan siapa yang baik padamu dan siapa yang jahat padamu? Kamu lebih suka tinggal di sini dan ditindas oleh keluarga Dinata lagi dan lagi, maka tidak ada yang bisa membantumu lagi." Tatapan Julian berubah menjadi tajam, dia menurunkan pandangannya dan mendarat di kaki Febi, "Tidak ada yang memiliki kewajiban untuk menahan amarahmu yang tak dapat dijelaskan dan berulang sepanjang waktu!"
Sangat jelas, dari awal dia telah memperhatikan gerakan Usha yang mendorongnya.
Namun, kata-kata Julian begitu tajam dan lugas sehingga menusuk hati Febi seperti jarum. Febi sangat sedih sehingga matanya menjadi merah dan dia membantahnya, "Siapa yang menginginkanmu menahan amarahku? Aku tidak bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk, tapi aku tidak mau berteman dengan seseorang yang sengaja merencanakan sesuatu untuk berada di sisiku!"
Mata Julian menegang, seolah dia tidak mengerti.
Mata Febi semakin merah, terlihat jelas dia sedikit luka, "Apanya tulus padaku? Apanya menunggu aku bercerai? Semua itu hanya omong kosong! Kalau Pak Julian ingin bermain-main dengan perasaan orang lain, kamu bisa bermain dengan wanita mana pun yang kamu mau. Tapi aku mohon jangan mencariku, aku tidak akan menemanimu!"
Febi menyelesaikan kata-katanya dalam satu napas, air mata keluhan terbendung di matanya.
Mata Julian yang gelap menyipit padanya, bibirnya yang tipis mengatup menjadi satu garis dan dia hanya mengeluarkan sebuah kalimat, "Febi, apakah perasaan ini membuatmu mempertanyakannya hingga seperti ini?"
Bisakah kamu tidak mempertanyakannya?
Ketika Vonny menanyai Julia hingga seperti itu, jika Julian membalas, Febi pasti akan memercayainya! Selama dia mengatakan dia tidak mendekati Febi demi Vonny, dia akan percaya! Dia juga bersedia untuk percaya!
Namun....
Julian tidak bertindak seperti itu....
"Senior, ternyata kamu belum pergi." Tiba-tiba, suara Usha datang dari belakang, hingga Febi tertegun sejenak. Awalnya, dia ingin membicarakan tentang kata-kata Vonny malam itu dengan Julian, tapi karena Usha datang, jadi tiba-tiba menghentikan niatnya.
"Kakak Ipar!" Kemudian, Usha memanggilnya dengan nada suara yang jelas jauh lebih dingin. Terlebih lagi, kedua kata itu diucapkan dengan keras dan tegas, seolah-olah mengingatkan mereka berdua tentang identitas Febi saat ini.
Febi memandang Julian, tatapan Julian sangat dalam sehingga Febi merasa tertekan, seolah-olah Febi-lah yang melakukan kesalahan.
"Bukankah kamu pergi mengambil air? Kenapa kamu masih di sini?" Usha mendekat dalam beberapa langkah, matanya menatap tajam ke arah Febi. Febi hanya berpura-pura tidak bisa melihatnya dan mengabaikannya dengan acuh tak acuh. Ketika dia hendak berbalik untuk pergi, lift di sebelahnya terbuka dan terdengar suara "ting".
Febi mendongak tanpa sadar dan melihat Vonny berjalan keluar dari lift sambil membawa buket bunga. Mungkin karena dia hamil, dia tidak memakai sepatu hak tinggi atau riasan. Jadi, tubuhnya terlihat jauh lebih kecil dan dia juga mengenakan pakaian kasual yang longgar.
"Kak Vonny!" sapa Usha.
Febi melirik Vonny, matanya tertuju pada perutnya yang masih rata dan hatinya merasa seperti ada cambuk yang memukulnya dengan keras. Kemudian, tanpa sadar dia menatap Julian. Pada saat ini, mata Julian juga tertuju pada Vonny dengan tatapan yang membuat Febi tidak mengerti.
Adegan seperti itu membuatnya merasa sangat ironis.
"Usha, apakah Paman Samuel baik-baik saja?" Vonny merangkul lengan Usha dengan penuh kasih sayang. Seakan baru saat itulah dia menyadari ada orang lain di sana. Setelah dia mengangguk acuh pada Febi, dia tampak menatap Julian dengan pura-pura tersenyum, "Identitas apa yang Pak Julian gunakan untuk menjenguk?"
Arti kata-kata Vonny adalah ejekan untuk hubungan yang tidak jelas antara Febi dan Julian.
Ekspresi Julian tidak berubah, tatapan masih acuh tak acuh, "Seharusnya kalimat ini ditujukan pada Nona Vonny. Kalau kamu ingin muncul di sini sebagai Nyonya Muda Dinata, masih terlalu dini, ada Nyonya Muda Dinata yang asli berdiri di sebelahmu."
Aura pertengkaran yang sangat kuat, semakin menegaskan hubungan yang tidak jelas di antara mereka.
Tangan Febi yang tergantung mengencang tanpa sadar. Dapat didengar kalimat terakhir Julian jelas sedang mengejeknya. Julian melirik Febi dengan tatapan yang memiliki makna yang dalam, seolah-olah dia sedang menonton leluconnya. Selingkuhan datang dengan terang-terangan, tapi dia masih berkata dirinya mencintai Nando di telepon, bukankah itu konyol?
Febi juga berpikir dia konyol, tapi di hadapan dua orang ini, dia tidak mau kalah. Atas dasar apa mereka membuat kekacauan besar dalam hidupnya?
"Nona Vonny, berikan bunganya padaku saja." Febi menegakkan punggungnya dan menatap Vonny.
Vonny memegang bunga itu erat-erat dan tidak bergerak. Usha juga mengerutkan kening padanya, "Apa yang kamu lakukan?"
"Orang yang terbaring di ranjang rumah sakit adalah ayahmu. Kamu juga tidak ingin dia marah lagi, 'kan?" Febi memandang Usha, "Apakah menurutmu Ayah akan senang dia masuk seperti ini?"
"Kak Vonny juga berniat baik."
Febi menarik tangannya kembali, "Yah, kalau kalian melakukan sesuatu yang buruk dengan niat baik, kalian yang bertanggung jawab!"
Usha ragu-ragu sejenak, akhirnya dia berubah pikiran, "Kak Vonny, berikan bunga padanya. Kondisi ayahku tidak stabil sekarang, jadi jangan masuk dulu. Bagaimana kalau aku menemanimu jalan-jalan. Kita berbincang untuk menunggu kakakku datang."
"Tapi, aku punya sesuatu untuk dibicarakan dengan orang tuamu."
"Lain hari saja, ayahku akhirnya bisa siuman. Kalau sesuatu terjadi lagi, kamu akan sulit untuk menjelaskan pada kakakku."
Usha sudah berkata demikian. Jika Vonny masuk, dia sama saja dengan mencari masalah. Dia melirik Febi, lalu dengan enggan menyerahkan bunga itu kepada Febi. Febi tidak mengatakan sepatah kata pun, dia berjalan pergi sambil membawa bunga. Ketika dia tiba di pintu, dia tanpa ragu melemparkan bunga itu langsung ke tempat sampah di pintu. Dia tidak menoleh dan berjalan masuk ke bangsal lagi.
Di belakangnya, terdengar suara kesal Vonny.
"Febi, kamu!"
"Stt! Kak Vonny, pelan sedikit, kalau ayahku mendengar suaramu, masalah akan runyam." Usha menahannya.
"Lihat dia, dia sangat arogan!" Wajah Vonny memucat.
"Dia hanya berani melakukan ini karena ada ayahku sekarang. Nanti, saat kakakku menikahimu, bahkan menangis pun sudah tidak bisa," hibur Usha pada Vonny.
Julian melewati mereka dengan acuh tak acuh, lalu mengulurkan tangan untuk menekan lift dan berjalan masuk.
"Senior, tunggu sebentar, ayo turun bersama!" panggil Usha, tapi orang di lift menutup lift seolah-olah dia sama sekali tidak mendengarnya.
Usha menatap pintu yang tertutup dengan sedikit sedih. Vonny meliriknya. Dia merenung sejenak dan cahaya gelap melintas di matanya.
Mungkin, Usha bisa berdiri di kubu yang sama dengan Vonny.
...
Malam hari.
Nando mematuhi perintah Samuel dan mengantar Febi ke Jalan Akasia. Kaki Febi yang terkilir menjadi semakin parah, tapi dia tidak pernah mengeluh sepatah kata pun di depan Nando. Di gerbang Jalan Akasia, dia meminta Nando menghentikan mobil.
Hari ini, Nando mengendarai Hummer yang sangat tinggi. Febi mendorong pintu mobil hingga terbuka dan sebelum dia ingin pergi, Nando berkata, "Jangan bergerak!"
Febi bingung.
Setelah beberapa saat, Nando berjalan ke arahnya dan membukakan pintu mobil untuknya.
"Aku akan menggendongmu! Jangan melukai kakimu lagi," ucap Nando dan hendak membungkuk dan menggendongnya keluar dari mobil. Saat Nando mendekat, Febi langsung terpana.
Jika sebelumnya Nando bisa begitu perhatian, mereka tidak akan mencapai tahap ini. Sayangnya....
Apa yang telah Nando lakukan telah membuat hati Febi terluka parah. Sekarang, sudah terlambat untuk berbuat apa pun.
Febi mengulurkan tangannya ke tubuh yang dicondongkan ke arahnya dan menolak dengan nada datar, "Jangan sentuh aku, aku bisa keluar dari mobil sendiri."
"Kamu sudah melukai kakimu. Kamu ingin melompat dari ketinggian, kamu ingin melukainya lagi? Bisakah kamu berhenti keras kepala? Tidak mendengarkan apa yang orang lain katakan, bertindak seenaknya!"
Febi terkejut dan hatinya merasa tidak nyaman.
Benar, bukan?
Setelah terluka sekali karena Nando, dia masih tidak mengenal sakit dan dengan sangat cepat dipermainkan lagi. Jika bukan karena egois, bukankah dia tidak mendengarkan nasihat orang lain?
Tepat ketika dia memikirkannya, Nando sudah membungkuk dan menggendongnya dari mobil. Dia terkejut dan menepuk bahunya, "Nando, lepaskan! Aku bilang aku tidak butuh bantuanmu!"
Nando menurunkannya di tanah dan mengerutkan kening, "Aku di sini untuk membantumu, bukan untuk menindasmu. Aku periksa kakimu sebentar."
Saat Nando mengatakannya, dia berjongkok. Febi terkejut lagi, dia benar-benar terbiasa dengan perubahan mendadak Nando, jadi dia mundur selangkah dengan waspada dan bersandar ke belakang, "Aku baik-baik saja, jangan khawatir."
Penolakannya benar-benar sangat jelas.
Mata Nando rumit dan wajahnya sedih. "Febi...."
"Sudahlah. Sudah larut, kamu kembalilah," sela Febi. Dia teringat sesuatu dan merentangkan telapak tangannya ke arahnya lagi, "Sebelum kamu pergi, berikan kuncinya padaku."
"Kunci apa?" Nando sedikit bingung dengan kata-katanya yang aneh ini.
"Kunci cadangan yang Ayah berikan padamu, kembalikan padaku."
"Tidak!" tolak Nando, bahkan tanpa berpikir panjang. Setelah menyerahkan kunci, kelak Nando akan sulit untuk bertemu dengannya.
"Oke, aku akan mengganti kuncinya atau pindah." Bukan tidak mungkin untuk pindah. Berpisah jauh dari Julian, mungkin dia tidak akan merasa begitu tidak nyaman....
"Oke, aku akan memberimu kuncinya, kamu jangan pindah." Nando menyerah dan mengembalikan kunci itu padanya dengan frustrasi.
Febi tanpa basa-basi mengulurkan tangannya untuk mengambilnya. Dengan sedikit kekuatan, dia baru dapat mengambil kunci dari tangan Nando.
Nando menatapnya dalam-dalam dengan ekspresi yang rumit, seolah-olah dia memiliki banyak hal untuk dikatakan. Namun, melihat ekspresi Febi yang asing dan acuh tak acuh, kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya.
Dia menundukkan kepalanya untuk memasukkan kunci ke dalam tasnya. Nando memikirkan sesuatu, lalu tiba-tiba dia memegang wajah Febi dan di bawah mata Febi yang terkejut, Nando mencium dahi Febi dengan lembut.
Wajah Febi berubah, dia mundur selangkah dan menatapnya dengan waspada, "Nando, apa yang kamu lakukan?"
Penolakannya dan langkah mundur Febi jelas tercermin di mata Nando, hingga membuat ekspresinya menjadi masam dan ada jejak terluka melintas di matanya.
"Febi, beri aku kesempatan lagi untuk menebus kesalahanku. Jangan bersama Julian, jangan tergoda olehnya, dia tidak...."
"Sudahlah, aku tahu," sela Febi. Dia mendengar suaranya sedikit bergetar, sedih dan lelah, "Aku mengerti apa yang kamu katakan."
Karena dia sudah berkata demikian, Nando tidak mengatakan apa-apa lagi. Nando membuka pintu, lalu duduk di kursi pengemudi, menyalakan mobil, kemudian menurunkan jendela dan menjulurkan kepalanya, "Hati-hati, jangan melukai kakimu lagi."
Febi hanya berdiri di malam yang gelap dan sedikit mengangguk. Menyaksikan Hummer menghilang dari pandangannya. Ketika dia hendak melihat ke belakang, sebuah mobil yang dikenalnya tiba-tiba terlihat.
Febi terkejut.
Mobil diparkir di seberang.
Maybach hitam diam-diam bersembunyi di pinggir jalan. Tadi, dia berbicara dengan Nando, jadi dia sama sekali tidak memperhatikan arah itu....
Di malam yang gelap, sebenarnya tidak terlihat jelas. Namun entah kenapa, dia merasa ada garis pandang yang sedang mengarah padanya, yang membuat kulit kepalanya tegang dan hatinya membengkak....
Sudah berapa lama dia disana? Apakah dia melihat Nando memeluknya keluar dari mobil dan mencium dahinya barusan?
Di dalam hatinya, tanpa sadar Febi merasa sedikit panik.
Seperti merasa bersalah.
Namun, pada saat berikutnya, dia tertawa getir dan mencela diri sendiri.
Mengapa merasa bersalah?
Nando adalah suaminya, tidak ada salahnya dia mencium dan memeluknya. Selain itu ... apakah Julian akan peduli?
Saat Febi sedang berpikir, mobil di seberang tiba-tiba menyalakan lampu depannya.
Cahaya yang terang membuat Febi tidak bisa membuka matanya. Mobil bergegas ke arahnya dan hati Febi tiba-tiba menegang, tapi saat berikutnya....
Julian hanya melewatinya. Mobil itu menggambar busur yang indah di sekeliling Febi, lalu berputar arah dan melewatinya dengan dingin....
Febi berdiri di sana dengan pandangan kosong dan melihat mobil itu menghilang dari Jalan Akasia....
Sampai lampu belakang mati semua, hati Febi tiba-tiba juga menjadi gelap.
Sedikit tekanan yang tidak dapat dilukiskan....
...
Malam sebelum melakukan perjalanan bisnis untuk mengukur lahan.
Kak Robby keluar dari kantor dan berkata kepada semua orang yang bertanggung jawab atas proyek Hotel Hydra, "Malam ini, Pak Julian dan Pak Agustino dari Hotel Hydra ingin mentraktir makan malam, semua orang harus hadir! Selain itu, mulai besok, seluruh tim akan pindah ke Hotel Hydra, semuanya bersiaplah."
"Bagus sekali, bekerja di tempat seperti Hotel Hydra hanya dengan memikirkannya sudah membuatku bahagia. Menulis rancangan, menggambar sketsa, minum kopi, melihat laut.... Indah sekali!" Kantor itu seketika langsung gempar.
"Selain itu, ada empat CEO tampan. Meskipun tidak ada harapan untuk Pak Julian, masih ada tiga lainnya." Pernyataan seperti ini secara alami dari seorang gadis muda. Saat berbicara, dia tidak lupa mengeluarkan cermin dan bercermin dengan saksama.
Febi tanpa sadar melirik Tasya, tapi tidak ada gejolak di wajah Tasya.
Setelah bekerja, semua orang pergi dari Perusahaan Konstruksi Cyra ke Hotel Hydra.
Pertama kalinya Febi datang ke restoran Hotel Hydra. Seperti Tasya, dia melihat sekeliling dan tidak bisa tidak mengagumi betapa mewahnya semua yang ada di sini.
"Sejujurnya, lingkungan kerja Hotel Hydra benar-benar tidak tertandingi. Aku sudah lama membayangkan pemandangan bekerja sambil melihat laut setiap hari. Tapi...." Tasya melirik Febi dengan ragu, "Mungkin kelak kamu akan sering bertemu dengan Pak Julian. Selain itu, bukankah kamu berkata Vonny juga tinggal di sini?"
"Mereka adalah mereka, aku adalah aku. Semua ini masalah tentang pekerjaan, tidak apa-apa bertemu," kata Febi dengan santai, tapi hanya dia yang tahu betapa sesak hatinya. "Bagaimana denganmu? Menghadapi Agustino setiap hari, bagaimana menurutmu?"
"Aku tidak perlu memikirkannya. Dia sebenarnya hanya menginginkan seorang anak. Sedangkan aku, aku dapat memberikan apa saja, tapi anak, sama sekali tidak memiliki ruang untuk dipertimbangkan." Ketika berbicara tentang putranya, ekspresi Tasya adalah penuh ketegasan. Bisa dibayangkan pertempuran antara dia dan Agustino tidak dapat diselesaikan dalam satu atau dua hari.
Keduanya berjalan dan berbicara dan tiba di ruang VIP. Mereka masuk bersama yang lain dan mendengar Kak Robby menyapa, "Pak Julian, Tuan Agustino, hari ini sudah merepotkan kalian."
"Kenapa begitu sungkan? Ayo, masuk dan duduklah," sapa Agustino kepada semua orang dengan hangat.
Julian tetap diam.
Febi mengikuti semua orang dan duduk secara acak. Julian sedang duduk di seberangnya, ekspresinya tenang dan santai. Febi meliriknya tanpa sadar, lalu dengan cepat berbalik dan duduk tegak.
Agustino memerintahkan pelayan untuk menyajikan hidangan.
Kemudian, dia memegang gelas anggur dan berdiri, semua orang tidak berani mengabaikannya, mereka semua langsung tegak. Di sana, Julian juga bangun. Agustino tersenyum dan berkata, "Proyek ini adalah proyek besar, kami akan menyerahkannya kepada kalian semua. Pak Julian dan aku bersulang untuk semuanya. Terutama kalian bertiga...."
Tatapannya tertuju pada Febi, Tasya dan Meliana. Akhirnya, dia memutar pandangannya dan berhenti di wajah Tasya, matanya semakin gelap, "Kalian bertiga yang bertanggung jawab, semua tergantung pada kalian."
"Jangan khawatir, Pak Agustino tidak akan kecewa," ucap Meliana dan mengambil inisiatif untuk mendentingkan gelas dengan Agustino, lalu berkata, "Pak Agustino, untuk menunjukkan ketulusanku. Aku akan minum terlebih dahulu sebagai rasa hormat."
Setelah berbicara, dia meminum semua anggur di gelasnya. Agustino memuji, "Bertanggung jawab!"
Di sini, Tasya dan Febi tidak berani meminum semuanya, mereka hanya meminum sedikit.
Tiba-tiba, suasana menjadi ramai, semua orang mengambil tempat duduk dan Kak Robby tiba-tiba berkata, "Febi, kamu telah melakukan banyak pekerjaan untuk menyelesaikan kasus ini. Semua berkat kelihaian Pak Julian memilihmu."
Febi terkejut sesaat dan diam-diam melirik Julian. Di seberang meja makan besar, pada saat ini Julia bahkan sedang melihatnya. Mata itu dalam dan rumit, seakan menembus jarak ruang dan langsung menembak ke dalam hatinya.
Febi membuang muka dan mengangkat senyum di atas meja, "Kak Robby, tidak seperti itu, aku tidak berani menerima pujianmu."
"Apa yang kamu katakan menjelaskan promosi Pak Julian terhadapmu jelas merupakan kesalahan."
"Aku tidak bermaksud begitu," jelas Febi. Kak Robby adalah orang yang cerdas dan topik terus berputar-putar di sekitar mereka, "Apakah itu artinya atau tidak. Singkatnya, perlu berterima kasih pada Pak Julian dulu, bukan?"
Febi tahu sulit baginya untuk menolak, jadi dia tersenyum, "Tentu saja itu perlu."
Baru saat itulah dia benar-benar menghadapi Julian, tangan yang berada di lututnya mengepal erat, tapi wajahnya pura-pura santai, "Pak Julian, terima kasih untuk proyek ini. Tentu saja, seluruh tim kami sangat berterima kasih padamu."
Nadanya terdengar asing seperti dua orang asing yang benar-benar tidak mengenal satu sama lain.
"Nona Febi, karena ingin berterima kasih, bukankah terlalu tidak tulus hanya mengatakannya secara lisan?" Julian tampak tidak senang. Dia melirik pelayan di belakangnya, lalu pelayan itu segera membawa anggur dan menuangkan arak ke gelas Febi.
Febi tidak tahu begitu bisa minum. Selain itu, yang dituangkan adalah arak putih, hati Febi merasa sangat panik.
Di sana, Julian sudah berdiri dengan gagah. Febi mengangkat gelasnya dan menyeberangi meja, lalu mengambil inisiatif untuk mendentingkan gelasnya. Julian berkata, "Nona Febi memiliki ingatan yang buruk, tapi aku tersanjung karena masih ingat untuk berterima kasih kepadaku."
Singkatnya, orang lain mungkin terdengar seperti tidak mengerti, tapi Febi memahaminya. Terutama, kalimat pertamanya yang diucapkan dengan tegas.
"Pak Julian terlalu serius, aku akan menghabiskannya dulu," kata Febi, lalu dia mengangkat gelasnya dan meminum semua anggurnya.
Pelayan menuangkan banyak arak putih padanya, dia meminumnya dalam satu tegukan. Wajah Julian tiba-tiba membeku, dia memegang gelasnya dan tidak bergerak. Agustino menikamnya dengan sikunya dan Julian baru meminumnya dalam satu tegukan, jari-jarinya memegang gelas dengan erat.
Setelah itu....
Febi dan Julian tidak lagi berbincang. Mereka berada di meja makan yang sama, tapi mereka seperti dua orang asing dan mata mereka tidak pernah bertemu.
Di sisi lain, Agustino jelas-jelas ingin mempersulit Tasya, dia mencoba untuk membuat Tasya mabuk. Febi membujuknya, tapi Tasya tidak peduli, dia ingin melawan Agustino sampai akhir. Akibatnya, ketika tiba selesai makan, Tasya bergegas ke kamar mandi dengan panik dan Febi segera mengikuti.
"Apakah kamu baik-baik saja? Jelas-jelas kamu tahu dia menindasmu, kamu masih minum hingga seperti ini." Febi menepuk punggungnya dengan kasihan.
"Aku hanya ingin dia tahu ... aku tidak mudah diganggu ... hoek...." Tasya muntah lagi, hingga air matanya jatuh, seolah bergumam pada dirinya sendiri, "Aku tidak memberikan anakku padanya.... mati pun tidak akan.... "
Febi merasa sedih. Delvin adalah anak yang paling dicintainya. Tasya biasanya harus pergi bekerja, jadi dia tidak mengurusnya. Dia sudah membenci dirinya sendiri karena hal ini. Sekarang Agustino ingin mengambil anak itu, itu benar-benar sama dengan menginginkan nyawanya.
Saat Febi berpikir tentang bagaimana berbicara untuk menghiburnya, dia mendengar langkah kaki datang dari belakang. Ketika dia berbalik, dia melihat Agustino berdiri di belakang, Agustino menatap Tasya yang menangis dengan ekspresi rumit dan mengutuk dengan suara rendah, "Wanita bodoh!"
Sebelum Febi mengatakan apa-apa, Agustino berkata, "Kamu pergi dulu dan serahkan dia padaku."
Dia menatapnya dengan curiga dan tidak tenang memberikan Tasya padanya. Agustino berkata, "Bagaimanapun juga, dia adalah ibu dari anakku. Aku tidak akan membunuhnya. Selain itu...."
Agustino berhenti sejenak, "Pergi lihat orang yang ada di luar. Dia banyak minum. Sekarang dia mau mengendarai mobil."
Febi tidak ingin khawatir, tidak ingin memperhatikan, tapi ketika dia mendengar kata-kata terakhir Agustino, hatinya tegang tanpa sadar. Setelah melirik Tasya, dia benar-benar berjalan keluar dari kamar mandi. Ketika dia berbalik, dia melihat Agustino langsung menggendong Tasya yang tidak sadarkan diri. Tasya masih kesal, ketika dia melihat orang itu adalah Agustino, dia mengulurkan tangannya dan memukulnya.
Agustino menggertakkan giginya, "Tasya, hentikan!"
Tasya benar-benar berhenti, tapi tiba-tiba dia memeluk lehernya dan menggigitnya dengan keras. Dia menjadi gila karena mabuk, kekuatan gigitannya sangat kuat hingga Agustino mendesis kesakitan dan wajahnya memucat, tapi dia tidak meninggalkan Tasya sendirian. Dia memarahi sepanjang jalan sambil menggendongnya keluar.
Ketika melihatnya, Febi tidak bisa menahan senyum dan merasa terhibur di dalam hatinya. Tasya bukan orang yang mudah ditindas, bahkan lebih sulit untuk menggertak setelah minum. Jika Agustino ingin memberinya pelajaran, pasti tidak akan mudah.
Setelah mereka menghilang, Febi berjalan keluar. Ketika dia berjalan ke pintu restoran, dia menemukan semua orang sudah pergi. Dibandingkan dengan suasana ramai tadi, saat ini terasa sangat sepi hingga membuat hati terasa kosong.
Febi benar-benar tidak ingin memikirkan kata-kata terakhir yang diucapkan Agustino padanya, tapi begitu dia keluar, dia melihat sekeliling tanpa sadar.
Di mana mobil yang familier itu? Sosok yang familier itu?
Apakah dia benar-benar pergi dalam keadaan mabuk?
Jantung Febi tiba-tiba menegang, dia berjalan keluar dengan cepat. Hotel Hydra sangat besar, ada banyak tempat parkir dan mobil-mobil mewah yang mempesona. Dia berjalan ke tempat parkir terdekat dengan restoran dan melihat sekeliling.
Tidak ada!
Tidak ada Maybach yang familier.
Ada seorang manajer hotel berjalan menuju sisi ini, dia ragu-ragu apakah mau bertanya, tapi sebelum dia mengambil keputusan, dua lampu kuat melintas ke arahnya. Cahaya itu tidak langsung mengarah ke wajahnya, tetapi terus-menerus berkedip.
Dia menyipitkan matanya untuk menghalangi cahaya dan melihat ke arah sumber cahaya.
Di balik cahaya yang menyilaukan. Dalam kegelapan, bayangan yang familier berdiri di sana dan bersandar pada sebuah mobil Cayenne. Posturnya santai dan sedikit malas. Setelan hitamnya cocok dengan kegelapan malam, fitur wajahnya terlihat bayang-bayang dan tidak terlalu jelas. Namun, itu cukup untuk membuat jantung Febi berdebar kencang.
"Kamu mencariku?" Suaranya rendah, mungkin karena dia telah minum alkohol, suaranya yang serak terdengar lebih seksi.
Jantungnya berdetak kencang.
"... tidak." Febi kepala berbalik dengan keras kepala dan menolak untuk mengakuinya.
Julian meliriknya dan tidak mengatakan apa-apa. Dia membuka pintu mobil, membungkuk dan duduk. Lampu yang berkedip tidak berkedip lagi, tapi digantikan oleh lampu depan yang lebih terang.
Apakah dia benar-benar akan pergi?
Malam ini, dia telah minum banyak!
Febi menggigit bibirnya. Akhirnya dia masih berjalan, lalu mengangkat tangannya dan mengetuk jendela mobil. Dia perlahan menurunkan jendela mobil dan aroma anggur yang lembut tercium oleh Febi. Wajah Julian merona karena mabuk. Matanya kabur dan dia menatapnya dengan curiga.
"Apakah kamu ada urusan?"
"Sudah seperti ini, kamu masih mau mengemudi?" Febi tidak mengerti.
"Aku masih ada perjamuan," jelas Julian dengan ringan.
"Bagaimana dengan asisten dan sekretarismu?"
"Semuanya ada di sana."
"Kamu dapat mencari seseorang untuk membantumu mengemudi. Kamu mengemudi dalam keadaan mabuk sekarang. Kalau ketahuan, kamu akan dipenjara!" Dia tampak serius dan berbicara dengan tegas.
Julian mengangguk, "Mengerti."
Apa artinya mengerti?
Febi merasa apa yang dia katakan tentang masuk penjara benar-benar berlebihan. Dengan identitas Julian, apakah dia masih takut ditangkap?
"Perjamuan apa yang membuatmu harus pergi selarut ini?" Febi tidak menyadari dia terlalu banyak mengurusi masalahnya.
"Sangat penting, aku harus pergi."
Febi merenung dan meliriknya, "Kamu turun dulu."
Julian tidak bergerak. Febi mengulurkan tangannya dan membuka pintu mobil. Kemudian, dia sedikit membungkuk untuk menarik Julian keluar. Namun dia bukan hanya tidak bisa menariknya, tapi Julian malah melingkari pinggangnya dengan lengannya yang panjang. Saat berikutnya, Febi duduk menyamping di pangkuan Julian.
Bau alkohol tercium dan jantung Febi berdebar kencang. Tanpa sadar dia ingin berdiri dari pangkuannya, tapi pinggangnya dipeluk oleh telapak tangannya yang besar dan dia tidak bisa bergerak.
"Julian!" Febi merasa tidak berdaya dan memanggil namanya dengan suara rendah. Tangannya berusaha untuk melepaskan tangan Julian.
Namun, bagaimana dia bisa melepas tangan Julian dengan kekuatan kecil itu?
"Bukankah ingin membiarkan hubungan kita berlalu begitu saja? Kenapa kamu datang mencariku sekarang?"
Dia menggigit bibirnya dan tidak menjawab, hatinya merasa sedih. Julian mengulurkan tangan dan menarik dagu Febi, membuat wajah Febi menghadap ke wajahnya.