Chereads / Direktur, Ayo Cerai / Chapter 99 - ##Bab 99 Salah Paham Terselesaikan

Chapter 99 - ##Bab 99 Salah Paham Terselesaikan

Dia menggigit bibirnya dan tidak menjawab, hatinya merasa sedih. Julian mengulurkan tangan dan menarik dagu Febi, membuat wajah Febi menghadap ke wajahnya.

Febi menundukkan kepalanya dan tiba-tiba menabrak tatapan yang dalam, tatapannya begitu dalam sehingga seakan tidak berdasar. Dalam hatinya, tiba-tiba seakan ada bel alarm yang berbunyi. Pria ini terlalu berbahaya. Semakin dia dekat Febi, dia semakin akan terluka.

"Lepaskan!" Febi memaksa dirinya untuk tetap berpikir jernih dan menepis jari Julian.

"Lepas!" perintah Julian dengan suara yang dalam. Febi terkejut, seolah dikejutkan oleh auranya. Jari-jari Febi membeku di sana dan tidak bergerak. Julian menatapnya dengan tatapan yang dalam dan ada sedikit kesejukan cahaya bulan, "Kenapa tiba-tiba sikapmu berubah? Apakah kamu benar-benar berencana untuk tinggal bersamanya seperti ini?"

Ada kemarahan yang tertahan dalam nada suara Julian.

Febi hanya bisa mencibir.

Kenapa?

Karena dia tidak bodoh, tidak naif. Dia tidak tahu jalan di depan adalah jebakan, dia masih tidak peduli dan melompat ke dalamnya.

"Apakah ada alasan untuk ini? Aku tiba-tiba menyadarinya." Febi melihat mata Julian dan berusaha untuk tersenyum, "Aku seorang wanita yang sudah berkeluarga. Aku tidak ingin bermain-main lagi, itu saja."

Bermain-main?

Bagaimana Febi bisa menggunakan kata ini dengan santai?

Febi jelas merasakan suhu di seluruh mobil tiba-tiba menurun, seolah akan membekukan orang dan membuat orang merasa kedinginan.

"Bermain-main? Apakah kamu bisa?" Julian mendorong Febi keluar dari mobil, Febi hampir tidak bisa berdiri tegak, tapi pundaknya menjadi berat. Pada saat berikutnya, dia ditekan di badan mobil dengan keras. Punggung Febi menyentuh logam yang dingin, hingga seluruh tubuhnya terasa dingin.

Matanya berubah menjadi lebih dingin.

"Sebelum kamu membuatku marah, tarik kembali semua kata-kata yang baru saja kamu katakan," perintah Julian dengan paksa, matanya terus menatap tajam Febi.

Ucapan ini seketika langsung menusuk hati terdalam Febi.

Julian tahu Febi tidak mampu bermain-main, jelas-jelas Febi hanya berbicara besar, kenapa dia masih menindas Febi seperti ini?

Ujung hidung Febi terasa perih, dia seakan mendapatkan penindasan yang sangat berat, hingga Febi mendorong Julian dengan sekuat tenaga, "Julian, kamu bajingan! Kamu pikir aku sangat mudah ditindas, bukan? Aku membiarkan Nando menindasku, membiarkan Vonny menindasku, masih membiarkan kamu menindasku...."

Saat dia berbicara, air mata mengalir turun. Rambutnya acak-acakan dan dia juga tidak peduli. Seolah-olah dia ingin melampiaskan semua keluhan yang dia derita selama ini karena mabuk. Febi mengepalkan tinjunya dan memukuli Julian, "Aku sangat bodoh, membiarkan kalian mempermainkanku! Aku tidak akan mempercayaimu lagi. Aku tidak akan pernah mempercayaimu lagi!"

Air mata Febi membuat mata Julian menegang.

Julian juga tidak menghentikan Febi meluapkan emosinya. Dia hanya memeluk pinggang Febi dengan erat di dalam dekapannya. Febi menangis sambil meronta dan Julian memeluknya semakin erat.

Jari-jari Julian mengangkat dagu Febi, membuat mata Febi yang berlinang air mata bertemu dengan matanya, "Kita bicarakan dengan jelas!"

Setelah dibicarakan sekali di rumah sakit, Julian selalu merasa ada yang tidak beres. Namun, dia tidak tahu apa yang salah. Dalam hal perasaan, Febi bukanlah wanita yang mudah berubah pikiran. Selain itu, Julian dapat dengan jelas merasakan Febi yang merindukan adegan malam itu dan Febi tidak seperti sedang berpura-pura.

"Aku tidak punya apa-apa untuk dibicarakan denganmu! Munafik, pembohong! Dasar Pembohong!"

Febi teringat keterlibatan Julian dengan Vonny. Febi sangat ingin mengangkat kakinya dan menendang Julian.

"Kamu terus berkata aku pembohong, hal apa yang aku bohongi padamu? Sebelum menghukumku, setidaknya kamu harus memberikan bukti. Kalau tidak, sekarang kamu sama saja dengan bersikap tidak masuk akal."

"Ya, anggap saja aku bersikap tidak masuk akal. Aku bahkan tidak ingin menyebutkan bukti yang memberatkanmu...." Febi menangis tersedu-sedu, dadanya sesak dan dia hampir kehabisan napas. Pada akhirnya, dia hanya menatap Julian dengan air mata di matanya, "Julian, aku mohon ... berhentilah berpura-pura di hadapanku. Seperti yang kamu katakan, aku tidak mampu bermain-main.... Sungguh...."

Julian bisa melihatnya, pasti ada sesuatu yang tersembunyi dalam masalah ini.

Malam ini, jika dia tidak membuka mulut wanita ini, dia tidak bernama Julian.

Julian tidak mengatakan apa-apa, dia hanya menyeret tangan Febi dengan satu tangan, lalu mengeluarkan ponsel dari mobil dengan tangan yang lain dan membanting pintu.

"Ikuti aku!" pinta Julian sambil menarik Febi dan menelepon.

"Aku tidak mau pergi...." Febi tidak tahu ke mana Julian ingin membawanya, tapi secara naluriah menolaknya. Julian menghentikan langkahnya, lalu menoleh dan menatapnya, "Kalau kamu tidak pergi, aku akan menggendongmu, kamu pilih salah satu!"

Febi menggigit bibirnya dan memelototinya, "Kamu terlalu mendominasi!"

Namun, Febi juga tahu dia tidak bisa menahan dominasinya. Jika dia benar-benar tidak pergi bersamanya, dia pasti akan menggendongnya pergi.

Febi mau tidak mau mengikutinya dan mendengarnya memanggil, "Yah, aku baru saja minum.... Kalau sulit, aku akan datang nanti.... Oke, begitu saja."

Julian menutup telepon dengan lincah, lalu Febi berkata di belakangnya, "Bukankah kamu memiliki perjamuan yang sangat penting? Sekarang kamu tidak perlu pergi?"

"Ya." Julian menoleh untuk menatapnya, "Sekarang aku menyadari aku memiliki hal-hal yang lebih penting untuk diselesaikan."

Tatapan Julian sangat dalam dan kasih sayang di dalamnya begitu kuat sehingga Febi merasa dia benar-benar peduli padanya. Jika tidak, Julian tidak akan menganggap serius urusan mereka. Namun, semua ini adalah kebohongannya lagi, 'kan?

"Ke mana kamu akan membawaku?" Febi sedikit sulit berjalan karena mengenakan sepatu hak tinggi.

Julian menatap kakinya, "Bagaimana dengan kakimu?"

"Apa?" Topik pembicaraan tiba-tiba berubah hingga membuat Febi sedikit bingung.

"Kakimu yang terkilir sebelumnya," lanjut Julian.

"Oh...." Baru pada saat itulah Febi mengerti. Sudah berlalu berhari-hari, bahkan Febi pun telah melupakannya. Namun, tidak disangka Julian masih mengingatnya. Jika ini semua akting, maka Febi hanya bisa berkata Julian benar-benar aktor yang bisa memenangkan piala Oscar.

"Kenapa menjawab oh? Aku bertanya padamu." Tentu saja, Julian tidak tahu Febi sedang berpikir keras, jadi Julian meliriknya.

"Sudah tidak apa-apa," jawab Febi. Dia merasa suasana sekarang sedikit aneh. Dia terus-menerus mengingatkan dirinya betapa berbahayanya pria ini, dia tidak boleh tergoda lagi.

Jadi, Febi mengerucutkan bibirnya, dia berbicara lagi dengan ekspresi datar, "Terima kasih atas perhatian Pak Julian."

Karena kalimat terakhirnya, Julian mencibir dengan nada mengejek, "Sepertinya kamu tidak peduli dengan kekhawatiranku, kamu hanya peduli dengan kekhawatiran suamimu."

Febi mengerutkan kening. Tidak peduli seperti apa pun dia mencernanya, nada bicara Julian terdengar sedang mengejeknya. Dia ingin mengatakan sesuatu kepadanya, tapi mengingat adegan di mana Julian melihat dia dan Nando saling berpelukan di Jalan Akasia hari itu. Untuk beberapa alasan, Febi tidak bisa mengatakan sepatah kata pun.

Benar-benar membingungkan.

Febi ingin bersikap keras kepala di hadapan Julian dan membalas dendam padanya. Namun, saat adegan yang benar-benar akan menyebabkan kesalahpahaman ditempatkan di hadapannya, Febi tidak berani mengatakannya.

Seolah-olah....

Dia benar-benar takut Julian akan salah paham.

Febi, kamu benar-benar tidak berguna.

Julian berjalan di depan. Dia juga tidak mengetahui saat ini Febi sedang kebingungan dan dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Julian langsung menariknya dan berjalan ke area kamar tamu. Mereka merasakan angin laut, berjalan melalui taman yang cerah, semak-semak dan koridor yang berukir corak kuno. Febi didorong oleh Julian ke dalam lift yang hanya bisa dibuka dengan menggunakan sidik jari.

"Sebenarnya ke mana kita akan pergi?"

Sesuatu yang menjawabnya hanya tindakan Julian. Jari-jarinya yang ramping langsung menekan angka 24.

2418 adalah kamar eksklusif Julian. Febi langsung paham, dia menepis tangan Julian, tapi Julian malah memegangnya lebih erat.

"Aku mau pulang." Febi mengerutkan kening.

"Setelah berbicara denganku, kamu bisa pergi ke mana pun kamu mau."

"Aku tidak punya apa-apa untuk dibicarakan denganmu." Febi memalingkan wajahnya dengan keras kepala. Dari cermin yang bersih, dia bisa melihat tangan mereka yang tergenggam dengan erat. Julian menyeretnya ke atas sekarang. Saat seorang penyewa melewati mereka, para penyewa melihat mereka saling berpegangan, tapi Julian tetap tidak pernah melepaskannya.

Dia begitu tegas dan yakin.

"Tapi aku punya sesuatu untuk dibicarakan denganmu." Nada suara Julian sama sekali tidak memberikan ruang kepada Febi untuk bernegosiasi. Dia sedikit frustrasi, "Julian, apa yang kamu inginkan? Aku tidak akan tertipu lagi!"

Pada saat ini, terdengar suara "ting" dan pintu lift perlahan terbuka. Julian menarik Febi, tapi dia menolak untuk bergerak. Julian sama sekali tidak menunggu lama, dia berbalik, lalu membungkuk dan menggendong Febi.

Bau alkohol, disertai dengan napas menyegarkan milik Julian tercium oleh Febi, seketika Febi merasa seakan mabuk. Hatinya sedikit kacau, tapi dia memegang erat pakaian Julian, "Julian, apa yang kamu lakukan? Turunkan aku!"

"Kamu bisa berteriak lebih keras, dengan begitu semua orang di lantai ini akan keluar."

"Kamu direktur di sini, jadi kamu yang akan kehilangan muka."

"Tapi aku tidak peduli. Bagaimana denganmu? Apa kamu tidak peduli?" Julian menatapnya. Kata "tidak peduli" itu diucapkan tanpa ragu-ragu. Tatapan Julian tidak ada rasa bersalah ataupun berkedip sekali pun.

Hati Febi terasa sakit. Dia masih dengan bodohnya berharap jika Julian akan mengatakan yang sebenarnya....

Febi menatap Julian dan matanya menjadi merah tanpa sadar. Julian melihat mata Febi yang berlinang air mata, tatapannya menjadi sedikit gelap dan seakan ada perasaan kasihan padanya. Febi tidak tahan melihat ekspresi Julian yang seperti itu, jadi dia membuang muka dengan sedih dan membenamkan wajahnya di dada Julian. Jari-jari Febi yang memegang pakaian Julian juga bergemetar pelan.

Julian tidak bertanya lebih jauh, dia hanya menggendong Febi ke pintu kamar 2418.

"Ambil kartunya," perintah Julian.

"Apa?" tanya Febi dengan wajah cemberut, dia juga tidak mengangkat kepalanya dari dadanya.

"Di sakuku."

Baru pada saat itulah Febi mengerti, Julian memintanya untuk mengambil kartu kamarnya. Febi tidak mengulurkan tangannya, dia hanya meronta sejenak, "Turunkan aku."

Namun, Julian sepertinya suka menggendongnya seperti ini. Dia tidak melepaskannya, tapi berkata dengan tegas, "Aku tidak ingin menghabiskan waktu untuk menangkapmu. Ambil kartunya!"

Jika Julian melepaskannya, Febi pasti tidak akan berperilaku baik. Daripada berbicara baik padanya, lebih baik Julian melakukan hal yang membuat Febi tidak punya jalan untuk melarikan diri.

Febi menyadari saat Julian bersikap tegas, tidak ada yang bisa membantahnya.

Febi mau tidak mau menurunkan tangannya ke bawah dan merogoh saku celana Julian. Jarinya meraba-raba di dalam sakunya. Bahkan tertutup oleh kain, Febi bisa dengan jelas merasakan otot yang kuat dan panas yang menyengat dari paha Julian. Jari-jarinya sedikit gemetar, dia tidak merasakan kartu untuk sementara waktu. Febi sedikit tertekan dan merasa cemas.

Jika Febi bisa lebih awal mendapatkan kartu, maka semua ini akan berakhir lebih cepat. Hal ini benar-benar adalah tantangan baginya.

Saat Febi merasa tertekan karna tidak mendapatkan kartu, di atas kepalanya terdengar suara serak yang memperingatkannya, "Jangan sembarangan menyentuh...."

Febi memandang ke atas dan bertemu dengan mata Julian yang penuh nafsu. Febi terkejut dan dengan cepat menarik tangannya. Dia meronta dengan tidak nyaman, "Sudah kubilang untuk menurunkanku, aku tidak akan melarikan diri lagi."

Julian menatapnya, "Kartu ada di saku jas, kenapa kamu menyentuh saku di bawah?"

"..." Febi tersipu malu. Nada suara Julian seakan mengatakan Febi adalah seorang cabul. "Kamu yang tidak memberitahuku lebih awal!"

Julian jelas melakukannya dengan sengaja. Dia hanya ingin melihat Febi mempermalukan dirinya sendiri.

"Aku melihatmu sangat menikmatinya...."

"Kamu yang menikmatinya!" sela Febi dengan wajah merah.

"Yah." Awalnya Febi berpikir Julian akan menyangkalnya, tapi tidak disangka Julian akan merespons dengan begitu tenang dan sama sekali tidak menyembunyikannya.

Sebaliknya, hal ini malah membuat Febi tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun, seolah-olah dia meninju ke kapas, dia merasa tidak ada tenaga sedikit pun.

"Apa yang masih kamu lakukan? Ambil kartu, tanganku pegal," ucap Julian untuk mengingatkannya.

Tangan pegal?

"Bukankah kamu suka menggendongku? Kenapa kamu masih merasa tanganmu pegal?" Febi dengan sengaja perlahan membuka kancing jasnya, kemudian perlahan mencari kartu di dalam jasnya.

Julian tahu dia sedang mengolok-oloknya, tapi dia tidak marah dan malah tertawa. Julian menundukkan kepala untuk menatap Febi, nada suaranya terdengar sedikit lembut seperti matahari yang tiba-tiba menerpa di musim dingin, "Febi, apakah kamu tahu seperti apa kita sekarang?"

Panggilan "Febi" yang diucapkan Julian masih membuat jantungnya berdetak tak terkendali. Sinar itu seakan menembus kabut di hatinya dan mencairkan es di hatinya....

Febi tiba-tiba teringat malam itu, Julian membujuk Febi untuk memanggilnya "Julian". Saat itu, Julian juga sangat lembut....

"Seperti apa?" tanya Febi dengan linglung, emosi di hatinya bergejolak, hingga dia bahkan sudah tidak bisa menahan dirinya. Orang ini mungkin adalah musuh bebuyutan Febi....

"Tindakan ini seperti kamu tidak sabar dan ingin mengeksekusiku di tempat," ucap Julian dengan santai.

Febi tiba-tiba kembali sadar. Baru pada saat itulah dia menyadari betapa ambigu tindakannya sekarang. Saat ini, Febi masih memegang kancing Julian yang dia lepaskan. Jika orang lain melihatnya, tidakkah mereka akan benar-benar berpikir Febi sudah sangat tidak sabar?

Febi tidak mencari masalah dengannya lagi. Dia langsung mengeluarkan kartu kamar dari sakunya. Setelah menempelkan kartu di pintu, dia mendengar suara pintu terbuka. Julian membuka pintu yang berat dengan lututnya. Sebelum Febi sempat memasukkan kartu itu ke soket listrik, Julian sudah menggendong Febi berjalan masuk. Dia melewati aula dan membawanya ke kamar tidur.

Tirai sedang terbuka.

Kamarnya sangat besar.

Cahaya bulan di luar jendela terlihat kabur seperti lapisan kabut, menyelimuti seluruh ruangan. Kedua orang itu tiba-tiba tenggelam di dalam malam yang gelap dan kabur itu. Suasana di sekitarnya tiba-tiba menjadi ambigu hingga membuat jantung mereka berdetak kencang. Apalagi sekarang mereka sedang dalam posisi seperti itu....

Febi ingin mengatakan sesuatu. Namun pada saat berikutnya, tubuhnya langsung diletakkan di ranjang.

Lengan Febi masih merangkul leher Julian. Julian membungkuk hingga wajah keduanya sangat dekat dan napas mereka terjalin.

Pada saat itu, seolah-olah telah disihir, Febi lupa melepaskan tangannya dari leher Julian dalam waktu lama. Julian juga tidak berdiri tegak, hanya menatapnya seperti itu.

"Bukankah kamu memiliki sesuatu untuk dibicarakan denganku?" Pada akhirnya, Febi yang terlebih dahulu bereaksi.

Lengannya terjatuh dari leher Julian.

Julian mengulurkan tangannya dan menggenggamnya, jari-jari Febi yang lembut dipegang di telapak tangannya.

Febi merasakan kehangatan yang menjalar ke hatinya.

Julian masih mempertahankan posisinya dalam keadaaan bungkuk, "Katakan dengan jelas."

Dalam satu kalimat, Febi terbangun. Dia teringat kebenaran yang memalukan.

Namun, karena Julian telah bertanya dengan terang-terangan, mengapa dia harus melarikan diri? Hanya saja ... setelah semua ini terbongkar, setelah keduanya berkata jujur, apakah mereka benar-benar menjadi orang asing? Tidak akan ada lagi kedekatan seperti saat ini?

Febi benar-benar tidak berguna!

Dia bahkan masih merasa sedih!

"Hari itu … aku kembali dari Kota A lebih awal," tutur Febi dengan lemah.

Masalahnya benar-benar ada di sini.

Sejak hari itu, dia mulai tidak menjawab teleponnya. Sikap Febi benar-benar tidak beres.

Julian tidak menjawab, dia hanya menunggunya melanjutkan penjelasannya. Sudut matanya sedikit basah dan napasnya sedikit lebih berat. Di bawah sinar bulan, mata itu berkaca-kaca hingga membuat Julian merasa kasihan. Jari Julian mendarat di sudut matanya dan menyekanya dengan lembut. Namun, tindakan inilah yang membuat air mata Febi seketika mengalir semakin deras.

"Kenapa kamu berbohong padaku? Kamu bilang kamu serius padaku, kamu bilang kamu menungguku bercerai. Kamu bilang kamu mengejarku di depan begitu banyak media, tapi nyatanya ... ini semua hanya omong kosong...."

Febi mendengar suaranya sendiri terdengar bergemetar.

Julian meraih tangannya dengan erat, "Di mana kamu merasa itu adalah omong kosong?"

"Aku mendengarnya sendiri! Kamu melakukan semua ini karena Vonny! Julian, kamu mendekatiku karena dia!"

Seolah-olah dia tidak menyangka dia akan mengatakan hal seperti itu, Julian terkejut.

"Kamu mendengar apa yang dikatakan Vonny dan aku malam itu?"

Dia mencibir, dengan nada sarkasme, "Ya, aku mendengar semuanya! Dia hamil...."

Febi mengambil napas dalam-dalam, menahan rasa sakit di dadanya dan melanjutkan, "Kamu melakukannya dengan terang-terangan. Kamu tiba-tiba muncul di sampingku dan menjalankan rencanamu dengan mulus, menyelamatkanku dari situasi yang memalukan berkali-kali. Semua ini sudah kamu atur sebelumnya. Kamu hanya ingin membuat Vonny kesal! Jadi ... dari awal sampai akhir, aku hanyalah orang yang kamu gunakan untuk merangsang Vonny...."

Dia sebenarnya berharap Julian akan membantahnya.

Namun....

Julian hanya diam.

Di mata itu, bukan lagi ketenangan yang seperti sebelumnya, tapi permintaan maaf yang tersirat.

Permintaan maaf?

Hehe....

Tatapan itu telah mengatakan segalanya....

Febi sudah tahu hasilnya sejak lama, tapi sekarang dia tidak mendengar bantahannya, dia masih merasa sedih....

Hatinya merasa dingin....

Dingin yang dari telapak kaki hingga ke lubuk hatinya.

Febi menarik tangannya keluar dari telapak tangan Julian.

Di ujung jarinya, masih tersisa suhu panas Julian, tapi....

Tetap saja, dia masih merasa sangat dingin....

Febi mengulurkan tangannya dan mendorongnya pergi, "Sekarang kita sudah membicarakannya dengan jelas, topengmu telah dilepas olehku. Kita tidak punya apa-apa untuk dikatakan lagi."

Dia melompat turun dari tempat tidur dan mulai berjalan keluar. Hati Julian merasa sakit, dia mengulurkan tangan untuk meraihnya. Febi bahkan tidak berpikir panjang langsung menepisnya, "Jangan sentuh aku!"

Febi membuka pintu kamar dan bergegas keluar. Dia berjalan dengan cepat dan tergesa-gesa, seluruh aula gelap gulita dan jari-jari kakinya menendang meja konferensi di depannya. Febi mengerang kesakitan, berjongkok sambil memeluk lututnya dan menangis.

Seperti apa pun, dia tetap tidak bisa berhenti menangis.

Dia merasa sakit di jari kakinya, tapi....

Tempat yang lebih terasa sakit adalah hatinya....

Julian berjalan beberapa langkah dan melihatnya berjongkok di lantai. Di bawah sinar bulan, dia mendengar suara terisak, hatinya pun menegang.

"Ada apa?" tanya Julian dengan suara rendah sambil berjongkok.

Febi tidak berbicara. Dia berdiri dan hendak mengitari meja konferensi. Julian menggendongnya dari belakang dan meletakkannya di meja konferensi.

"Apa yang kamu lakukan? Sekarang setelah kita telah mengatakan yang sebenarnya, apa yang ingin kamu lakukan padaku lagi?" Febi duduk di tepi meja konferensi, lalu mengangkat kakinya dan menendang Julian. Julian tidak menghindar, tapi dia malah memegang kaki Febi dan dengan lincah melepas sandal kristal hak tinggi di kaki Febi dan melemparkannya ke sudut.

"Di mana kamu terbentur?" tanya Julian dengan suara rendah dan nadanya terdengar sedikit serius. Namun, dia tampaknya tidak marah dengan Febi yang menendangnya.

Ya, bagaimana mungkin Julian bisa marah?

Dialah yang pertama kali bersalah pada Febi, jadi Febi-lah yang seharusnya marah....

"Aku tidak ingin kamu pura-pura bersikap baik.... Kamu tidak harus melakukan ini, aku tidak akan mempercayaimu lagi...." Febi hendak menarik kakinya, tapi Julian memegangnya dengan erat. Julian menatap mata Febi dan berkata, "Kalau kamu benar-benar adalah orang yang aku manfaatkan, sekarang kamu yang mengetahui yang sebenarnya sudah tidak memiliki nilai guna untukku."

Nada suara Julian berat dan sedikit tak berdaya.

"Jadi ... kamu juga mengakui aku dimanfaatkan olehmu...." Hanya saja, Febi tidak semata-mata dimanfaatkan. Haruskah Febi merasa terhormat?

Dia hanya mengubah konsep!

Julian mengerucutkan bibirnya yang tipis dengan erat, dia tidak membantah kata-katanya dan hanya berkata, "Duduk di sini dengan patuh. Tunggu aku, aku akan menjelaskannya padamu."

Bahu Febi bergemetar, tapi dia menggigit bibirnya dengan keras dan menahan air matanya. Dia hanya menatap Julian dengan marah, "Oke, aku juga ingin melihat bagaimana kamu menjelaskannya kepadaku. Singkatnya, aku tidak akan mempercayaimu lagi!"

Julian menatapnya dalam-dalam, kemudian dia kembali ke kamar tidur. Melalui cahaya redup, Febi melihat bayangan Julian dengan hati sedih, benar-benar sedih....

Julian meraba-raba di ranjang dalam diam dan menemukan kartu kamar. Dia berjalan melewati aula dan masukkan kartu ke soket listrik.

Seluruh ruangan langsung menjadi terang.

Ketika Julian berbalik, dia melihat Febi duduk di meja konferensi dengan kepala tertunduk. Mejanya sangat besar, Febi terlihat mungil dan menyedihkan. Pada saat ini, ekspresinya sedih dan rambutnya tergerai membingkai wajah kecilnya yang masam.

Febi terlihat sangat terluka....

Napas Julian menjadi sedikit sesak, dia berjalan ke arahnya dan tidak segera menjelaskan. Dia hanya berkata, "Angkat kakimu dan biarkan aku melihatnya."

Apa yang ingin Julian lakukan?

Sudah sampai titik ini, apakah dia masih ingin menggunakan kelembutan untuk meluluhkan Febi?

Febi menolak.

Dia tidak ingin bersikap bodoh lagi.

"Kalau kamu tidak punya apa-apa untuk dikatakan, aku tidak perlu tinggal di sini lagi. Maaf, aku masih banyak yang harus dilakukan, jadi aku tidak akan menemanimu lagi."

Namun, Julian malah mengulurkan tangannya dan merangkul pinggangnya, tubuh Febi didorong ke depan beberapa inci.

Febi sangat kesal sehingga dia mengulurkan tangannya dan memukul Julian, "Julian! Sebenarnya apa yang ingin kamu lakukan? Vonny mengandung anakmu, jadi bolehkah kamu tidak datang dan memprovokasiku? Apakah kamu tahu betapa aku membencimu? Aku benci kamu! Aku benci kalian!"

Febi mengucapkan benci di mulutnya, tetapi pada akhirnya, suaranya menjadi serak.

Kekuatan pukulannya menjadi semakin lemah....

"Vonny mengandung anakku?" Tubuh tinggi dan lurus Julian terjepit di antara kedua kaki Febi. Masih ada air mata yang menggantung dari bulu mata Febi. Julian mengangkat dagunya dan membuat mata Febi yang berlinang air mata bertemu dengan matanya. "Aku mengizinkanmu untuk menjatuhkan kejahatan lain padaku, tapi aku tidak akan menerima kesalahan seperti ini!"

"Apa maksudmu? Apakah kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan?"

Julian terkekeh pelan, "Sayang sekali anak itu bukan milikku, tapi milik suamimu tersayang."

Meski ada penyesalan dalam kata-katanya, tapi jelas ada jejak kegembiraan dalam mengungkapkan kebenaran ini.

Jelas Febi tidak menyangka situasinya akan berubah seperti ini, dia tertegun sejenak dan hatinya menjadi kacau untuk sementara waktu. Dia tidak bisa menjelaskan apa yang dia rasakan.

Anak itu bukan miliknya....

Kabut di hatinya seolah hilang dalam sekejap, dia kembali melihat sinar matahari.

Namun....

Anak itu milik Nando?

Memikirkan sikap Nando baru-baru ini, betapa tulusnya dia terhadapnya dan ciuman yang dia berikan di dahinya malam itu, Febi tiba-tiba merasa jijik.

Dia sudah memiliki anak dengan Vonny, sekarang dia adalah calon ayah, mengapa dia masih tidak mau menceraikannya? Bagaimana dia akan menempatkan anak yang belum lahir itu?

Setelah beberapa saat, fokusnya kembali pada wajah Julian, kemudian dia berbicara dengan suara serak, "Kalau anak itu milik Nando, kenapa dia tidak menanyainya, tapi malah bertanya padamu?"

Dia masih merasa curiga. Fakta seperti itu tidak masuk akal.

Julian menyunggingkan bibirnya, "Meskipun aku sangat enggan untuk mengakui fakta ini, wanita yang sangat kamu benci adalah adik yang memiliki darah yang sama denganku. Apakah menurutmu anaknya adalah milikku?"

Febi sedikit bingung dengan kebenaran yang dia katakan lagi.

"Adik?"

"Adapun kenapa dia datang menanyaiku, ceritanya sangat panjang." Julian berhenti, lalu menatapnya, "Apakah kamu masih menginginkan pria yang memiliki anak dengan wanita lain?"

Bisakah dia masih menginginkannya?

Jawabannya sudah sangat jelas. Kehadiran anak ini semakin menambah keyakinannya yang kokoh.

"Sejak kapan kamu berencana untuk mendekatiku?" tanya Febi dengan tiba-tiba.

Bahkan jika masalah anak itu sudah jelas, Julian tetap memanfaatkan Febi. Hal ini masih membuatnya merasa kesal.

Tangan Julian meluncur turun dari lututnya. Panas itu membuat Febi sedikit gemetar. Dia mencoba untuk bersembunyi, tapi tiba-tiba Julian menggenggam jari kakinya. Jari-jari kaki Febi sangat indah bagaikan batu giok dan ada lapisan merah muda di lempeng kuku. Karena terbentur tadi, jari-jari kaki Febi menjadi merah hingga mengeluarkan darah dan bengkak.

Julian mengulurkan tangan dan menyentuhnya. Febi kesakitan hingga hendak menarik kakinya.

"Apakah kamu menghindari topik ini?" Febi menatap Julian.

Perhatian Julian masih ada di kakinya. Mendengar kata-katanya, Julian hanya berkata tanpa tergesa-gesa, "Pergi dan duduk di sofa, aku akan menjelaskannya padamu."

"Kalau begitu kamu jelaskan sekarang. Kalau tidak, terlambat aku tidak akan mendengarkannya lagi. "

Febi tidak menyadari sebenarnya sejak dia tahu anak Vonny bukan miliknya, nada suaranya menjadi jauh lebih santai. Namun, hatinya masih merasa kacau.

Julian hanya mengulangi kata-katanya, "Pergi ke sofa! Jangan sentuh kakimu lagi!"

Kemudian, dia berbalik dan berjalan ke kamar mandi. Dia membuka kancing jasnya dan melemparkannya ke keranjang bambu di sampingnya.

...

Febi merasa Julian benar-benar bisa mengendalikannya. Julian tahu Febi ingin mendengar penjelasannya, dia meninggalkannya di sini dan mengabaikannya. Febi menggigit bibirnya dengan marah. Dia melompat dari meja konferensi dan berjalan ke sofa. Dia ingin melihat bagaimana Julian akan menjelaskannya padanya. Sekarang, Julian tiba-tiba pergi ke kamar mandi, apakah dia tidak dapat lagi?

Febi duduk di sofa sambil memegang bantal. Julian keluar dengan handuk basah di tangannya.

Julian duduk di samping Febi, lalu meraih kaki Febi dan meletakkannya di pangkuannya. Febi menatapnya, dia melihat Julian meletakkan handuk panas di atas jari kakinya.

Febi merasa panas dan ajaibnya, rasa sakit di kakinya hilang seketika.

Febi menatap Julian dengan tidak mengerti.

"Ketika aku masih kecil, aku sangat nakal dan sama sepertimu sering terbentur. Setiap kali aku kesakitan, ibuku akan menggunakan metode ini," kata Julian dengan perlahan. Febi menyadari setiap kali dia menyebut ibunya, kesuraman dalam ekspresinya terlihat sangat jelas.

Mungkin, seperti Febi, Julian juga orang yang merindukan cinta ibu.

Hanya saja....

Sekarang memikirkan hal ini sepertinya sedikit jauh dari pembahasan mereka.

Febi menyentuh Julian dengan kakinya yang tertutup handuk, "Jangan mengubah topik pembicaraan, tidak peduli seberapa lembut dan perhatianmu sekarang, aku tidak ingin percaya padamu!"

Julian mengatur emosinya, lalu menatap matanya dan berkata terus terang, "Aku akui, sejak awal, aku memang mendekatimu untuk membuat Vonny menderita."

Febi membuang muka dengan ekspresi sedih.

Julian memegang wajah Febi. Febi sangat marah sehingga dia menggigit tangan Julian. Julian terkejut, air mata Febi terjatuh dan melepaskan gigitan, "Kamu benar-benar bajingan! Bajingan! Aku sudah tahu kenapa kamu bisa begitu baik dan tiba-tiba membantuku di F10!"

"Di F10, aku benar-benar tulus membantumu. Di pesta makan malam hari itu, aku bahkan lebih tulus. Kalau kamu memaksa aku menggambar batas yang sebenarnya, maka aku katakan. Saat kamu pergi ke Hotel Hydra sambil menangis dan menamparku, aku menempatkanmu dalam benakku. Saat kamu menangis dan merayuku di Jalan Akasia, aku menyadari aku tertarik padamu.... Sejak itu, aku mendekatimu bukan hanya karena Vonny, tapi karena diriku sendiri. Apakah kamu mengerti sekarang?"

Julian mengucapkan serangkaian kata. Setiap kata terdengar tulus, hingga Febi tidak merasa ragu padanya.

Jadi....

Anak itu bukan milik Julian. Selain itu, sekarang ... dia tulus pada dirinya?

Apakah ini maksudnya?

Bisakah Febi mempercayainya?

Pikiran Febi terasa kacau....

...

Setelah menjelaskan, Julian membiarkan Febi duduk di sofa sendirian untuk memikirkannya. Dia pergi ke kamar mandi untuk mandi. Dia tidak bertanya apa yang Febi pikirkan, karena sebagian besar dia sudah mengetahuinya.

Karena insiden Vonny, perasaaan waspada Febi terhadap Julian telah dibangun kembali.

Bahkan jika Julian menjelaskannya dengan jelas, dia tetap membutuhkan sedikit usaha dan waktu baginya untuk menghancurkan garis pertahanan Febi.

Saat Julian berjalan keluar dari kamar mandi, dia melihat Febi sudah memakai sepatunya. Melihatnya keluar, Febi ragu-ragu dan berkata, "Sudah larut, aku harus kembali. Besok pagi, aku akan melakukan perjalanan bisnis."

Julian mengenakan jubah mandi dan mendekatinya, "Tidur saja di sini, besok baru pergi."

"Tapi ... aku harus kembali untuk membereskan barang bawaanku."

"Tidak ada beda membereskannya besok."

Julian berjalan satu langkah lebih dekat.

Baunya setelah mandi sangat harum. Pikiran Febi sedikit bingung dan dia meliriknya, "Aku harus tiba di bandara besok jam 8, akan terlambat jika membereskannya besok pagi."

"Aku sudah bilang tidak akan terlambat."

Febi ingin mengatakan sesuatu, tapi Julian menundukkan kepalanya dan mulai mencium bibirnya. Febi tertegun sejenak, telapak tangan Julian yang besar melingkari pinggangnya, menekan seluruh tubuh Febi ke dadanya dan menciumnya lebih dalam.

Ciuman itu seakan mencium ke dalam hati Febi, hingga mengeluarkan perasaan yang telah dia tekan di dalam hatinya untuk waktu yang lama.

Febi tidak berani memikirkan pria ini, dia tidak ingin memikirkannya. Dia juga tidak berani mengungkapkan kerinduannya. Namun, Febi benar-benar tahu betapa dia merindukan pria ini.

Ketika kembali ke Jalan Akasia, setiap kali dia melewati lantai 18, dia berharap lift akan berhenti untuk sementara waktu. Bahkan ketika berdiri di lantai bawah, dia biasanya menghitung lantai untuk melihat apakah lampu di lantai 18 menyala....

Namun, setiap kali respon yang dia dapatkan hanyalah kesedihan.

Sekarang....

Febi kembali ke pelukannya lagi.

Julian tidak punya anak dengan wanita lain dan dia tidak terlibat dengan Vonny. Semua ini sudah cukup, bukan?

Tiba-tiba Febi tidak bisa menahan dirinya lagi. Dia tidak mendorong menjauh, tiba-tiba Febi membuka lengannya dan memeluknya. Bibir merahnya terbuka dan membiarkan Julian menciumnya lebih dalam.

Seolah-olah semua perasaan yang telah ditekan begitu lama dicurahkan, mereka berdua berciuman dengan sangat dalam. Setelah berciuman sampai Febi tidak bisa bernapas, Julian baru menarik mundur bibirnya. Akan tetapi, saat dia melihat penampilan Febi yang linglung, emosi di hatinya bergejolak dan dia berdeham sejenak, lalu meremas dagu Febi dan kembali menciumnya.

Febi menyadari dia sangat menyukai ciuman Julian.

Ciuman yang terkadang lembut dan terkadang luar. Dengan sifat posesif yang unik, seolah-olah ingin melahap seluruh tubuhnya dan ingin menyatukan jiwa mereka....

Bagaimana ini?

Febi sepertinya ... sangat mencintai pria ini....

Akhirnya, Julian menghela napas berat, menggigit bibir Febi dengan ringan dan berkata dengan suara serak, "Tidur di sini malam ini, jangan menolak lagi. Aku minum terlalu banyak, jadi aku tidak bisa mengantarmu kembali ke Jalan Akasia."

Mata Febi basah dan napasnya masih kacau, jari-jarinya mencengkeram leher jubah mandi Julian dengan erat. Butuh beberapa saat untuk dia berbicara, "Aku khawatir aku akan ketinggalan pesawat.... "

"Aku akan mengantarmu besok pagi...." Julian memegang tangan Febi yang sedikit gemetar karena nafsu dan menatapnya, "Aku akan tidur di sofa malam ini."

Eh?

Dia tidur di sofa?

Apakah pantas Febi menempati tempat tidurnya?

Julian mengutuk dengan suara rendah dan menutupi matanya dengan tangannya, "Kalau kamu melihatku seperti ini lagi, aku khawatir aku tidak akan tahan."