Hujan sangat deras, Nando meliriknya dan melengkungkan mantelnya di atas kepalanya.
Percikan air hujan tidak terkena tubuhnya, Febi terkejut sejenak dan tanpa sadar melirik pria di sampingnya. Mantel itu masih tersisa aroma tubuh yang sangat familier bagi Febi.
Dulu....
Dia juga sangat menyukainya. Namun sayangnya....
"Apakah kamu biasanya memperlakukan Vonny seperti ini?" Febi menyunggingkan sudut mulutnya, seolah sedang bertanya dengan santai.
Nando membeku sejenak, lalu melirik ke samping dan bertanya dengan acuh tak acuh, "Apakah kamu masih peduli?"
"..." Tekanan dan kesedihan di dalam nada suara Nando membuat Febi tidak bisa menjawabnya. Febi mengerutkan bibirnya dan tidak mengatakan apa-apa. Hati Nando sedikit tertekan. Mereka tidak berlama-lama membicarakan topik ini, Nando membuka pintu mobil untuknya, "Masuk ke mobil."
Febi dengan keras kepala meraih pintu mobil, "Kemana kamu akan membawaku? Kalau kamu tidak memberitahuku dengan jelas, aku tidak akan naik."
Nando tidak berdaya, "Bolehkah kamu naik dulu? Jangan khawatir, aku tidak akan melakukan apa pun padamu."
Dia menatapnya dengan ragu. Hujan sangat deras sehingga membasahi mantelnya, tapi tubuh Febi benar-benar tertutup rapat sedangkan Nando sudah basah kuyup. Febi menghela napas dan masuk ke dalam mobil. Nando dengan cepat berlari ke kursi pengemudi dan masuk ke mobil.
Febi tidak menyadari pada saat dia masuk ke mobil, sebuah mobil yang dikenalnya perlahan berhenti di belakang.
Julian memperhatikan Febi membiarkan Nando mengawalnya ke dalam mobil dan melihat Febi pergi bersamanya....
Jadi, apa yang terjadi sekarang?
Dia bilang dia akan bercerai, tapi dia berubah pikiran?
Tangan yang memegang kemudi mengencang. Matanya dingin. Tanpa berhenti lama, Julian menyalakan mobil lagi dan mengikuti mereka dengan tenang.
...
"Ini bukan jalan pulang, kamu mau ke mana?" Febi melirik ke jalan, dia baru menyadari ini bukan jalan kembali ke Jalan Akasia.
"Tidak kembali ke Jalan Akasia, pergi ke rumah sakit." Nando melirik Febi yang menunjukkan ekspresi bingung, "Ayah pingsan pagi ini dan menderita pendarahan otak. Dia hampir mati."
Hati Febi menegang, "Bagaimana dengan sekarang?"
"Baru siuman, jadi aku ingin mengajakmu menemuinya. Kamu juga tahu, dia menyukaimu." Meskipun dia mengatakannya dengan tenang, Nando harus mengakui bahwa dia egois. Sekarang, satu-satunya orang di keluarga yang bisa mempertahankan Febi adalah ayahnya.
Febi terdiam. Ayah mertua ada di rumah sakit, tidak peduli apa yang terjadi antara dia dan Nando kelak, dia harus pergi untuk melihatnya.
Saat Febi memikirkannya, telepon tiba-tiba berdering.
Febi mengeluarkan ponselnya dan melihat nomor yang tertera di sana, muncul rasa sedih di hatinya. Nando tidak mengabaikan ekspresinya, dia melihat ke samping dan bertanya, "Siapa itu?"
Febi tidak menjawab. Setelah ragu-ragu sejenak, dia masih menempelkan telepon ke telinganya. Setelah diam selama sehari, memikirkannya selama sehari, Febi tidak ingin bersembunyi lagi.
"Halo."
"Turun mobil!"
Di telepon, hanya ada dua kata yang keluar melalui sambungan telepon.
Tegas, lugas dan dingin.
Febi terkejut.
Tanpa sadar dia melihat ke belakang.
Di belakangnya ada mobil yang sangat familier. Karena hujan deras, orang di dalam mobil tidak terlihat dengan jelas. Namun, mata dingin itu seakan menembus segalanya, hingga ke dalam hatinya.
Napas Febi menjadi sesak.
Rongga matanya terasa kencang dan perih.
Nando menatapnya dengan curiga. Febi segera berbalik, mengepalkan telepon dengan erat dan berkata dengan acuh tak acuh, "Apakah kamu ada urusan?"
"Aku butuh alasan." Suara Julian lebih dingin dari Febi.
Febi ingin tertawa.
Dialah yang tertipu dan dipermainkan. Febi tidak menanyakan alasannya, jadi atas dasar apa dia bertanya alasan padanya?
"Maaf, aku tidak mengerti apa yang kamu maksud." Febi melihat ke depan dengan mata gelap. Dadanya merasa tertekan dan sakit, tapi nadanya berpura-pura santai, "Sekarang aku bersama suamiku. Kalau kamu tidak ada urusan, tolong berhenti menggangguku."
Karena Febi terluka, jadi dia secara naluriah ingin melawan. Nando menleh ke arahnya dengan tatapan yang sangat dalam. Dia tidak menanggapi, hanya merasa napas di ujung itu semakin berat.
"Suamimu?" Nada suara Julian dingin, bahkan suaranya terdengar kaku. Setiap kata yang dia ucapkan sedingin dan sekeras batu.
"Ya, suamiku!" Febi mengulang tiga kata ini lebih keras.
"Apakah sekarang kamu akan bersatu kembali dengannya?" Suara itu menjadi sedikit lebih nyaring. Nadanya terdengar sangat berat.
"Ini urusanku, tidak ada hubungan denganmu."
Bagus sekali tidak ada hubungannya dengannya.
Julian merasakan kemarahan sedikit demi sedikit mengalir ke hatinya, tangannya yang memegang kemudi mengendur, lalu mengencang. Setelah beberapa saat, dia mengeluarkan beberapa kata dari mulutnya, "Aku rasa kamu sudah melupakan penderitaan yang kamu alami! Dua tamparan itu, apa kamu mau merasakannya lagi?"
Febi memejamkan matanya dan mengingat pelukan hangat yang Julian berikan padanya setelah menerima dua tamparan itu.
Dulu, dia dengan bodohnya mengira itu adalah tempat persembunyiannya. Sekarang dia baru tahu....
Hal ini hanyalah kelembutan yang paling kejam....
Bagaimanapun, perhatian itu berubah menjadi pedang tajam yang mencabik-cabik hatinya hingga berdarah.
Mata Febi memerah.
Dengan suara gemetar, dia mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan hatinya, "Ya, aku tiba-tiba menyadari aku masih mencintainya. Bahkan kalau aku terluka, aku bersedia mencobanya lagi."
Febi menjawabnya dengan sangat tulus....
Bahkan dirinya pun menganggap serius perkataan itu.
Namun, kesedihan di hatinya terus mengingatkannya ini hanyalah kata-kata saat dia kesal....
Di sampingnya, mata Nando terus tertuju padanya hingga membuatnya tidak nyaman.
Dia sengaja menghindar.
Dia mendengar Julian menggertakkan giginya, "Katakan sekali lagi!"
Febi merasakan di dalam hatinya, juga seperti langit mendung yang sedang turun hujan.
Tetes demi tetes hingga membuat matanya basah....
"Aku mencintainya! Tidak peduli aku mengatakannya sekali atau 100 kali, aku mencintainya! Apakah itu cukup?" ucap Febi dalam satu tarikan napas, suaranya sengaja dinaikkan, seolah Febi takut suaranya yang bergetar akan didengar oleh Julian.
Nando tiba-tiba menginjak rem dan mobil tiba-tiba berhenti.
Febi berbalik untuk menatapnya dengan heran. Sebelum Febi memahami situasinya, Nando tiba-tiba menundukkan kepalanya dan memegangi wajah Febi dengan tangannya.
Hati Febi menegang, dia tahu Nando telah salah paham dan segera mundur.
Namun....
Nando bergerak lebih cepat darinya. Nando memegang bagian belakang kepalanya dengan satu tangan dan mengangkat wajahnya dengan tangan yang lain, sebuah ciuman penuh semangat jatuh di bibir Febi.
Aroma itu membuat Febi ingin menolak.
Tangan Febi yang memegang telepon mengencang, dia secara naluriah mendorongnya. Di telinganya terdengar sara "bang" dan telepon ditutup dengan paksa.
Kemudian....
Suara sibuk "tut ... tut..." terdengar di telinganya. Suara mekanis yang terdengar hampa....
Sebuah Maybach hitam datang dari belakang dan melewati mobil mereka yang terparkir di pinggir jalan.
Melewati bahu Nando. Dalam hujan lebat, Febi bisa dengan jelas melihat tatapan Julian yang dalam terus-menerus menatap mereka....
Mata itu terlihat gelap, tidak bercahaya dan tajam....
Hati Febi menegang.
Air mata yang menyakitkan langsung membasahi matanya. Dia tiba-tiba tersadar kembali dan mendorong Nando menjauh.
Nando mengerutkan kening dengan tidak puas dan hendak berbicara. Saat dia mengangkat kepalanya, tiba-tiba dia melihat mata merah Febi. Nando kaget, tiba-tiba dia menyadari sesuatu dan bertanya dengan marah, "Apa yang baru saja kamu katakan itu adalah kebohongan?"
Febi menjadikan Nando sebagai tameng, Febi merasa sedikit bersalah, tapi dia masih menatap matanya dan berkata dengan jujur, "Aku tidak mencintaimu lagi, kelak aku juga tidak akan pernah jatuh cinta lagi padamu."
Tatapan mata Nando terlihat rumit, marah dan tidak rela.
"Kamu bisa jatuh cinta padaku sebelumnya, kelak aku juga punya cara untuk membuatmu jatuh cinta padaku lagi!" bentak Nando sambil menggertakkan giginya. Dia tidak rela, benar-benar tidak rela! Baru berlalu berapa lama waktu ini?
Febi merasa sangat lelah, jadi dia mengabaikannya. Dia menutup matanya dan bersandar di jendela mobil. Dalam benaknya terus-menerus muncul tatapan Julian...
Lupakanlah!
Lupakan semuanya!
Pria itu bukan miliknya....
...
Malam perlahan menghampiri.
'Feam' adalah klub pribadi di dalam Hotel Hydra.
Pada saat ini, di dalam sebuah ruang VVIP sangat ramai.
Dua meja snoker .
Di satu sisi, Agustino dan Stephen berhadapan. Di satu sisi adalah Julian dan Lukas.
Stephen memegang tongkat snoker dan menyaksikan Agustino bermain sambil bercanda dengannya, "Kamu benar-benar hebat! Mendapatkan seorang putra tanpa alasan, kapan kamu akan membawanya untuk bertemu dengan kita? Apa yang disukai bocah itu? Nanti kami akan menyiapkan hadiah untuknya."
Ketika menyebut ke putranya, wajah Agustino langsung menjadi cerah. Dia memukul bola merah muda dengan tepat.
Sebelum ini, dia sebenarnya tidak menyukai anak-anak, dia merasa anak menjengkelkan dan merepotkan. Namun sejak dia melihat bocah kecil yang sangat putih itu, dia langsung jatuh hati. Memang benar hubungan darah tidak dapat dipisahkan.
"Aku tidak bisa membawanya. Wanita itu menjauhiku seperti aku adalah seorang pencuri. Ketika aku melihatnya, sudah dia ketakutan. Kalau aku membawa anak itu keluar tanpa izin. Dia pasti sangat ketakutan hingga nyawanya melayang." Meskipun kata-katanya semua adalah keluhan, tapi ekspresi Agustino terlihat sangat bahagia.
Di sini, Lukas juga memegang tongkat dengan malas, "Sangat mudah, taklukkan dulu ibunya. Bukankah ini sesuatu yang bisa kamu selesaikan dengan mudah?"
Mereka tidak pernah kekurangan wanita. Dari model muda hingga artis terkenal, mereka bisa mendapatkan dengan mudah. Saat masih muda dan sembrono, mereka masih bersenang-senang dengan para wanita. Namun sekarang, mereka sudah bosan dengan wanita-wanita itu.
"Jangan ungkit lagi. Wanita itu tidak mudah ditaklukkan." Berbicara tentang Tasya, Agustino sedikit tertekan. Dia memberinya cek, dia malah menukarnya dengan sekantong besar uang. Di depan semua karyawan, dia langsung melemparkan pada Agustino tanpa memberinya muka sedikit pun. Agustino melakukan rencana untuk menyiksanya. Setelah hanya beberapa hari menyiksanya, Tasya mulai menangis hingga dia kesal dan tidak bisa melakukan apa-apa.
Di sisi ini. Saat Lukas menoleh, dia melihat meja snoker telah kosong.
Julian memegang tongkat snoker dan mengarahkan dua jari padanya.
"Astaga! Kamu sangat kejam!" Lukas sangat tertekan. Dia bahkan belum mulai bermain sudah kalah. Orang yang kalah harus mengeluarkan uang 400 juta.
Julian tidak mengatakan sepatah kata pun, dia mengatur ulang meja, "Giliranmu."
Lukas pasti tidak akan sungkan lagi, dia ingin membalas dendam.
Di sisi lain, Agustino gagal memasukkan bola dan memberi Stephen kesempatan. Dia menuangkan dua gelas anggur dan menyerahkan satu kepada Julian, "Kenapa? Punya sesuatu di pikiranmu?"
"Tidak," jawab Julian dengan acuh tak acuh. Cahaya di dalam ruang VVIP terang, tapi ekspresi Julian terlihat sangat masam dan dingin bagaikan musim dingin.
Mendengar percakapan mereka, tanpa sadar Lukas menegakkan tubuhnya, "Hari ini kamu sangat kejam, ternyata kamu tidak bisa menaklukkan wanita yang sudah menikah itu?"
Mata dingin Julian melirik ke arahnya, dia tersenyum rendah, lalu meletakkan tongkat dan menepuk pundaknya, "Aku sarankan, kamu main-main saja. Kalau serius, kamu akan kalah."
"Yah, kali ini pendapatku sama dengan Lukas," jawab Stephen sambil bermain, "Jangan lupa siapa dirimu. Kalau nyonya besar itu tahu, dia akan marah hingga langsung pergi ke surga. Selain itu, Febi belum bercerai. Dia tidak jelas denganmu dan di sisi lain mungkin dia masih bermesraan dengan suaminya. Kalau kamu serius, kamulah yang akan dipermainkan."
Dipermainkan?
Julian meremas tangannya yang memegang gelas anggur dengan erat, sentuhan dingin itu sedikit demi sedikit membekukan jarinya. Julian teringat dengan ciuman di mobil malam ini, Febi dengan tegas berkata dia masih mencintai Nando....
Mata Julian menjadi lebih dingin untuk sementara waktu.
Cahaya yang menerpa matanya menjadi putih dan abu.
"Itu tergantung apakah dia mampu bermain-main." Setelah berbicara, Julian mengangkat kepalanya dan meminum anggur di gelas.
...
Malam itu.
Julian kembali ke Jalan Akasia. Saat dia mencapai lantai 18, dia tidak keluar dan langsung pergi ke lantai 19. Dia membunyikan bel pintu, tapi tidak ada yang menjawab.
Febi tidak kembali semalaman!
...
Keesokan harinya.
Febi membeli bunga dan mengantarnya ke rumah sakit. Karena tadi malam terlalu sibuk di rumah sakit, jadi dia tidur di Kediaman Keluarga Dinata yang tidak jauh dari rumah sakit.
Dia tidur di tempat tidur dan Nando tidur di ruang kerja.
Masih di kejauhan, bahkan sebelum dia sampai ke bangsal, dia mendengar suara tulus Bella, "Sudah sangat sopan kamu datang ke sini, kenapa kamu masih membeli begitu banyak hadiah?"
Lalu suara Usha dengan nada sedikit malu, "Senior, aku sudah lama tidak bertemu denganmu. Terakhir kali aku meneleponmu, sekretarismu yang menjawab."
"Ada terlalu banyak panggilan setiap hari, mungkin ada yang terlewat."
Suara ini....
Febi mengencangkan tangan yang memegang bunga dan secara naluriah ingin bersembunyi. Namun, dia sudah sampai di sini, jadi dia tidak punya tempat untuk bersembunyi.
Febi mengambil napas dalam-dalam, lalu dia mengangkat tangannya dan mengetuk pintu bangsal.
"Masuklah." Suara itu adalah suara Samuel.
Febi berjalan masuk sambil memegang bunga.
Semua orang di ruangan itu memandangnya.
"Ayah, Ibu," panggil Febi dengan lembut sambil menatap semua orang. Matanya hanya menatap Julian sejenak, kemudian dia berbalik dengan canggung.
Julian masih sama....
Kemeja putih, rompi sutra gelap dan celana panjang polos. Dari atas ke bawah, Julian memancarkan pesona dewasa. Mata Julian tidak terpaku pada Febi untuk waktu yang lama. Sekarang mereka berdiri berhadapan satu sama lain, seperti dua orang asing.
Siapa yang tahu dua hari yang lalu, mereka begitu dekat seperti pasangan?
"Kenapa kamu datang ke sini sepagi ini?" Begitu Febi muncul, Usha sudah mulai waspada.
Seolah-olah Febi tidak bisa melihatnya, dia mengeluarkan bunga dari vas di sebelah TV, "Aku pulang kerja lebih awal hari ini."
Karena ada seseorang di sana, jadi hati Febi sedikit kacau dan tidak menyadari seikat bunga di vas itu masih sangat segar. Namun, Julian tampaknya tidak terpengaruh sama sekali. Dia sedang mendiskusikan sesuatu dengan Samuel seperti biasa.
"Apa yang kamu lakukan? Jangan sentuh ini!" Ketika dia termenung, Usha tiba-tiba mendorongnya pergi dan mengambil bunga yang baru saja dia ambil, "Ini baru saja dibawa oleh senior, kenapa kamu sembarangan menyentuh?"
Dia tidak menyangka Usha akan mendorongnya, tubuhnya tersandung hingga kakinya keseleo. Dia mendesis sambil mengerutkan kening karena kesakitan. Dia berpegangan pada tepi meja untuk menstabilkan tubuhnya. Dia tanpa sadar melirik Julian, tapi Julian bahkan tidak menoleh, seolah-olah dia sama sekali tidak memperhatikan situasi di sini.
Untuk apa melihatnya? Apakah dia masih dengan bodohnya berharap untuk kelembutan yang direncanakan itu?
Febi berpikir tindakannya sekarang sangatlah konyol.
Dia menghela napas, lalu berusaha untuk berdiri tegak dan melirik Usha, "Kalau kamu memiliki sesuatu untuk dibicarakan, bicarakan baik-baik, jangan gunakan kekerasan."
Usha memutar bola matanya ke arah Febi, "Aku tidak punya apa-apa untuk dibicarakan kepadamu!"
Sangat jelas, Usha masih membenci Febi karena masalah Julian.
Febi berpikir dalam hati, kalau dia tahu Julian hanya menggunakan dia sebagai tameng untuk membuat Vonny marah, bagaimana mungkin dia tidak akan menertawakan Febi? Jika dia tahu Vonny mengandung anak Julian, apakah dia masih akan bersikap baik pada Vonny?
Tatapan matanya tanpa sadar mengarah pada Julian yang duduk tidak jauh dengan Bella. Pada saat ini, dia memainkan ponselnya dengan kepala menunduk, seolah-olah dia sedang mengirim pesan kepada seseorang.
Febi hendak memalingkan muka, ponsel di tasnya berdering sejenak.
Hati Febi menegang.
Dia melirik Usha.
Saat ini, dia sedang bermain dengan buket bunga yang dibawa Julian, seolah-olah bunga itu diberikan kepadanya.
Febi berbalik, memunggungi mereka dan mengeluarkan ponselnya. Benar saja, itu adalah pesan dari Julian.