Chereads / Direktur, Ayo Cerai / Chapter 96 - ##Bab 96 Dibohonginya, Hati Terasa Sangat Sakit

Chapter 96 - ##Bab 96 Dibohonginya, Hati Terasa Sangat Sakit

Ternyata hanya butuh satu detik bagi hati seseorang untuk jatuh dari surga kebahagiaan ke jurang maut, benar-benar hanya butuh satu detik.

Febi berjalan ke atas dan berdiri di pintu, dadanya seakan dilubangi dengan kejam oleh tangan besar, terasa kosong dan sesak yang tak terlukiskan, matanya panas membara.

Dia mengeluarkan kunci dan masukkan ke dalam lubang kunci dengan kaku.

Tepat ketika dia hendak mendorong pintu, pintu ditarik terbuka dari dalam.

Wajah yang familier muncul di matanya, wajah itu penuh dengan kecemasan.

"Kemana saja kamu? Ponsel ada di rumah dan aku tidak dapat menemukanmu!"

Orang itu adalah Nando.

Febi melihatnya dengan bingung. Dia mulai memikirkan Vonny, juga Julian. kebohongan yang penuh kebencian itu, betapa bodohnya Febi dipermainkan oleh mereka seperti orang bodoh....

Dia bahkan ingin menampar dirinya sendiri.

Kenapa dia begitu bodoh? Pria itu selalu muncul ketika dia dalam kondisi paling menyedihkan, memberinya kehangatan tanpa syarat dan kelembutan. Dia bahkan yang tidak pernah meragukan kebetulan seperti ini.

Semua itu, hanyalah rencana yang dia jalankan....

Tidak aneh, benar-benar tidak aneh!

Berapa banyak orang yang mengingatkannya, memperingatkannya, bahkan Vonny juga memberitahunya....

Dialah yang memberikan kepercayaannya terlalu dini....

"Kamu keluarlah," perintah Febi untuk mengusir Nando dengan sedikit lelah. Kelelahan semacam ini datang dari lubuk hatinya, membuatnya merasa sekujur tubuhnya terasa lemah.

"Kamu menangis?" Seolah-olah tidak mengerti sama sekali, Nando menatapnya dan bertanya dengan cemas, "Siapa yang menindasmu?"

"Nando, tolong, bisakah kamu menghilang dari depan mataku?" Emosinya tidak terkendali dan air matanya tiba-tiba mengalir dengan liar. Febi membuka pintu, lalu menunjuk ke pintu, "Kamu pergilah, hari ini aku tidak punya niat untuk berurusan denganmu."

Hati Febi terasa sangat kacau.

Febi membenci dirinya karena bodoh dan membenci mereka semua. Sekarang, dia tidak ingin melihat mereka semua.

Nando dikejutkan oleh mental Febi yang terganggu, tapi melihat air matanya yang mengalir deras, hati Nando menegang. Bagaimana mungkin dia mau pergi? Nando mengulurkan tangannya dan menaik Febi ke dalam pelukannya, "Katakan padaku apa yang terjadi? Febi, aku suamimu, aku akan membelamu, katakan padaku!"

Nando adalah suaminya....

Dia akan membelanya....

Haha, kata yang begitu hangat...

Jika di masa lalu, Febi mungkin tersentuh oleh kalimat ini.

Namun sekarang, dia tidak mudah dibujuk lagi....

"Kalau kamu benar-benar ingin membantuku, jangan bertanya apa-apa, jangan peduli tentang apa pun...." Febi berdiri di pintu dan memegang gagang pintu dengan erat. Suhu logam yang dingin menembus dari ujung ujung jari Febi ke dalam hatinya. Febi menatap Nando dengan mata merah, "Nando, ini rumahku, kelak tolong jangan masuk tanpa izin, oke?"

Febi benar-benar berpikir untuk mengganti kunci.

"Febi...." Nando menatapnya dengan sedikit tidak nyaman.

Febi mengangkat kepalanya dan menelan air mata, juga kepahitan di hatinya, "Kalau kamu bersikeras untuk tinggal, maka aku akan pergi."

Febi masuk, lalu mengemasi tas dan teleponnya. Nando mengikuti di belakangnya, "Aku akan mengantarmu pulang, kamu ikut aku kembali ke Kediaman Keluarga Dinata!"

Febi diam.

Nando kehilangan kesabarannya. Nando mengulurkan tangannya dan menarik sikunya, Febi menepis tangannya, "Tidak perlu, itu bukan rumahku lagi."

Nando merasakan alisnya berdenyut, "Kenapa bukan rumahmu? Febi, kita belum bercerai! Selain itu, sudah kukatakan, aku tidak akan menceraikanmu! Tidak akan pernah!"

Tidak bercerai?

Febi menatap kosong pada pria yang marah di depannya. Tiba-tiba dia merasa sangat tidak berdaya. Emosinya terganggu dan merasa bingung, dia tidak bisa membayangkan seperti apa hari-harinya kelak? Apakah benar-benar dia akan terus terlihat dengan pria ini selamanya?

Febi tidak memiliki tenaga untuk berbicara dengannya lagi. Dia mengambil tasnya dan berjalan keluar tanpa menutup pintu.

"Febi!" panggil Nando dan mencoba mengejarnya, tapi dia harus membantu Febi mengunci pintu. Setelah tertunda, Febi telah memasuki lift sendirian. Tanpa menunggu Nando, dia menutup pintu lift dan menekan angka 1.

Di dalam lift, cermin yang terang dan bersih memantulkan wajahnya yang pucat dan kaku dengan mata kosong, seolah-olah seseorang telah menarik jiwanya pergi dalam sekejap.

Tiba-tiba, Febi tidak bisa menahan diri memikirkan pertama kali Julian membawanya ke Jalan Akasia, gairah Julian ketika berciuman di aula samping perjamuan, kelembutan ketika Julian menggosok luka di pinggangnya dan perhatian ketika mengobati wajahnya. Febi teringat betapa mendominasinya Julian ketika berkata dia menginginkan hatinya....

Febi teringat kalimatnya tadi malam "tunggu kamu bercerai"....

Tiba-tiba, semuanya berubah menjadi kebohongan.

Ternyata semakin cantik seekor ular, maka racunnya akan semakin ganas....

Saat Febi memikirkannya, ponsel di dalam tas tiba-tiba berdering.

Dia mengeluarkannya dan melihat nomor yang berkedip di atasnya, matanya terasa panas.

Julian....

Febi menggerakkan jarinya di layar, akhirnya dia menekan mode diam. Ujung jarinya menjadi sedikit gemetar.

Dia tidak mendengarkan.

Telepon berdering lagi.

Dia terus membiarkannya, tapi dia tidak bisa menahan air matanya.

Dia melihat air mata yang berlinang di cermin, dia tidak bisa menahan diri untuk mendengus.

Febi, kamu sangat tidak berguna!

...

Pintu lift terbuka dengan suara "ting", dia berdiri di pinggir jalan untuk menghentikan mobil.

"Febi!" Suara Nando datang dari belakang. Febi tidak melihat ke belakang, tepat ketika sebuah mobil datang, dia mengulurkan tangan untuk menghentikannya dan membungkuk untuk masuk. Pintu mobil tiba-tiba ditahan, "Jangan pergi!"

"Nando!" Febi memelototinya.

"Hei, apakah kamu mau pergi?" Sopir menjulurkan kepalanya.

"Pergi!"

"Jangan pergi!"

Keduanya berbicara serempak.

"Kalian katakan jawaban yang sama?" Sopir sedikit tidak sabar.

Nando meraih tangannya dan menyeretnya ke arah lain. Gerakan Nando tidak pelan dan Febi diseret olehnya sampai tanda merah muncul di pergelangan tangannya. Febi menepis tangannya dan bertanya dengan marah, "Sebenarnya apa yang kamu inginkan?"

Nando cemberut dan tidak mengatakan apa-apa.

"Kamu menyakitiku!" Febi menjabat tangannya, ujung hidungnya terasa perih dan keluhan di hatinya terus keluar. Mengapa semua orang mengabaikan perasaannya? "Nando, lepaskan!"

Nando berhenti sebentar, tapi Febi tidak dapat menebaknya dan dia terjatuh ke depan. Ujung hidung Febi menabrak punggung Nando. Tabrakan bukan pukulan berat dan matanya tiba-tiba memerah.

Febi menutupi ujung hidungnya dengan menyedihkan dan berusaha menahan air matanya.

Sebenarnya....

Hidungnya sama sekali tidak sakit....

Tempat yang tersakiti adalah hati....

"Tolong, lepaskan aku," kata Febi dengan suara serak.

Di komplek perumahan, lampu redup bersinar dari atas ke bawah. Mata Febi yang merah terlihat sangat menyedihkan, membuat orang ingin memeluknya erat-erat....

Nando menahan keinginan itu dan mengendurkan tangannya. Nando menghela napas dan menatapnya tak daya, "Aku tidak ingin melakukan apa pun padamu, aku tidak bisa melihatmu begitu tidak nyaman."

Febi tertawa dengan air mata yang mengalir.

"Kalau kamu bisa melihat kesusahanku sebulan lalu, kita tidak akan sampai sejauh ini."

Nando sangat frustrasi.

"Sebelumnya, aku bersalah padamu. Percayalah, aku akan berubah!"

Febi membuang muka.

Percaya?

Tampaknya satu-satunya hal yang bisa Febi percayai sekarang adalah dirinya sendiri....

"Aku tidak bisa melakukannya, aku tidak bisa berpura-pura masalah dulu tidak pernah terjadi." Febi menatap matanya, "Nando, kita berpisah baik-baik, jangan terikat lagi."

Jantung, berdenyut.

Jangan terikat lagi?

Febi benar-benar tidak peduli.

Orang-orang berkata jika seorang wanita kejam, dia akan lebih tidak berperasaan daripada seorang pria.

Ternyata benar....

Nando menarik tangannya dengan erat. Seolah takut asalkan dia melepaskannya sedikit, Febi akan menghilang begitu saja dan bukan lagi miliknya. Febi meronta, "Lepaskan aku!"

"Kamu tidak ingin kembali ke Kediaman Keluarga Dinata bersamaku, aku tidak akan memaksa." Nando masih tidak melepaskannya dan menatap matanya, "Katakan padaku ke mana kamu ingin pergi? Aku akan mengantarnya."

"Tidak, aku bisa naik taksi sendiri."

"Aku harus mengantarmu!" Febi keras kepala, tapi Nando lebih bersikeras dari dia, "Aku sudah mengalah!"

Febi sedikit tahu tentang temperamen Nando. Jika dia tidak setuju, Nando mungkin bisa mengganggunya sepanjang malam. Hari ini, dia sudah lelah. Dia benar-benar tidak ingin berurusan dengannya sepanjang waktu. Akhirnya, dia berkata, "Aku akan pergi mencari Tasya."

Mata Nando menjadi cerah, "Masuk mobil bersamaku."

...

Setelah masuk ke dalam mobil, Febi tidak berkata sepatah kata pun kepada Nando. Dia memalingkan wajahnya dari jendela dan menatap kosong ke pemandangan yang lewat.

Jika Febi tidak mendengarnya dengan telinganya sendiri, dia mungkin tidak akan pernah percaya Julian mendekatinya dengan maksud lain....

"Kamu punya masalah?" tanya Nando dan menatapnya dengan cemas.

Febi masih melihat keluar jendela. Lampu jalan di luar yang terang menyinari matanya, tapi matanya masih terlihat gelap....

Suram dan tidak bercahaya.

Tangan Nando yang memegang kemudi mengencang sedikit dan bertanya, "Apakah itu karena Julian? Apakah dia menindasmu?"

Nama itu bagaikan jarum yang menusuk ke dalam hatinya.

Bulu mata Febi sedikit bergetar, dia hanya menutup matanya.

Apakah Nando tahu hubungan antara Julian dan Vonny?

Febi tidak bertanya.

Karena urusan mereka tidak ada hubungannya dengannya lagi....

"Kenapa kamu tidak menjawabku? Terakhir kali aku menerima CD, video menunjukkan kalian berdua bersama. Dia datang ke perusahaanmu untuk menjemputmu!" Saat Nando mengungkit masalah ini, dadanya terasa sakit. Dia menarik napas dalam-dalam dan menekan berbagai emosi di dadanya, "Apa hubungan kalian berdua? Berpacaran? Febi, jangan bodoh! Dia hanya main-main!"

Kata-katanya terus menusuk hati Febi.

Julian hanya bermain-main....

Lihat, sebenarnya semua orang tahu, hanya Febi satu-satunya yang tidak sadar.

Hanya Febi....

"Kami tidak memiliki hubungan apa pun!" Febi membuka matanya dan mengeluarkan kalimat seperti itu. Akan tetapi kabut di hatinya semakin menumpuk, "Turunkan aku di persimpangan depan, aku akan masuk sendiri."

...

Pada jam ini, Tasya sedang membuat memakai masker. Mendengar bel pintu, dia bergegas membuka pintu.

Febi menahan diri sepanjang jalan. Saat dia melihat Tasya, dia tidak bisa menahan semua ketidaknyamanan di hatinya yang terus bergejolak.

Air mata keluar tiba-tiba.

Tasya sangat terkejut sehingga dia buru-buru menyuruhnya masuk. Untuk waktu yang lama, Febi duduk di sofa tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tasya menuangkan segelas air untuknya. Jelas-jelas adalah air panas, tapi Febi bisa merasa dingin.

"Ponselmu berdering," ucap Tasya untuk mengingatkannya dengan lembut, mengeluarkan ponsel dari tas Febi, meliriknya dan berkata kepadanya, "Pak Julian."

Dia lagi....

Mata Febi menjadi gelap dan dia tidak menjawabnya.

Mengapa dia terus menerus meneleponnya? Apakah dia ingin berbicara dengannya, mengkhawatirkannya atau menunggunya di rumah? Atau kata- kata candaan dan menggoda lainnya?

Tidak! Dia tidak ingin mendengar sepatah kata pun.

Kebohongan! Semuanya adalah kebohongan!

Tasya meliriknya dengan bertanya, "Apakah kalian bertengkar?"

"Tidak," jawab Febi dengan pelan dan samar, suaranya halus seolah-olah saat berikutnya akan menghilang.

Tidak ada pertengkaran di antara mereka.

"Lalu apa yang terjadi?" tanya Tasya dengan cemas. Febi menceritakan apa yang baru saja terjadi, Tasya tidak mengatakan apa-apa untuk waktu yang lama. Setelah beberapa saat dia memarahi, "Pria bukanlah sesuatu yang baik!"

"Vonny ini benar-benar luar biasa! Apakah kamu berutang padanya di kehidupan sebelumnya? Dia tidak hanya menggoda Nando, sekarang...." Tasya menatap Febi. Melihat air matanya, Tasya segera menghentikan kata-katanya dan tidak mengatakan apa-apa lagi.

Febi menertawakan dirinya sendiri dan memegang cangkir itu erat-erat, "Dulu aku menganggapnya sebagai penyelamat hidupku, menyeretnya untuk menemaniku berakting di depan Vonny. Sekarang dipikir-pikir, aku bahkan tidak berani membayangkan bagaimana mereka menertawakanku...."

Febi merasa bodoh.

Tasya menatapnya dengan simpati, "Kamu bilang ... anak Vonny, apakah itu akan anaknya?"

Febi menggigit bibir bawahnya hingga menjadi putih. Dia tidak mengatakan sepatah kata pun, tapi hatinya terasa sakit seolah-olah kulitnya robek.

"Aku juga mengajukan pertanyaan bodoh." Tasya menepuk mulutnya dengan marah, "Kalau bukan anaknya, apakah Vonny akan datang dan menanyainya?"

Febi tidak menjawabnya, seolah-olah dia tidak mendengar topiknya. Dia meletakkan cangkir teh, lalu berdiri dari sofa dan tersenyum padanya, "Aku lapar, apakah kamu punya sisa makanan?"

Febi masih tertawa.

Namun....

Senyum itu membuat Tasya merasa sangat tidak nyaman.

"Ada. Tunggu aku, aku akan memanaskannya di microwave." Tasya memberinya tatapan khawatir, lalu baru menuju ke dapur.

Bahkan, dia sama sekali tidak punya nafsu makan.

Hanya saja, perasaan kosong di dadanya membuat Febi merasa sangat tidak nyaman. Dia hanya ingin memakan sesuatu dan mengisi bagian yang kosong.

Akan tetapi....

Apakah bisa diisi?

...

Sepanjang malam, dia mematikan ponsel dan berbaring di samping Tasya. Dia berguling-guling dan tidak bisa tertidur. Keesokan harinya, Febi membuka mata dan pergi bekerja seperti biasa.

Tidak peduli betapa sedih Febi, hari-hari akan terus berlalu.

Dunia masih belum runtuh.

Dia sendirian, juga bisa hidup dengan baik....

Febi menyalakan komputer dengan lincah dan mengikat rambutnya tinggi-tinggi agar dirinya terlihat lebih segar. Hanya saja, lingkaran hitam samar di bawah matanya menunjukkan tidurnya yang buruk tadi malam.

"Febi, Pak Julian menelepon dan memintamu untuk datang," ucap Kak Robby sambil berjalan keluar dari kantor.

Seperti apa pun dia berpura-pura, saat mendengar orang lain menyebut namanya, gerakan Febi terhenti sejenak. Tasya memandangnya dan berkata, "Kalau kamu tidak ingin pergi, aku yang pergi saja."

"Kalau begitu kamu yang pergi saja, aku masih ada pekerjaan."

Febi mengikuti perkataan Tasya.

Dia tidak berbicara banyak, hanya menundukkan kepalanya dan terus menyelesaikan pekerjaannya.

Namun, pikirannya tidak ada di sana....

Akhirnya, dia masih tidak bisa bertindak seolah-olah tidak ada apa pun yang terjadi.

...

Julian berdiri di jendela sambil melihat ke taman hotel bawah, alisnya yang tampan berkerut.

Sejak tadi malam, Febi tidak menjawab teleponnya. Awalnya Julian dia benar-benar masih berada di Kota A, tapi ketika dia menelepon Perusahaan Konstruksi Cyra pagi ini, Febi sudah tiba di perusahaan. Apa maksud dari Febi?

Apa yang terjadi malam sebelumnya membuat Febi sangat takut sehingga dia mulai bersembunyi lagi dan menjaga jarak dari Julian?

Memikirkan kemungkinan ini, kerutan di wajah Julian menjadi semakin dalam.

"Pak Julian." Caroline mengetuk pintu dan masuk. Dia menenangkan pikirannya. Kemudian, dia berbalik sambil memasukkan tangannya ke saku dan bertanya dengan acuh tak acuh, "Ada apa?"

"Orang dari Perusahaan Konstruksi Cyra ada di sini." Caroline melirik wajahnya dan menambahkan, "Orang yang datang adalah Nona Tasya."

Tasya?

Jadi....

Febi bersembunyi darinya?

"Pak Julian, apakah Anda ingin bertemu dengannya?" tanya Caroline setelah melihatnya tidak berbicara untuk sementara waktu.

"Tidak perlu." Julian duduk di meja, "Minta dia langsung mencari Wakil Direktur Agustino."

"Baik."

...

Saat pulang kerja, hujan turun lagi.

Seperti semua rekannya, Febi berdiri di pintu. Dia mengangkat kepalanya dan menatap langit kelabu, hatinya juga kelabu.

"Febi, apakah Pak Julian akan menjemputmu lagi hari ini?" Beberapa orang selalu menghantuinya. Mereka adalah Meliana dan yang lainnya.

Febi mengerutkan bibirnya dan berdiri di sana, seolah-olah dia tidak mendengar.

Tetesan air hujan terasa sejuk dan angin bertiup ke wajahnya. Terasa basah seolah-olah telah terbenam hatinya.

"Febi!"

Ketika dia dalam keadaan linglung, suara yang dikenalnya tiba-tiba terdengar.

Febi mengangkat matanya dan melihat Nando berlari ke arahnya di tengah hujan. Dia tertegun sejenak, tapi sebelum dia tersadar dari lamunannya, tangannya sudah digenggam oleh Nando.

"Nando, apa yang kamu lakukan?" Febi tanpa sadar meronta.

"Kembali bersamaku! Kamu harus ikut denganku hari ini! Cepat!" Nando cemas. Nando bahkan menyeretnya ke dalam hujan tanpa menjelaskan apa pun. Hujan sedikit deras, Nando melirik Febi dan memakaikan mantelnya di atas kepala Febi.

...