Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Biasanya Cinta

Rayya_Raditya
--
chs / week
--
NOT RATINGS
6.1k
Views
Synopsis
Rasa itu mulai tumbuh ketika masa putih abu-abu. Gadis itu, pecinta buku. Sesuatu yang jarang ditemui pada siswi sebayanya. Itulah yang dialami Dika pertama kalinya saat melihat Nadya. Waktu berjalan, saat itu Dika tak berani mengungkapkan. Ia hanya menjalin sahabat baik. Sampai dewasa, sesuatu yang ditakutkan terjadi. Terlebih, setelah mendapati kabar ia dilamar laki-laki lain. Ternyata sahabatnya sendiri. Hiruk pikuk perasaan Dika. Pandemi, membuat ia di-PHK. Karir dan cintanya seakan luruh sudah dari kehidupannya. Bagaimana lika-liku Dika menata hidupnya kembali? Apakah ia mampu meraih posisi yang mapan dan mendapatkan hati Nadya?
VIEW MORE

Chapter 1 - 1 - Tak Sengaja Mengenalnya

(POV Nadya)

"Hei!! Cepat-cepat baris!!"

"Kamu, yang duduk saja di sana! Cepat!"

"Saya tunggu sampai hitungan sepuluh, harus sudah baris semua. Kalau tidak, siap-siap terima konskwensinya!"

Seruan perintah terdengar dari lapangan sekolah. Berbagai calon siswa baru pun kian mendekati sumber suara. Tak lain adalah calon siswa yang langsung populer itu. Nadya, calon siswa yang masuk urutan pertama daftar nilai tertinggi. Sebagai hadiah, ia diizinkan tak ikut berbaris.

"Nah, iya kamu. Siswa baru, khusus buat kamu, silahkan kesini."

"Karena nilai kamu tertinggi, kamu boleh gak ikut baris. Silahkan duduk di sana."

"Tapi aku mau di sini aja, Kak."

"Ouh yasudah. Kamu di sini saja bareng kami."

"Gimana, Rak? Udah beres?" tanya Dika. Siswa kelas dua SMA jurusan Bahasa itu.

"Kayaknya ada yang belum nih. Tapi gatau dimana."

"Yaudah, kita mulai aja jelasin ke mereka dulu. Kasian, panas."

"Ah, kamu mah. Tadi aja sok teriak-teriak tegas. Sekarang jiwa melow."

"Udah, sana. Biar aku aja yang cari. Kamu yang pimpin, ya!"

"Kok aku, Dik?"

"Udah. Aku percaya sama kamu, Rak." Tegas Dika.

"Aku pergi cari dulu." Dika mencari calon siswa yang belum berbaris. Terhitung, kurang dua orang. Dika merasa itu bagian dari tanggung jawabnya. Ia pun kian mulai cemas kalau ada apa-apa.

Laki-laki bermata teduh itu mencari sepanjang lorong kelas. Berbagai ruangan yang nampak kosong, ia datangi. Tapi nihil. Tak ada tanda-tanda orang di dalamnya. Wajahnya terlihat tenang tapi cemas. Cemas tapi tenang. Dika mulai berlari-lari kecil menyusuri gudang sekolah. Juga tak ada. Hanya ditemuinya penjaga sekolah—yang terlihat sibuk merapikan barang-barang di dalamnya.

"Maaf, Pak. Bapak lihat siswa baru di sekitar sini?" tanya Dika menahan cemas.

"Dari tadi Bapak di sini, gak ada siswa yang lewat satupun, Dik."

"Coba Bapak ingat-ingat lagi. Aku sudah cari ke mana-mana gak ada, Pak."

"Ehmm..." Pak Wardi, penjaga sekolah itu terlihat mengingat sesuatu. Ia memang dikenal dengan penjaga sekolah yang ramah. Suka menolong, dan baik hati. Kekurangannya hanya satu, pelupa. Mungkin, karena faktor usianya. Dika yang mengenal sifat Pak Wardi pun mencoba memberikan peluang untuk mengingat.

"Gimana, Pak? Sudah ingat?"

"Pak Wardi yakin? Gaada satu pun siswa baru yang lewat sini?"

"Eh, sebentar... tadi sebelum Bapak masuk ke gudang. Ada anak yang tanya toilet dimana. Terus Bapak kasih tau toilet terdekat sini. Udah."

"Toilet deket sini, ya. Baik, makasih, Pak." Dika segera berlari ke toilet perempuan. Ia tak peduli apapun yang orang lain pikirkan. Menjaga para siswa baru tetap aman, adalah tugasnya. Menjadi ketua panitia ospek, memang tak diinginkannya. Namun, kepercayaan teman-temannya meluruhkannya. Ia tetap berusaha menjaga kepercayaan itu.

***

"Tolong!!"

"Tolong, yang di luar tolong!!"

Terdengar suara meminta pertolongan. Meski tak begitu terdengar dari luar, namun Dika mendengarnya. Ia pun segera mendobrak pintu toilet itu.

"Adik yang di dalam. Agak menjauh ya. Biar Kakak dobrak pintunya."

Braaak!!

Satu dobrakan, tak langsung membuat pintu yang terkunci itu terbuka. Satu, dua kali tak kunjung terbuka.

Sampai akhirnya, ketiga kalinya terbuka.

"Alhamdulillaah... kenapa bisa adik di sini?" tanya Dika.

"Gatau, Kak. Aku tadi cuma ke toilet. Pas mau keluar, gabisa dibuka." Jawab calon siswa baru berseragam putih biru itu. Tertera nama di kemeja putihnya. "Nadya Kumalasari." Ya, itulah aku. Ibuku memberi nama khas jawa, yang entah bagaimana aku memaknainya. Kata Ibu, ia berharap puterinya berhati lembut dan berbudi yang indah. Entah, bagaimana itu. Sejak kecil, bahkan aku sudah terbiasa dengan gelap. Gelap yang kian pekat. Sedangkan indah. Indah, darimana? Aku tak populer, juga tak begitu pintar, tak punya teman satupun. Satu-satunya teman dekatku adalah apa yang selalu kubawa di tasku. Tak lain adalah novel-novelku.

"Uhmm, Maaf, Kak. Aku telat baris. Aku takut kesana." Lirihku.

"Biar aku di sini saja."

"Jangan takut, Dik. Nanti biar Kakak jelasin di sana. Nama kamu Nadya?"

Aku hanya mengangguk saat seorang laki-laki pertama di sekolah ini menyebut namaku. Yang bahkan, aku sendiri pemilik nama itu tak suka menyebutnya. Sebab itu, aku hanya menggangguk.

"Nama yang bagus. Kombinasi Jawa. Orangtuamu pasti berbudi luhur, khas orang Jawa."

"Udah, ayo baris! Nanti tambah telat."

"Tapi..."

"Oh ya, hampir lupa. Kamu lihat satu lagi siswa baru lainnya. Soalnya di sana kurang dua. Daritadi aku cari, baru ketemu kamu." jawabnya tenang.

"Maaf, Kak. Aku gatau."

"Kak, itu di sana. Siapa?"

Nampak seorang perempuan sedang duduk termangu. Menepi sendiri. Entah apa yang sedang dipikirkannya.

Aku mendekatinya. Berusaha menyapa. Meski aku sadar, berharap memiliki teman adalah sesuatu yang mendekati kemustahilan. Tapi aku tetap berusaha menyapa.

"Maaf, kamu kenapa?"

Yang kutanya hanya menengok sumber suaraku. Tak langsung menjawab. Dika pun hanya melihatku dan orang yang sedang kutanyai dari jauh. Sepertinya, ia ingin membiarkan dua perempuan berbicara terlebih dahulu.

"Disana ada Kakak kelas yang nyariin kamu. Kasian, daritadi sudah nyariin."

"Apa urusannya sama kamu? Hah?" jawabnya ketus.

Aku mencoba ikut duduk di sebelahnya.

"Humm... sejuk ya, di sini. Pantesan kamu duduk lama dari tadi."

"Gausah sok akrab. Aku gabutuh temen."

"Aku udah biasa gapunya temen. Kamu gausah kawatir." jawabku berusaha ramah kepadanya.

"Trus, kenapa kamu disini? Bukannya baris sama peserta ospek lainnya?" Nada suaranya mulai merendah.

"Aku tadi terkurung di toilet. Kakak itu yang menemukanku."

"Terkurung? Di toilet? Ko bisa? Siapa yang lakuin?" nampak tiba-tiba ia cemas mendengar penjelasanku.

"Aku gatau."

"Ko bisa gatau? Trus, kamu gakenapa-napa?" Seperti mendengar kabar sedih, ia tiba-tiba cemas bukan main. Tangannya mengecek kondisi kemejaku. Wajahnya memeriksa penampilanku. Aku sampai merasa aneh sendiri.

"Sebenarnya, orang ini siapa? Kenapa dia begini?"

"Tenang, aku gapapa, ko."

"Jadi gimana? Yuk ikut baris. Kasian, Kakak kelas kita nungguin di sana."

"Lagian kenapa juga ditungguin? Biasanya aja teriak-teriak gajelas kan?"

"Gaboleh gitu. Dia itu peduli. Meski kamu melihatnya teriak-teriak gajelas, anggap aja itu bentuk lain pedulinya."

"Kamu siapa? Kenapa mau dekat denganku?"

"Kamu bisa lihat namaku sendiri." Aku mendekatkannya pada sebuah papan nama peserta ospek.

"LARASATI"

"LARASATI? Boleh kupanggil LARAS?"

"Apa saja yang kamu suka. Yuk, kita baris."

"Sebentar, bilang aja aku gamau baris. Lagi gak enak badan. Kalau kamu mau baris, ikut aja. Aku gapapa di sini."

"Kamu yakin?"

"Iya."

"Tapi aku lihat kamu seperti gak sakit. Cuma perasaanmu yang belum berdamai. Kamu ada masalah?"

"Udah deh, gausah sok tau."

"Yaudah, aku bilang dulu ya."

Aku pun mengampiri Dika, Kakak kelas pertama yang kukenal.

"Maaf, Kak. Katanya dia lagi sakit. Gak enak badan. Jadi gabisa ikut baris."

"Ouh gitu. Iyaudah gapapa. Kalau gitu ke UKS aja. Jangan disini."

"Iya, Kak. Nanti aku temenin ke UKS. Makasih, ya."

Ia hanya mengangguk. Dan berlalu meninggalkan kami.

"Kok kesini? Gaikut baris?"

"Baris berdua sama kamu aja."

"Apaan."

"Oh ya, nama kamu siapa?"

Ia menirukanku tak menjawab. Menunjukkan papan nama yang menggantung di lehernya

"NADYA KUMALASARI"

"Laras. Ayuk kita ke UKS."

"Kenapa jadi akrab?"

"Mungkin, ini yang namanya teman." Jawabku.

"Teman?"

"Ya. Di novel-novel yang kubaca, seorang teman tak akan membiarkannya dalam sedih dan sakit sendirian."

"Kamu kuno. Ini tuh udah jaman millenial. Masih suka bicara pake novel?"

"Gapapa. Aku suka ko."

"Iya deh. Terserah kamu."

"Jadi, kita teman?" Tanyaku seraya menunjukkan jari kelingking. Menawarkan tanda persahabatan.

Laras mengangguk.

Ya, hari itu cukup sedih dan bahagia. Sedih karena aku mengira, aku sama sekali tak akan punya teman satu pun. Ditambah, di hari pertama petaka menghampiriku. Seseorang yang entah siapa mengurungku di toilet. Mengambil kuncinya, dan membiarkan aku terkurung. Menangis entah sejadi-jadinya. Tapi agaknya Tuhan masih kasian kepadaku. Bersama sedih dan cemas, aku dipertemukan dengan Laras. Teman baru dan teman pertamaku. Aku tak tahu bagaimana aku harus berteman. Tapi yang kutahu, setidaknya aku sedikit tak merasa gelap sendirian. Barangkali, itu yang harapanku pada seorang teman. "Laras, kamukah teman terbaikku?"