Chereads / Biasanya Cinta / Chapter 9 - 9 - Perjalanan

Chapter 9 - 9 - Perjalanan

"Nad, mau kemana? Bukannya baru pulang kerja?"

"Oh ya, aku lupa bilang ke kamu, Ras. Mulai sekarang setiap weekend ada acara di panti. Jadi, kemungkinan aku akan ke sana."

"Emang acara apa?"

"Ya... sama anak-anak."

"Mau ikut?" Nadya memiringkan kepala. Menatap Laras yang terlihat ragu memikirkan tawarannya.

"Ehm, nanti dulu aja deh. Yaudah, sukses ya acaranya." Nadya menjawabnya pelan. Seolah tak yakin dengan jawabannya sendiri.

"Yaudah, aku turun duluan yah. Daaah."

Nadya berhenti dari bus. Melambaikan tangan ucapan perpisahan dengan Laras. Sekitar dua puluh menit kemudian, Nadya akhirnya sampai.

"Kak Nadya!! Yey! Kak Kala dateng teman-teman!" seru salah seorang anak dari panti. Disusul beberapa anak lainnya yang keluar begitu saja dari pintu. Siap menyerbu Kala. Mereka berebutan memeluk Kala.

"Akhirnya, Kak Nadya bisa kesini lagi. Kangen deh." Ucap salah seorang anak.

"Iya, nih. Emang Kak Nadya masih sakit, ya?"

"Aku gamau sama Kakak yang hidungnya mancung itu. Gak enak. Kurang seru!" ucap lainnya.

"Kakak hidung mancung?" Nadya bingung.

"Itu lo, Kak. Pas dulu Kak Kala sakit karena kecelakaan."

"Oh ya? Kak Dika?"

"Nah itu!"

"Tapi menurutku Kak Dika keren ko. Ganteng!" timpal salah seorang anak laki-laki, "aku malah ngefans sama Kak Dika!"

Sebelum kepergian Dika, Nadya memang sempat mengalami sakit dan aktivitasnya di panti yang sudah ditunggu anak-anak, digantikan Dika. Ya, entah kenapa hari-hari setelah itu keduanya seolah saling menjauh begitu saja.

"Huuuuh!!" Sorak anak-anak lainnya menyerukan kekesalannya.

"Sudah... sudah... yuk, masuk." Nadya mengajak anak-anak panti masuk. Terlihat Bu Nana sudah menyambutnya di depan pintu.

"Selamat datang, Nak Nadya. Akhirnya, bisa kembali aktif ke sini. Anak-anak pasti sudah sangat merindukan Nak Nadya," ucap Bu Nana dengan lembutnya.

Nadya mencium tangan Bu Nana. Menyapanya penuh takzim. "Alhamdulillah, Bu. Mulai sekarang InsyaAllah saya akan aktif kembali."

"Syukurlah. Ibu seneng dengernya. Kamu apa kabar?"

"Alhamdulillah baik, Bu."

"Nak Dika juga baik, kan?"

Nadya terdiam sejenak. Memikirkan jawaban yang tepat dari pertanyaan Bu Nana.

"Kenapa, Nak? Maaf, pertanyaan ibu mengganggumu?"

"Oh ndak, Bu. Dika juga baik-baik saja." Nadya mengangkat wajahnya. Membuat gari senyum tiba-tiba. Seolah tak ingin ekspresi sebenarnya terlihat oleh Bu Nana."

"Ayo, Bu. Cepetan!! Kami sudah kangen Kak Nadya, nih!" Protes salah seorang anak panti.

"Iya-iya. Kalian semua masuk dulu, ya. Duduk yang rapi. Ibu ada perlu sebentar sama Kak Kala. Yah?" pinta Bu Nana.

"Iya, Bu. Tapi jangan lama-lama, ya."

Bu Nana mengangguk. Disusul sorak sorai anak-anak.

"Yeeey!! Udah ada Kak Kala lagi!"

Bu Nana tersenyum bahagia melihat tawa anak-anak. Berlanjut menatap Nadya.

"Yuk, Nak. Kita duduk di sana." Bu Nana menunjukkan sebuah tempat duduk yang berada tak jauh dari panti.

"Duduk, Nak."

"Iya, Bu."

"Gimana kabar Ibu di rumah?"

"Alhamdulillah Ibu di rumah baik, Bu."

"Syukurlah. Sekarang kamu kerja?" Bu Nana melihat sekilas pin logo toko kue di tas Nadya.

"Iya, Bu."

"Ndak ada niatan lanjut kuliah?"

Nadya terdiam. Menatap rerumputan dan padang ilalang di depannya.

"Sebenarnya pengin, tapi belum yakin, Bu."

"Kenapa?"

"Untuk sekarang, aku cuma pengin ngeliat Ibu di rumah bahagia. Sejak bapak meninggalkan kami begitu saja. Bu Nana juga tahu kan? Aku harus mandiri."

"Ibu mengerti, Nak. Tapi bukan berarti tidak melanjutkan mimpi-mimpi kamu 'kan?"

"Ibumu di rumah, pasti juga akan sangat bangga melihatmu tetap melanjutkan kuliah."

"Kamu harus pikirkan, Nak. Jangan sampai nanti menyesal."

"Nah, Ibu ada ini." Bu Nana memberikan selebaran salah satu kampus.

"Ibu dengar, di sini bisa dapat beasiswa. Kuliahnya juga ndak setiap hari. Kamu bisa sambil kerja. Pikirkanlah, Nak."

Nadya memeluk Bu Nana, "Bu... terima kasih selama ini sudah mengerti."

"Sebenarnya... Nadya bingung. Kala kesini karena pengin nenangin diri."

"Maksudnya, Nak?"

"Nadya pengin sekali ambil sastra. Biar nanti jadi penerjemah. Tapi Ibu gak ijinin. Nadya bingung, Bu."

Bu Nana membuat seulas senyum. Menenangkan Nadya.

Nadya menitikkan air mata. Teringat masa silam saat ayahnya pergi meninggalkannya. Juga teringat saat dimana hanya Nadya yang jadi pelipurnya.

"Nak... kamu masih komunikasi sama Dika kan?"

Nadya melepaskan dekapannya. Membenarkan posisi duduknya. "Masih, tapi entah berapa lama kami mulai tidak berkomunikasi, Bu. Tepatnya, sejak setelah sakit itu."

"Ada apa, Nak?"

"Apa ada masalah?"

Nadya terdiam.

"Baiklah kalau kamu ndak mau cerita dulu. Tapi selama itu benar-benar tak pernah ketemu sama sekali?"

"Sebenarnya kemarin baru ketemu."

"Ouh, syukurlah. Lalu? Gimana kabarnya?"

"Dia baik-baik saja, Bu. Kami ketemu tak sengaja. Nadya juga ndak tau dia bakal kembali ke sini."

"Kembali? Memangnya Nak Dika sudah ndak di sini?"

"Iya. Dia dan Ibunya pindah ke Tegal. Sejak kabar ayahnya terjerat kasus korupsi."

"Astaghfirulloh... Ibu kangen sama Nak Dika. Maaf, ya kalau membuatmu sedih."

"Ndak papa, Bu. Aku baik-baik aja, kok."

"Saat Ibu muda dulu. Seumuran dengan Nadya sekarang. Ibu pergi meninggalkan rumah."

"Kemana?"

"Kesini."

"Hah? Jadi selama ini Bu Nana bukan orang asli sini?"

Bu Nana tersenyum, "Ya. Sebenarnya Ibu dari Jakarta. Karena permasalahan rumit orangtua, Ibu saat itu memilih pergi jauh. Kemanapun."

"Nah, sebelumnya pengurus panti di sinilah yang jadi jalan Ibu bisa disini. Ibu diajak olehnya kesini. Karena memang tak ada tujuan kala itu."

"Bu Nana saat itu masih kuliah?"

"Saat itu libur semesteran. Sekitar semester 6 Ibu memutuskan pergi."

"Lalu Ibu lanjut kuliah di sini?"

"Sayangnya tidak. Makanya Ibu berharap kamu bisa tetap lanjut kuliah. Itu salah satu penyesalan Ibu sampai sekarang."

"Ibu pikir saat itu, kuliah hanya akan menambah beban. Padahal, saat itu pengasuh sebelumnya juga sudah menyarankan lanjut di sini."

"Sayangnya Ibu terlalu egois saat itu. Jadi kekeh ndak tak lanjutin."

"Pasti sangat berat."

"Yah. Tapi semuanya sudah berlalu. Ibu bahagia sekarang. Ibu cuma pengin kamu ndak menyesal karena ndak lanjut."

"Kamu masih punya Ibu yang baik di rumah. Pasti beliau akan sangat senang melihat anaknya bisa lanjut kuliah."

"Pikirkanlah, Nak."

Nadya mengangguk, "Nadya akan pertimbangkan, Bu. Nadya akan berusaha mengerti ibunya Nadya. Meskipun entah bagaimana dengan mimpi Kala. Terima kasih selama ini sudah sangat perhatian."

Bu Nana menarik garis senyum paling tabah. Menatap ke depan padang ilalang yang menari tertiup angin. Syahdu.

"Tentang Dika, Ibu yakin dia pasti punya alasan sendiri menjauh darimu, Nak. Tapi dia orang baik. Ibu yakin suatu saat nanti kalian akan bertemu kembali."

Nadya menatap Bu Nana berbicara. Seolah mencari harapan dari ucapan itu. Nadya menunduk sejenak. Rambutnya pelan tertiup angin. Menyapu berbagai angan dan ingin.

"Aamiin." Ucap Nadya pelan.

"Sudah. Pikirkan baik-baik, ya. Mau ke dalam sekarang? Anak-anak pasti nungguin."

Nadya mengangguk. "Kamu akan kesini setiap weekend?"

"InsyaAllah, Bu. Nadya ingin lebih dekat dengan anak-anak lagi. Selama Kala masih di sini. Nadya akan coba sempatin diri."

"Pikirkan baik-baik ya, Nak. Sebelum memutuskan pergi."

"Kalau boleh... Kala pengin ajarin anak-anak nulis." Pinta Nadya.

"Tentu saja boleh, Nak."

"Kamu bahagia melakukan ini semua kan?"

Anak-anak di panti sudah memanggil Nadya dari pintu. Menantikan kedatangan Nadya.

"Kak Nadya!! Cepetan!!"

***

Hari itu, sebuah harapan Nadya akan kembali melanjutkan kuliah. Meskipun entah akankah ia mengikuti kata hatinya untuk fokus merawat ibunya atau kata hatinya yang lain tentang mimpinya. Dan sebuah usaha menyembuhkan diri sendiri dilakukan kembali. Tak lain tak bukan, adalah dengan menagih diri sendiri berbuat baik pada orang lain. Bagaimana perjalanan Nadya selanjutnya? Simak terus, ya....