"Siap!"
"Otw!"
Dika menimpali jawaban dari ponselnya. Ibunya yang sedari tadi duduk di sofa memerhatikannya. Sesekali menggelengkan kepala. Bisa melihat anak satu-satunya itu, suatu kebahagiaan tersendiri bagi Ibunya.
"Nak... udah mau pergi lagi?"
"Iya, Bu. Dika mesti selesaikan berkas pindahan buat kampus baru."
"Kamu ndakpapa pindah ke sini?"
"Ndakpapa, Bu. Udah, ya. Ibu ndak usah kawatir. Lagian, kita kesini juga biar deket sama nenek kan?"
Ibunya tersenyum.
"Yasudah, hati-hati ya. Jangan sampai jatuh lagi seperti kemarin."
"Iya, Bu. Dika janji bakal lebih fokus. Dika berangkat dulu ya, Bu."
Dika mencium tangan Ibunya. Berpamitan. Beberapa waktu setelah kakinya hampir menyentuh pintu, ia berbalik.
"Oh ya, Bu."
"Ya? Ada yang ketinggalan?"
"Ndak. Kalau ada apa-apa jangan lupa calling, ya?" Tangan Dika membentuk telepon ke telinganya.
Wajah Ibunya nampak bangga. Aroma ketulusan dan ketenangan semerbak di pagi hari itu.
"Iya, Nak. Hati-hati, ya."
Dika mengangguk. Menutup pintu. Melangsungkan perjalanan menuju satu; menyelesaikan masalah dengan temannya sebenarnya. Alasan menyelesaikan berkas hanya pengalih agar Ibunya tak terlalu kawatir padanya.
Jaket navy dikenakannya. Motor maric biru pun jadi teman setianya. Semula, ia ingin mengajak salah seorang teman. Namun, ia berpikir ulang.
"Bagaimanapun, aku harus selesaikan masalah ini sendiri."
Semilir angin pagi menyerbak rambutnya yang sedikit berponi. Hidung mancung genetik Ayahnya sangat jelas terlihat dari wajah Niko. Pun matanya yang tajam menatap segala, tapi teduh dan meneduhkan.
"Semoga saja kali ini aku juga ndak ketemu kamu, La. Aku belum berani menjelaskan apapun." Gumam Dika.
Tak berapa lama kemudian, ia sampai di depan kampus. Mengingat kondisi pandemi, kampusnya cukup sepi. Tak terlihat kerumunan mahasiswa yang biasanya terlihat dimana-mana. Mungkin, sebagian besar kuliah daring.
Dengan sneakers putih dan celana jeansnya, Dika melangkahkan kaki. Berjalan ke suatu tempat dimana ia biasa berkumpul dengan teman-temannya. Basecamp keadilan, mereka menyebutnya. Lebih tepatnya, adalah ruangan DEMA yang tak terpakai dan dialihfungsikan untuk para aktivis sepertinya.
Kebanyakan dari kalangan mahasiswa hukum, tapi tak sedikit pula mahasiswa lainnya yang memang punya ketertarikan yang sama.
Dika menyusuri tiap bangunan menuju basecamp keadilan itu. Perasaan gugup sempat menggelayutinya. Bagaimana kalau ia tiba-tiba diserang begitu saja oleh teman-temannya? Dikatakan pengecut, dan semacamnya?
Dika melihat ke salah satu pohon besar. Tak jauh letaknya dari basecame yang ditujunya. Terpampang suatu pamflet yang mencengkan. Niko menghentikan langkahnya. Tertera kalimat yang sangat menohok.
DICARI!!
ANAK KORUPTOR YANG LARI DARI PENGUSUTAN KASUS AYAHNYA. BILA BERTEMU DENGANNYA, HUBUNGI BASECAMP KEADILAN
Pamflet itu juga terpampang foto Dika yang dicetak hitam putih keseluruhannya.
"Kurang ajar!!" Geram Dika.
Ia mencabut pamflet itu. Meremasnya dalam satu kepalan tangan. Ia mempercepat langkahnya. Di persimpangan menuju basecampe, sempat bertemu salah seorang mahasiswa. Tatapan penuh tanda tanya menyambutnya.
Tak jarang, yang berbisik-bisik mengenainya. Dika tak pedulikan itu semua. Sempat terngiang satu nama dalam benaknya. Nino.
"Apa benar semua ini ulahmu, No?!"
Hanya beberapa langkah lagi Dika sampai di pintu basecampe keadilan. Terlihat beberapa pasang sepatu dibalik ruangan itu. Artinya, ada beberapa orang di dalamnya. Dika berhenti sejenak. Mengatur ulang napasnya.
"Haaah.... aku harus bisa tenang. Tenang, Dika. Tenang..."
Ia melepas sepatunya. Mengetuk pintu sejenak dan menengadahkan kepalanya.
"Assalamualaikum...."
Tak ada jawaban salam darinya. Mungkin, terkesan basi bagi mereka. Ini makin menguatkan Dika untuk meninggalkan teman-temannya di sana. Teman yang Dika anggap sudah seperti keluarga kedua, sebelumnya.
"Hello, Bro!! Akhirnya pahlwan kita datang! Hei... ayo kesini semua. Ada pahlawan yang kita tunggu-tunggu, nih." Pekik Nino memanggil teman-temannya di ruangan sebelahnya yang tertutup sekat.
"Oh... akhirnya orang yang kita cari datang juga. Apa kabar, bro?"
Dika hanya tersenyum kecil. Tangan kanannya refleks meremas pamflet yang dicabutnya dari pohon.
"Ouh... sudah baca, ya? Sorry, Bro. Itu cuma upaya perhatian kami." Nino berusaha menepuk pundak Dika. Seolah berlagak menenangkannya. Namun, sebenarnya menyindirnya telak.
"Siapa yang punya rencana sepicik ini? Jawab!" Bentak Dika.
"Kenapa diam? Jawab!! Atau saya ganti nama basecamp ini jadi basecamp apa!!"
Bugg!!
Sebuah pukulan mengenal mulut Dika. Satu pukulan dari Genta diiringi tawanya yang menyeringai.
"Ouh... ini respon kalian saat melihat kawan kalian terkena musibah? Hah? Begini caranya? Dimaki, dicaci, disebar di pamflet seolah kalian makhluk paling suci?"
"Iya. Kenapa? Gak suka? Hah?" Jawab Nino. Tak ada teman-teman lainnya yang berani jawab selain Nino. Mahasiswa hukum yang sedari dulu sangat mengincar posisi Dika sebagai ketua dari kelompok aktivisnya.
"Buat apa kalian bicara keadilan, kalau tak mampu bedain mana harus membela dan melawan, hah?"
"Dari sekian cacian yang masuk beberapa hari sejak kasus ayah saya, apa ada di antara kalian yang inisiatif ke rumah? Konfirmasi apa yang sebenarnya terjadi sampai-sampai saya harus pergi dari kota ini, hah?"
"Kalian semua sama saja. Pengecut sejatinya kalian semualah! Persetan bicara keadilan! Kalau hati kalian sudah hilang oleh kepedulian."
"Ganti saja nama basecampe ini dengan basecamp gilaa!!" Dika merutuki semua uneg-unegnya. Awalnya yang berusaha tenang, tetap saja ia lebih lega meluapkannya.
"Ah, rasanya percuma saya ngomong sama orang yang udah hilang empati. Saya kesini cuma mengabari. Saya sudah pindah kampus. Silahkan, yang selama ini menginginkan posisi saya di sini, ambil!"
"Pakai semau kalian jabatan apapun yang kalian ingini di sini. Tapi ingat satu hal, selagi itu tak berdasar dengan kejujuran dan kepedulian hati, apa yang akan kita bela pun hanya omong kosong saja!"
"Saya pamit. Assalamualaikum." Dika balikkan tubuhnya segera. Terdengar lirih satu ucapan salam dari salah seorang di sana.
Dika memakai kembali sepatu sneakersnya. Selesai membenarkan tali sepatunya dan bersiap pergi, salah seorang menahannya.
"Nik!! Tunggu!!" Ia menepuk pundak Dika. Dika pun membalikkan tubuhnya.
"Oki? Kenapa?"
"Maaf. Aku ndak bisa mencegah semua ini. Tapi percayalah... aku pun tak setuju dengan semua rencana Genta yang kamu lihat hari ini. Dimana semua medsos bahkan ia menyebarkan pamflet kebencian padamu."
"Aku sepenuhnya di pihakmu. Aku yakin tak ada satu anak di dunia ini yang bangga atau mengharapkan ayahnya korupsi. Ini semua bukan salahmu, Dika."
"Aku pikir di dalam sana juga masih ada beberapa teman yang sama dengan pemikiranku. Hanya saja mungkin takut bicara dan ancaman Nino."
"Ancaman?"
"Ya. Nino bahkan mengancam siapa yang di pihakmu, ia akan menyebarkannya sebagai pihak tak terpuji yang mendukung anak koruptor."
"Picik sekali dia, memang. Aku lebih memilih keluar. Benar katamu, Sa. Bagaimana mungkin kita berjuang atas nama keadilan. Kalau kita sendiri belum bisa bedain mana harus membela dan melawan."
"Terima kasih, Ki."
"Aku ikut denganmu."
"Ikut? Aku mau balik ke kampung."
"Ya. Anggap saja permintaan maaf karena belum sempat ke rumahmu menanyakan kabar sesungguhnya."
"Ndak keberatan kan?"
"Paling kayaknya badanmu aja yang tambah berat, Ki." Ledek Dika.
"Ah, bisa aja lu!"
Mereka pun menuju parkiran dan bersiap pulang.