Chereads / Biasanya Cinta / Chapter 8 - 8 - Memori Penerimaan Diri

Chapter 8 - 8 - Memori Penerimaan Diri

"Udah ikut aja."

Nadya berlari menyusuri koridor kelas. Sampailah di ruangan kelas seni musik.

"Mau apa kita kesini lagi, Nad? Ini jamnya Sosiologi. Bukan seni. Lagian aku kan seni rupa. Bukan seni musik."

"Itu dia. Kamu mesti coba masuk. Kabarnya, hari ini ada ujian praktik. Ayoo. Tuh, sepi ko. Tinggal beberapa anak. Jadi gak malu 'kan?"

"Nadya. Gimana kalau diusir?"

"Udaah, tenang. Seperti biasa, aku yang ijinin."

Nadya mendekat ke Pak Tri, guru seni musik. Aku berusaha dengan semampuku untuk ikut kelasnya.

"Maaf, Pak. Kenalin, ini teman saya yang pernah kami ceritain. Tolong, ya. Teman saya pengin banget belajar nyanyi. Minimal, bisa kenal suaranya sendiri. Tolong ya, Pak."

"Sekali ini lagi aja gapapa, Pak. Tolong..."

"Baiklah. Tapi setengah jam pelajaran saja, ya. Kalian tetap harus ikut kelas sesuai jamnya."

"Baik, Pak. Terimakasih, Pak."

Nadya segera mengajak Laras masuk kelas seni musik.

"Nad, beneran ini gapapa?"

"Gapapa. Udah, ayo. Kamu pengin belajar nyanyi 'kan? Disini tempatnya."

"Tapi, Nad. Suaraku jelek."

"Ssttt... kenali suaramu dulu, Laras. Berlatih dulu. Siapa tau, kamu yang memang belum kenal suaramu. Kamu mesti lebih rajin latian lagi."

Nadya mencari kursi kosong di deretan paling belakang. Beberapa siswa memandangku dan Kirana begitu aneh. Mungkin, keheranan karena memang ini pertama kalinya Nadya dan Laras masuk ke kelas musik ini.

"Nad... kenapa kamu nglakuin kegini lagi?"

"Anggap aja bentuk maafku, Ras. Aku sungguh merasa bersalah."

"Nad... ini berlebihan."

"Sudah, ya. Kamu nikmatin kelas di sini. Siapa tau dengan mengikuti kelasnya Pak Tri ini, kamu bisa kenal lebih dekat dengan suaramu."

"Tapi, Nad... aku takut."

"Kita disini cuma setengah jam pelajaran, Ras. Sudah, hadapi ketakutanmu. Mulai sekarang. Kapan lagi? Lagian kali ini lebih sepi 'kan?"

"Makasih banget ya, Nad."

Nadya mengangguk. Kirana duduk di sisi kirinya. Tampak di depan, Pak Tri sedang menjelaskan. Kami menyimaknya berdua. Di sini. Di ruangan kelas seni musik, yang sama-sama baru diikuti.

"Barangkali, perihal memaafkan memang sederhana bukan? Semoga kamu bisa lebih mengenal suaramu, Ras." Gumam Nadya. Dipandangi matanya yang memangku aneka penasaran dengan suara. Agaknya, matanya kian terasa hidup. Nadya seolah kini bisa merasakannya.

***

Waktu terus bergulir, menjalankan berbagai kenangannya. Tak terasa, kelulusan sudah di depan mata. Perjalanan tentang mimpi-mimpi, cerita kisah masa menakutkan, keberanian, dan lainnya telah Nadya lewati di masa SMA.

Tubuhnya yang tinggi terlihat sedikit gontai. Langkahnya sedikit menunduk lalu ditegakkannya kembali. Terik matahari yang mulai tenggelam membasuh jingga di wajah Dika. Jaket jeans dipakainya. Helm biru segera dipasangkan di kepalanya yang kian membatu.

"Apakah aku terlalu egois bersikap pergi begitu saja, La?" Gumam Dika.

Namun, ia tak begitu pedulikan. Meskipun ketidakpedulian bisa bermakna kesungguhannya untuk peduli.

"Aku rela kau bahagia, bahkan jika itu tanpa aku. Maafkan aku yang payah ini." Bersamaan dengan ucapannya, Dika menancap gas motor matic birunya.

Jalanan pantura dengan kendaraan yang mulai ramai, tak begitu dihiraukannya. Angin yang kian terasa berisiknya ternyata tak lebih berisik dari isi kepalanya.

Mata tajam Dika memandang ke depan dengan fokusnya. Namun, ia hilang kendali.

Braaak!!!

Sebuah lubang di jalan, tak terlihat olehnya. Ia jatuh tersungkur. Untungnya, tak ada kendaraan berat yang menghantamnya.

"Mas... gakpapa, Mas?" Seorang bapak memapahnya.

"Ndakpapa, Pak. Makasih." Ucap Dika singkat.

"Kalau capek, mending istirahat dulu, Mas. Jangan dipaksain. Mari mampir warung istri saya." Bapak itu menawarkan.

"Terima kasih, Pak. Tapi-"

"Jangan dipaksain, Mas. Bahaya. Atau lagi ada yang nungguin? Mending dikabarin aja biar yang nungguin juga paham posisi Masnya."

"Kok Bapak tahu?"

"Saya juga pernah muda, Mas. Hehe."

Aksa sedikit tersenyum dan menahan sakit di lutut dan sikunya.

"Sini. Motornya biar saya yang bawa. Masnya bonceng saja."

"Ndak ngerepotin, Pak?"

"Ndakpapa. Ayok."

Dika pun mengikuti arahan Bapak yang belum mengenalkan namanya itu.

Di perjalanan, Bapak itu seperti berusaha menghibur Dika dengan berbagai ceritanya.

"Untung Masnya pakai jaket dan helm lengkap. Jadi masih mendinglah kenanya jaket. Dulu saya, Mas. Lebih parah," bapak itu mengajaknya sambil ngobrol.

"Oh ya, Pak?"

"Iya. Saya nakal dulu, Mas. Ngapain pake helm? Kepala juga kepala saya. Haha dulu gitu. Bandel emang."

"Haha." Tak sadar, Dika juga mulai mengikuti obrolan itu.

"Kalau Bapaknya Mas, juga bandel apa ndak? Eh, keliatannya mah ndak, ya. Wong anaknya aja ndak."

Dika terdiam. Ia tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun tentang ayahnya.

"Mas? Kok diem? Eh, maaf saya menyinggung, ya? Maaf ya, Mas. Saya emang suka guyon."

"Ndakpapa, Pak."

"Masnya emang darimana mau kemana?"

"Dari Brebes mau ke Tegal, Pak."

"Ouh... emang dari Brebes. Kirain dari mana. Yasudah... nanti tinggal dikabari yang di rumah saja, Mas. Biar ndak kawatir juga."

"Iya, Pak. Terima kasih."

"Saya juga punya kenalan yang di Brebes, Mas. Orangnya ramah-ramah di sana ya, Mas."

"He... iya, Pak. Sama-sama masih ngapak."

"Bener. Oh ya, sebentar lagi sudah sampai, Mas."

Bapak itu menghentikan laju motornya Dika.

"Masih kuat jalan, Mas? Mau saya papah?" Bapak itu menawarkan diri.

"Astaghfirulloh... saya lupa nanya siapa namanya. Keasikan ngobrol. Masnya namanya siapa?"

"Dika, Pak."

"Dika. Nama yang bagus. Kayak Artis. Pas sama anaknya. Ganteng. Mari, Mas. Ini warung istri saya. Biar santai dulu di sini."

Dika mengangguk tersenyum. Tak pernah menyangka bertemu orang tak dikenal dalam perjalanan pulangnya. Apalagi sampai bertemu dan ngobrol seperti itu.

"Bu... ada tamu, nih. Ada teh hangat?"

"Oh ya, Bu. Obat luka ada?"

"Siapa yang luka, Pak?"

"Itu anak muda."

Seorang perempuan memakai daster bermotifkan mawar merah keluar. Wajahnya teduh dengan sedikit kerutan di pipinya.

"Astaghfirulloh... jatuh, Mas?"

"Iya, Bu."

"Duduk dulu, Mas. Biar saya buatkan teh hangat."

"Iya, Bu. Makasih."

Sambil membuatkan teh, Ibu itu juga sama ramahnya dengan suaminya.

"Masnya ini namanya siapa?"

"Dika Bu."

"Darimana mau kemana emangnya, Mas?"

"Dari Brebes mau ke Tegal, Bu."

"Satu jam-an lagi, ya?"

"Iya, Bu."

"Hati-hati ya, Mas. Kalau di jalan ndak boleh ngelamun. Bahaya. Kita ndak tahu di belakang kita ada kendaraan berat atau apa. Mesti bener-bener fokus."

Dika menganggukkan kepala.

"Ini teh hangat, Mas. Diminum dulu. Sebentar, ya. Saya panggilkan suami saya dulu. Tadi mau ngambilkan obat tapi kok lama banget."

Dika menganggukkan kepala lagi. Ia menghembuskan napas panjang. Sambil menahan nyeri luka di siku dan lututnya.

"Ya Allah... apa yang hendak kau tunjukkan padaku?" Lirih Dika.

Dika melihat jam di ponselnya. Menunjukkan pukul setengah tiga sore.

"Aku harus segera pulang. Tapi tak mungkin aku pulang dalam keadaan begini."

"Ah, apa Ibu sudah pulang?"

"Aku harus telepon."

Dika menghubungi seseorang yang mengabari kepulangan Ibunya.

"Hallo, Pak. Maaf, saya ada halangan di jalan. Belum bisa jemput Ibu saya tepat waktu. Gimana kabar Ibu saya? Aman?"

"Hallo, Mas. Alhamdulillah... aman, Mas. Tadi ada yang jemput, Mas. Ibunya aman. Sudah pulang kemungkinan."

"Sudah ada yang jemput? Siapa, Mas?"

"Saya kurang tahu siapa. Tapi katanya kenalan Ayahnya Mas. Mungkin Mas tahu? Saya kira malah Mas Dika sudah tahu."

"Oh begitu. Yasudah, Pak. Terima kasih."

Klik. Ponsel dimatikannya.

"Orang suruhan Ayah? Darimana Ayah bisa tahu Ibu kena fitnah? Bukannya Ayah sedang di penjara?"

"Ah, apalagi ini?" Raut wajah Dika mulai cemas. Matanya penuh tanda tanya.

Namun, ia segera mencari kontak ponsel Ibunya. Panggilan telepon berkali-kali dilayangkannya. Tak ada jawaban. Akhirnya, Dika mengirim pesan ke Ibunya.

"Bu, Ibu apa kabar? Apa benar sudah di rumah? Maaf, Dika belum bisa jemput Ibu tepat waktu."

Beberapa menit kemudian, balasan pesan yang ditunggu, terjawab.

"Alhamdulillah, Ibu aman, Nak. Ibu sudah di rumah. Kamu sendiri dimana? Sudah bicara langsung ke Nadya? Gimana, kabarnya?"

"Syukurlah. Dika ada halangan di jalan. Sebentar lagi pulang ke sana. Nanti Dika ceritain di rumah. Ibu jaga diri baik, yah."

"Iya, Nak. Hati-hati, ya."

Seulas senyum tergambar di wajah Dika.

"Syukurlah. Ibu sudah aman." Ucap Dika.

"Mas Dika. Maaf ya, lama. Sini biar saya saja yang obatin. Bapak mana bisa ngobatin," ucap istri dari Bapak yang menolong Dika.

"Hehe..." Bapak itu cuma menyeringai.

"Ouh ya, Pak. Gimana ceritanta bisa jatuh?"

Sambil mengobati lukanya Dika, ia sengaja mengajak bicara.

"Bapak ndak sengaja lihat pas lagi jalan mau pulang tadi."

"Berarti ndak tahu kenapa? Ndak ada yang nabrak kan?" Raut wajah cemas khas seorang Ibu pada anaknya tergambar dari perempuan itu.

"Sepertinya jatuh sendiri. Bukankah begitu Mas Dika?"

Dika mengangguk. "Iya, Bu. Saya yang jatuh sendiri. Ada lubang di jalan, dan ndak keliatan sama saya. Jadi ya gini."

"Ouh... lain kali hati-hati, ya."

"Makasih, Bu."

"Sama-sama. Diminum dulu. Biar lebih enakan tubuhnya."

"Iya, Mas Niko. Mau makan?"

"Ndak usah, Pak. Ini saja sudah cukup."

"Mau Bapak antar?"

"Ndak usah, Pak. Masih bisa nyetir sendiri, ko."

"Yakin?"

"Iya, Pak. Barusan saya juga berkabar ke Ibu di rumah mau segera pulang. Jadi saya mau izin pulang dulu. Terima kasih ya, Pak. Bu."

"Jangan lupa mampir ke sini, Mas. Kalau kesini dan lihat."

"InsyaAllah, Pak. Yaampun saya lupa nanya namanya Bapak."

"Ouh ya. Saya juga lupa ngenalin. Saya Andi dan ini istri saya Nike."

"Terima kasih banyak Pak Andi dan Bu Nike."

"Sama-sama. Hati-hati ya, Mas. Jangan lupa dzikir. Biar nyetirnya lebih tenang."

Dika menganggukkan kepala. Tersenyum dan berpamitan. Tak pernah menyangka perjalanan pulangnya akan dipertemukan dengan mereka. Orang-orang ramah yang tak mengenal siapa, tapi bisa berbuat baik pada sesama.

"YaAllah... terima kasih telah menunjukkanku pada ketulusan mereka. Meski sekarang Ayah tak ada, aku masih bersyukur masih ada Ibu di rumah." Lirih Dika.

Apa lagi Dika Niko lakukan untuk menyembuhkan dirinya? Dan tentang yang menjemput Ibunya, apakah benar suruhan Ayahnya? Bagaimana ia mampu berdamai dengan Ayahnya? Apa yang terjadi selama setelah kelulusannya? Kenapa terkesan telah menjauh dengan Nadya? Bagaimana pula ia bisa kembali menerima dirinya sebagai Dika kembali? Bukan seorang Wahyu?