Abaddon resah dan cemas sejak malam itu. Dia takut dan bingung apa yang harus dia jawab jika Hanako akan menghampirinya atau bertanya padanya.
Namun, hal itu tidak terjadi.
Hanako tidak mendekatinya.
Abaddon yang kini mengikuti Hanako dengan jarak yang lebih jauh begitu lega. Namun dia masih begitu takut, jika apa yang dia fikirkan akan terjadi. Karena dia selalu berharap jika Hanako tidak bertemu dengannya. Agar memudahkan hidup Hanako. Dan memudahkan Abaddon menahan perasaannya.
"Besok, kita pergi ke rumah Nenek lagi?" suara Hanako yang sedikit lebih nyaring membuat Abaddon sadar dari lamunannya.
Abaddon dapat mengetahui Hanako begitu senang.
Ibu Hanako yang sedang meminum teh mengangguk. Dia tersenyum melihat Hanako yang kini berlari ke lantai atas, ke kamarnya terlihat akan menyiapkan barang-barang untuk besok.
"Kenapa?" Ayah Hanako menyentuh tangan Ibu Hanako dengan raut wajah khawatir.
Ibu Hanako menggeleng.
"Kamu dapat menceritakannya."
"…Aku takut jika suatu hari Hana akan mengatakan dia akan meninggalkan kita untuk tinggal di kuil."
Ayah Hanako menggenggam tangan Ibu Hanako dengan lembut.
"Karena kamu tahu, aku tidak lagi dapat tinggal disana saat aku memutuskan untuk menikahimu." Ucap Ibu Hanako lagi mengenang pernikahannya yang tidak disetujui.
"Jika itu memang keinginan Hana, kita hanya dapat mendukungnya." Ayah Hanako yang terlihat begitu sabar mengelus rambut Ibu Hana. "Dimana pun Hana berada, kita akan tetap mencintainya." Ucapnya begitu lembut.
Ibu Hanako mengangguk. Tersenyum.