Imanuel tersenyum lembut dan menggenggam erat jemari Naina, "kenapa kamu harus takut kehilangan aku, aku nggak akan pergi ke mana-mana, aku nggak akan meninggalkanmu," ujarnya.
Naina menatap kekasihnya itu lekat. Ingin rasanya ia menceritakan tentang mimpi yang seolah nyata itu pada Imanuel, namun ia ragu. Ia sendiri bahkan masih bertanya apakah itu hanya mimpi atau hal itu memang terjadi dan sekarang Naina kembali ke masa lalu karena Tuhan memberinya kesempatan kedua.
"Menurutmu apa ada yang salah dengan hubungan kita?" tanya Naina.
Imanuel kini menatap Naina serius, "tergantung siapa yang melihat," jawabnya.
"Aku tanya menurutmu bagaimana?" ulang Naina.
Imanuel terdiam sejenak, "begini, Naina, kita saling mencintai, cinta tidak pernah salah, jadi, memangnya salah kalau kita saling mencintai, yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapi setiap masalah yang datang sehingga kita bisa bertahan untuk terus bersama," tuturnya.
"Tapi, sesuatu yang benar seharusnya tidak terasa salah dijalani," jawab Naina.
Imanuel mengerutkan dahi, "tunggu, untuk apa kita bahas ini, Naina, apa kamu mulai ragu denganku?" tanyanya.
Naina menggeleng, "tidak sama sekali," jawabnya mantap.
"Kalau begitu hentikan omong kosong ini, ini hanya akan membuat kita bertengkar," pinta Imanuel.
"Kalau begitu solusi untuk kita bagaimana?" tanya Naina.
Imanuel menghela napas tampak berpikir keras memikirkan masalah percintaannya dengan Naina.
"Ini bukan tentang kita berdua saja, Nuel, ada keluargamu, ada keluargaku, orang-orang yang kita sayangi," tambah Naina.
"Tapi hanya kita yang menjalaninya, Na," sanggah Imanuel.
Naina pun terdiam dan melepas genggamannya pada Imanuel. Ia mengalihkan pandangannya sebentar pada hamparan ladang sayur mayur di belakangnya dan di kelilingi bukit hijau yang indah.
"Bagaimana kalau kita kawin lari saja?" usul Imanuel.
JRENG!!!!!
Naina mendelik dan seketika menatap Imanuel tak percaya. Ia mendengar kata-kata itu lagi. Tunggu, sejak awal memang ke sinilah arah pembiacaraannya. Bagaimana bisa ini terjadi lagi dan Naina tidak menyadarinya?
"Naina?" Imanuel memecah lamunan Naina.
"Ah, ya?" Naina mengerjap menyingkir dari pikiran kusutnya.
"Bagaimana, kita kawin lari saja?" tanya Imanuel.
"Jangan!" Naina nyaris berteriak kemudian ia sadar ia ada di tempat umum dan saat orang-orang di sekitarnya memerhatikan dirinya ia pun berdehem dan memelankan suaranya. "ehem, maksudku, apa tidak ada solusi lainnya?" tanyanya. Sebenarnya Naina takut kecelakaan itu akan benar-benar terjadi dan dia akan kehilangan Imanuel untuk selamanya.
Imanuel terdiam tampak kembali berpikir, "sebenarnya bisa saja salah satu dari kita mengalah, tapi, kau memikirkan orang-orang di sekitar kita, dan selama kita memikirkannya kita tidak akan pernah mendapatkan solusi," tuturnya.
Naina pun tertegun. Ia meneguk teh hangat yang sudah hampir habis di gelasnya. "Lebih baik sekarang kita lanjut berjalan lagi, kita akan pikirkan ini lagi nanti," putusnya.
Imanuel menganggukkan kepala, "baik, ayo."
***
Memangnya jarak mana lagi yang paling jauh, bukankah perbedaan keyakinan adalah jarak terjauh sebuah hubungan?
Dia ada di depan matamu,
Tapi, saat kau mengucapkan assalamualaikum dia menjawabmu dengan shalom.
***
Naina dan Imanuel berjalan menyusuri jalan setapak yang naik turun tanpa melepas jemari yang mereka tautkan sejak memulai kembali perjalanan.
Hingga mereka akhirnya sampai di candi teratas yang tinggal reruntuhan. Sungguh disayangkan. Sebuah bangunan bersejarah yang dibangun dengan begitu indahnya termakan oleh jaman yang semakin tak memerhatikan mereka sebagai bukti peradaban manusia yang semakin maju namun juga mengalami kemunduran.
Setelah beristirahat sejenak Naina dan Imanuel pun turun dan kembali melewati jalan setapak yang berbeda. Cukup melelahkan juga perjalanan mereka menyusuri kawasan peninggalan Kerajaan Mataram Kuno itu.
Tiba-tiba saja langit mendung dan kabut turun membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Beruntung Naina dan Imanuel sudah meninggalkan candi-candi di atas bukit itu dan kini mereka akan menuju ke tempat parkir.
Sebelum benar-benar meninggalkan area tempat wisata Candi Gedong Songo mereka melewati para pedagang yang menjajakan berbagai makanan dan souvenir sebagai oleh-oleh.
"Nuel, aku mau itu!" seru Naina menunjuk sebuah permen kapan berwarna merah jambu yang baru saja digantung oleh si pedagang.
Imanuel pun terkekeh, "kamu ini, selalu saja minta itu ke mana pun kita pergi."
Naina meringis menyadari sifat anak kecil yang masih ia miliki itu. Tetapi, Imanuel tetap membelikannya dan mereka pun memakannya bersama seraya berjalan menuju ke tempat parkir.
Saat sudah sampai permen kapas yang manis itu pun sudah habis, "permen kapasnya sudah habis," rengeknya.
"Tentu saja permen kapasnya bisa habis karena kamu makan, kalau nggak mau habis, ya, jangan dimakan," celetuk Imanuel.
"Nanti belikan lagi," pinta Naina manja.
"Iya, nanti kalau aja penjual permen kapas lagi aku belikan," jawab Imanuel.
Naina pun tersenyum kemudian membonceng motor Imanuel dan memeluknya.
Mereka pun benar-benar pergi meninggalkan kawasan Candi Gedong Songo. Imanuel lalu melajukan motornya ke arah Pasar Bandungan karena di sana ada banyak penjual sate kelinci yang mendirikan lapaknya di sepanjang jalan menuju ke pasar.
Imanuel menghentikan motornya di salah satu lapak kaki lima penjual sate kelinci. Dari asap yang mengepul keluar ke jalanan aroma sedap sate kelinci yang sedang dibakar menggoda perut siapa pun yang melintas.
"Kamu lapar?" tanya Imanuel.
"Makan lagi?" Naina tampak terkejut dengan tawaran Imanuel.
"Iya, kenapa, kamu takut gendut?" tanya Imanuel.
"Enggak, sih," jawab Naina meringis kemudian mengiyakan tawaran Imanuel untuk mencicipi sate kelinci yang dari baunya sudah bisa ditebak rasanya itu.
Tak lupa Imanuel memesan dua porsi sate kelinci untuk dibawa pulang dan diberikan pada orang tua Naina. Setelah puas makan sate kelinci keduanya pun meninggalkan kawasan Bandungan dan kembali pulang.
Selama perjalanan kabut pun selalu mengelilingi keduanya hingga Naina merasa sangat kedinginan. Ia pun mengeratkan pelukannya pada kekasihnya. Imanuel yang merasakan eratnya pelukan Naina pun bertanya, "kamu kedinginan?"
Naina menganggukkan kepala, "iya, di sini dingin sekali,' jawabnya.
"Aku akan cepat, jadi kita bisa segera sampai ke daerah bawah," kata Imanuel.
Naina mengangguk saja menurut pada Imanuel. Mereka pun kembali menempuh perjalanan yang cukup lama untuk bisa pulang.
Setelah lebih dari satu jam perjalanan mereka akhirnya sampai di depan rumah Naina. Kebetulan di saat itu Heru sedang duduk di teras seraya menyeruput secangkir kopi.
Pria paruh baya yang tampak sangat menikmati kopi buatan istrinya itu seketika mimik mukanya berubah seolah ia baru saja meminum kopi terpahit di dunia.
"Baru pulang, Na?" tegur Heru seraya melirik jam di tangannya yang sudah menunjukkan pukul 18.30.
"Iya, bapak, ini sate kelinci buat bapak dan ibu," jawab Naina seraya memberikan bungkusan sate kelinci di tangannya.
Imanuel menghampiri Heru dan hendak mencium tangannya. Pria itu pun dengan rasa dingin memberikan punggung tangannya kemudian menariknya cepat-cepat sebelum Imanuel benar-benar mencium tangannya.
"Sudah, Naina, sekarang kamu masuk dan sholat maghrib, kamu pasti belum sholat kan?" suruh Heru.
"Iya, pak, tapi aku sedang libur sholat," jawab Naina.
"Oh, ketiban bulan?" celetuk Heru yang dibalas senyuman Naina.
"Kalau begitu saya pulang dulu, pak," pamit Imanuel.
"Iya, terima kasih sate kelincinya," jawab Heru tanpa menatap Imanuel.
Naina pun melangkah menuju ke pintu dan Imanuel menuju ke motornya. Sebelum berpisah keduanya saling pandang untuk yang terakhir. Imanuel lalu berkata, "aku harap kamu memikirkan soluso yang aku pikirkan tadi, Na."
Naina tertegun mendengarnya dan hanya bisa menganggukkan kepala. Ia lalu masuk ke dalam rumah disusul Heru yang juga masuk ke dalam rumah lalu menutup pintu.
"Naina, bapak mau bicara sama kamu," ujar Heru yang kemudian duduk di kursi ruang tamu.
Naina tahu apa yang akan dibicarakan Heru padanya, "lain kali saja, ya, pak, Naina capek," dalihnya menghindari Heru yang akan menceramahinya.
"Duduk di sini, kamu jangan menghindar terus kalau ada orang tua mau bicara," suruh Heru tegas seraya menunjuk kursi di seberangnya.
Mau tak mau Naina pun menurut dan duduk menghadap bapaknya. "Iya, pak," gumamnya dengan tertunduk.
"Naina, mau sampai kapan kamu dengan Imanuel?" tanya Heru.
Naina sudah menebak pertanyaan ini. Pertanyaan yang sama yang Heru lontarkan sebelum kecelakaan itu terjadi. Naina pun hanya diam dengan hatinya yang gelisah.
"Kalau kamu yang mengalah dan pindah agama, siapa yang akan mendoakan bapak dan ibu nanti kalau sudah pulang ke rahmatullah?" lanjut Heru.
Di luar Imanuel sebenarnya belum benar-benar pergi dan ia mendengar pembicaraan antara Heru dan Naina.
"Tapi, ini nggak semudah itu, bapak," bantah Naina, "kalau bapak minta aku meninggalkan Imanuel, aku juga nggak tahu apa aku akan tetap baik-baik saja setelahnya atau tidak, aku sangat mencintai Imanuel, bapak," lanjutnya.
"Astaghfirullahaladzim..." Heru mengelus dadanya, "kok ada manusia yang lebih mencintai ciptaan-Nya daripada Sang Penciptanya?" tegurnya.
Imanuel yang mendengar keluhan Heru pun lalu memutuskan pergi. Ia mendorong motornya pelan-pelan agar tak menimbulkan suara. Tampaknya memang tak ada solusi selain kawin lari.