Chereads / Rumpun Rindu / Chapter 6 - Keputusan

Chapter 6 - Keputusan

Setelah kembali lagi ke dalam kamar Imanuel duduk lagi di sisi Naina. Entah kenapa jantung di dalam dada berdebar amat hebat hingga mungkin keduanya bisa saling mendengar debaran itu satu sama lain.

Tak berapa lama makanan dan minuman pesanan Imanuel akhirnya diantarkan. Mereka pun makan berdua di dalam kamar itu dalam keheningan.

Setelah makanan habis kini keduanya duduk beedampingan lagi, canggung. Sama-sama merasakan getaran yang tak wajar itu. Yang kata orang, "lelaki dan perempuan jangan berduaan di tempat sepi karena yang ke-tiga adalah setan."

Ya, mungkin benar saat ini ada banyak jin-jin yang sedang berusaha merubuhkan pertahanan dua sejoli itu. Tak oerlu keduanya. Jika salah satu bentengnya sudah rubuh saja maka yang lain juga akan rubuh.

"Ayo, kita tidur, ini sudah malam," ajak Imanuel kemudian merebahkan diri di ranjang.

Sementara Naina masih terpaku dan tampak ragu. Dia akan berada semalaman dengan kekasihnya. Mana mungkin malam ini akan terlewat begitu saja tanpa sesuatu terjadi di antara mereka.

"Jangan khawatir, Naina, aku tahu batasanku, kamu nggak ingin aku juga nggak ingin, aku nggak mau sesuatu yang buruk menimpa kita dan malah mambuat kita terjebak karena cinta," tutur Imanuel seraya menatap punggung kekasihnya.

Mendengar hal itu agaknya sedikit membuat Naina lega. Ia pun merebahkan diri di samping Imanuel meski masih dengan jantungnya yang berdegup begitu kencang.

Imanuel menarik selimut dan merapatkannya ke tubuh Naina, "pakai selimutnya, nanti kamu kedinginan," ujarnya.

Naina pun tersenyum dan mengucapkan, "terima kasih."

Malam yang dingin itu berlalu begitu saja. Imanuel juga tak menyentuh Naina sedikit pun. Memeluk pun tidak. Itu untuk menjaga agar keduanya tetap aman dalam dinding pelindung yang menjaga agar mereka tak melewati batas.

Saat pagi-pagi buta Naina bangun dari tidurnya karena mendengar ponselnya terus meraung-raung. Bukan karena jam alarm yang berbunyi, melainkan telepon dari orang tuanya yang terus mencari.

Cepat-cepat Naina mematikan ponselnya agar suaranya tidak membangunkan Imanuel yang masih berada di alam mimpi. Ia pun beranjak dari tempat tidur dan meminta mukena pada pengurus hotel untuk bisa segera mendirikan sholat subuh.

Saat Naina melafalkan doa qunut, Imanuel menggeliat dan bangun dari tidurnya. Matanya langsung bertemu Naina yang kemudian bersujud dalam balutan mukena berwarna putih bersih.

Luar biasa cantik perempuan itu. Kerudung yang menutupnya membuat aura kecantikan itu makin terpancar begitu indahnya. Sayang, kecantikan itu tak dapat diraih jemari Imanuel yang biasa menggenggam salib.

Tak lama kemudian Naina pun mengakhiri sholatnya. Matanya langsung menatap Imanuel yang cepat-ceoat membuang muka. "Sudah bangun?" tanyanya.

"Sudah," jawab Imanuel lirih. Ia membuang muka karena takut pertahanannya yang sudah ia jaga semalaman runtuh begitu saja karena melihat rupa yang luar biasa cantik tepat di depan matanya. Ia tak ingin menodai kecantikan yang suci itu.

Naina pun semakin merasa berat jika harus memutuskan hubungannya dengan Imanuel. Semalaman mereka bersama dalam satu kamar dan satu ranjang yang sama. Tetapi tak ada satu pun yang terjadi.

Perempuan mana yang tak akan luluh dengan lelaki seperti Imanuel. Bukan saja tampan dan gagah, ia juga pria yang sangat baik. Bukan anak badung yang akan segan merusak kuncup bunga yang akan mekar. Tetapi ia malah menyiraminya supaya makin terlihat cantik.

Menangis hati Naina. Air mata di dalam sana begitu deras. Berat betul cobaan cintanya. Ia bahkan tak pernah membayangkan sebuah perpisahan meski sejak awal ia tahu bahwa hubungan mereka akan terjalin rumit.

Pagi itu juga mereka meninggalkan penginapan. Tetapi sebelum benar-benar meninggalkan Nglimut, mereka menuju ke kawasan hutan pinus yang letaknya tak jauh dari penginapan. Hanya butuh sekitar 2 menit berjalan saja untuk sampai ke sana.

Kawasan Nglimut masih diselimuti pepohonan yang rindang sehingga udara pun selalu terasa sejuk. Pemandangan hutan pinus yang indah memanjakan mata siapa saja yang memandangnya.

Keduanya pun berjalan sambil bergandengan tangan menikmati pemandangan hijau di sekeliling mereka. Imanuel dan Naina lalu duduk di sebuah bangku kayu yang disediakan.

Naina menyandarkan kepalanya di bahu Imanuel, masih dipenuhi kebimbangan. Sekarang sudah 18 Januari 2016, hari di mana kecelakaan itu terjadi. Bagaimana jika setelah mereka berpisah kecelakaan itu tetap terjadi dan Imanuel... .

Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Naina harus tetap bersama Imanuel untuk memastikan pria itu baik-baik saja. Entah mereka berpisah atau tidak Imanuel harus selamat. Harus.

"Naina, kamu kenapa nggak mau pulang, memangnya bapak nggak mencari kamu?" tanya Imanuel.

Naina tertegun kemudian menatap Imanuel dalam-dalam. "Kalau aku cerita sama kamu, kamu akan percaya?" tanyanya ragu.

"Memangnya apa itu?" Imanuel tampak penasaran.

Naina pun menceritakan tentang mimpi atau petuah atau peringatan apa pun itu yang mengakibatkan ia kembali ke masa lalu.

"Di hari ini, malam ini, kita pergi ke Ambarawa, tapi, kita kecelakaan di Karangjati dan kamu..." dengan deraian air mata Naina menceritakan tragedi itu sampai tak sanggup melanjutkannya.

Imanuel pun menggenggam jemari Naina dan menatapnya dengan lembut, "kamu, meninggal," lanjut Naina. "Kamu meninggal tepat di depan mataku, dan sekarang aku kembali ke masa lalu untuk memperbaiki semuanya," perempuan itu kembali menangis terisak.

"Ssshhhhh...tenang, sayang, itu pasti cuma mimpi," ujar Imanuel seraya memberi pelukan pada kekasihnya.

"Enggak, Imanuel, itu bukan mimpi, kita memang mengalami kecelakaan itu dan sekarang waktu kembali berputar, ini peringatan dari Allah untuk aku, untuk kita," bantah Naina.

Imanuel tercenung seraya menghela napas, "jadi, itu sebabnya kamu nggak mau kita kawin lari?" tanyanya.

"Aku takut, Nuel, aku sangat takut, aku nggak mau itu terjadi, aku nggak mau kamu..." suara Naina tercekat karena tangisnya.

Imanuel memeluk Naina lagi dan membelai punggung Naina dengan lembut. "Baiklah, kalau begitu kita nggak akan kawin lari, kita akan hadapi ini bersama-sama, kita pasti bisa, sayang, kita pasti bisa tetap bersama," katanya penuh keyakinan.

***

Imanuel dan Naina akhirnya meninggalkan kawasan Nglimut yang berada di atas dataran tinggi yang sejuk itu. Tak tahu harus ke mana Imanuel pun bertanya, "kalau kamu masih nggak mau pulang, kamu mau ke mana lagi?"

"Aku juga nggak tahu, Nuel, aku ingin memastikan kamu tetap baik-baik saja, setidaknya sampai hari ini terlewat," jawab Naina.

Imanuel tak tahu lagi harus ke mana. Bermalam dengan Naina di hotel lagi? Tidak mungkin. Dia laki-laki normal. Untuk pertama kalinya mungkin dia berhasil menahan diri. Tapi dia sangat tidak yakin untuk yang kedua kalinya.

"Gimana kalau kamu menginap di rumah teman kamu?" saran Imanuel.

"Itu nggak bisa, bapak pasti juga sudah mencariku ke semua teman-temanku," jawab Naina.

Imanuel tak tahu, Naina juga tak tahu. Keduanya kemudian hanya berputar-putar saja mengelilingi kota hingga bensin habis dua kali karena mereka terus berputar-putar tanpa tujuan. Berhenti hanya untuk istirahat dan mengisi perut yang lapar.

Sampai akhirnya mereka mereka melewati sebuah gereja dengan loncengnya yang berbunyi. Imanuel pun berhenti di gereja itu dan masuk ke dalamnya sementara Naina menunggu di luar.

Naina memandangi punggung kekasihnya yang berjalan lurus seraya menatap patung Yesus di depan sana. Imanuel lalu duduk di salah satu bangku dan tampak berdoa.

Melihat hal itu Naina membalikkan badannya. Mungkin memang ia harus mengakhiri hubungannya dengan Imanuel.