Chereads / Rumpun Rindu / Chapter 4 - Kembali Ke Masa Lalu

Chapter 4 - Kembali Ke Masa Lalu

"Tinggalkan Imanuel, Naina," pinta Heru dengan tatapan serius pada Naina.

Naina tertunduk tak mampu menatap wajah bapaknya. Ia memutuskan untuk masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu rapat-rapat.

Gadis itu berdiri di belakang pintu dan menangis. Ia menangis dalam diam agar bapaknya tak mendengar hatinya yang menjerit-jerit kesakitan.

***

Mengapa, jika seseorang tak berjodoh mereka harus bertemu?

Manusia hanya mengikuti kata hati,

Jika cinta itu bersemi di hati, apakah cinta telah salah memilih sanubari?

***

Naina terbangun dari tidurnya. Ia langsung mendelik dan mencari-cari ponselnya untuk melihat penunjuk waktu yang tertera di layarnya.

16 Januari 2016. Waktu tidak kembali ke tanggal 18 Januari 2016. Naina benar-benar tak mengerti sebenarnya apa yang tengah terjadi. Jika memang itu mimpi kenapa mimpi bisa berlangsung sampai berhari-hari?

Ataukah ini semacam peringatan untuknya? Mungkinkah Allah sedang memberitahu Naina bahwa tidak seharusnya ia lebih mencintai manusia ciptaan Tuhan daripada Tuhannya sendiri. Apakah benar Allah sedang menunjukkan bahwa tidak seharusnya Naina bersama dengan Imanuel?

Tiba-tiba pintu kamar Naina diketuk okeh ibunya, "Na, bangun, sudah waktunya sholat subuh!" serunya.

"Iya, bu, ini aku sudah bangun," jawab Naina yang kemudian membuka pintu. "Bu, sekarang tanggal berapa?" tanyanya.

"16 Januari, kenapa?" jawab Lestari.

"Oh, nggak papa, bu," jawab Naina lirih. Waktu di ponselnya memang tidak salah. Jadi, apa yang salah?

"Sudah, cepat ambil air wudhu, nanti keburu terlambat subuhanya," suruh Lestari.

Naina menganggukkan kepala, "iya, bu," jawabnya patuh kemudian ia pergi ke belakang mengambil air wudhu.

Naina menunaikan salah satu kewajibannya sebagai seorang muslim. Mendirikan sholat dan bersujud kepada Allah SWT. Dalam sholat itu pula Naina memasrahkan semua yang terjadi kepada Sang Pencipta.

Naina bukan orang yang tekun beribadah, bukan gadis alim yang senantiasa menjaga diri dan agamanya dalam balutan kerudung yang sesuai syariat.

Dia orang biasa, tak luput dari dosa. Jangankan memakai kerudung, sholat pun kadang ia tinggalkan karena godaan nikmat dunia yang sementara.

Kali ini Naina benar-benar memasrahkan semuanya pada Allah, Sang Penciptanya. Yang menumbuhkan rasa cinta dihati Naina pada seorang insan berbeda agama.

"Ya, Allah, tunjukkanlah kepadaku mana yang benar dan mana yang salah, jika Engkau tidak meridhoi aku bersamanya, mengapa kau tumbuhkan cinta, tunjukkanlah padaku, aku harus bagaimana, hanya kepada-Mu-lah aku berserah diri dan hanya kepada-Mu-lah aku memohon," Naina menitikkan air mata menghadap Sang Ilahi, meratap atas segala masalah yang menimpa dirinya.

"Ya, Allah, kecelakaan itu..." air mata Naina semakin deras, "jika memang itu pernah terjadi, terima kasih kali ini Engkau memberiku kesempatan kedua, terima kasih aku telah kau ijinkan untuk melihatnya sekali lagi, tapi, sekarang aku harus bagaimana? Betapa berat cobaanmu ini, Ya, Rabb," rintihnya dengan cucuran air mata.

***

Selepas Naina menunaikan sholat ia pun bersiap mandi dan menjalankan aktivitas seperti biasa. Hari ini Naina libur kerja sehingga bila tidak bertemu Imanuel atau teman-temannya dia akan di rumah. Terkadang membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah tangga, terkadang membuat baju pesanan para tetangga.

Naina adalah seorang penjahit yang kini bekerja pada sebuah perusahaan garmen dan menjabat sebagai seorang Operator Qc. Walau begitu terkadang ia menerima pesanan baju dari para tetangganya bila ada waktu luang seperti di hari libur.

Hari ini Naina akan menyelesaikan pesanan sepasang kebaya dan kemeja milik temannya yang akan melangsungkan lamaran besok. Naina pun mengerjakannya sepenuh hati karena yang akan melakukan lamaran adalah Nadia, teman baiknya sejak ia masih duduk di bangku sekolah.

Hanya tinggal menjahit beberapa bagian dan merapikannya sedikit, pesanan kebaya Nadia siap untuk diantarkan ke rumahnya yang tak jauh dari rumah Naina.

Saat menjahit kebaya itu Naina pun teringat akan hubungannya dengan Imanuel. Jangankan melangsungkan lamaran, restu saja masih belum mereka dapatkan.

Tunggu, kenapa Naina menjahit baju Nadia? Saat kecelakaan itu terjadi Nadia sudah... . Apakah Naina benar-benar kembali ke masa lalu. Itu berarti kecelakaan itu... dan Imanuel akan... .

Naina membekap mulutnya setalah menyadari semuanya. Apakah ia akan melihat Imanuel meninggal di depan matanya sekali lagi? Apakah Imanuel benar-benar akan mati?

Tiba-tiba lamunan Naina terpecah oleh suara ketukan pintu. Naina pun langsung menoleh ke arah pintu yang ternyata di sana ada Nadia. "Astaga, Nadia, hampir saja jantungku copot," tegurnya.

Nadia meringis, "maaf, habisnya aku panggil-panggil kamu malah melamun," katanya.

"Masuklah, kalau kamu mau ambil kebaya, sebentar lagi siap," kata Naina.

Nadia pun masuk dan duduk di kursi ruang tamu. Ruang tamu itu cukup luas sehingga bisa muat satu set meja dan kursi ruang tamu, sebuah buffet dan mesin jahit milik Naina.

Tak lama kemudian kebaya dan kemeja pesanan Nadia akhirnya selesai. Saat melihat hasil pekerjaannya yang bagus Naina sangat senang karena hampir tidak ada kesalahan yang ia buat saat membuat sepasang pakaian formal itu.

"Ini dia pakaianmu sudah jadi!" seru Naina seraya memberikan kebaya dan kemeja buatannya.

Nadia tampak puas dengan hasil pekerjaan Naina, "memang nggak salah aku pesan baju denganmu," katanya, "hasilnya bagus dan jahitannya juga rapi, "pujinya.

"Terima kasih," ucap Naina, "duh, senangnya sebentar lagi mau lamaran," godanya.

Nadia tersenyum sipu, "kamu harus segera menyusul," ujarnya.

Naina menghela napas, "mau menyusul bagaimana, kami bahkan tidak mendapat restu," jawabnya.

"Kamu sudah tahu risikonya, kenapa kamu masih juga menjalaninya, kamu harusnya tahu hubunganmu dengan Imanuel tidak akan menemukan masa depan apa lagi kalau kalian tidak mendapat restu karena di antara kalian nggak ada yang bisa mengalah," tegur Nadia.

"Lantas, aku harus gimana, Nadia?" tanya Naina, "apa aku harus mengakhirinya?"

Nadia menatap serius pada sahabatnya itu, "Naina, kalian sudah dewasa, seharusnya kalian tahu mana yang baik dan mana yang benar, sesuatu yang baik tidak akan terasa salah saat dijalani, sekarang pertanyaannya apakah kamu dan Imanuel merasa ada yang salah dengan kalian atau tidak?" tuturnya memberi saran.

Naina menghela napas, "iya, tampaknya memang ada yang di antara kami, kami nggak pernah bisa menemukan solusi," jawabnya lirih.

"Kalau begitu kamu tahu harus gimana, Naina, ini bukan tentang kamu saja, ini juga tentang dua keluarga," ujar Nadia.

Naina hampir menangis dan suaranya tercekat, "tapi, aku nggak bisa, Nadia," rintihnya.

Nadia tersenyum lembut kemudian memeluk dan membelai punggung Naina penuh perhatian, "sekarang mungkin akan terasa sangat berat, Na, tapi manusia selalu berubah dan kamu juga bisa melakukannya, jika kamu melakukan ini demi kebaikan semua orang, suatu saat orang-orang juga akan melakukan kebaikan untuk kamu," tuturnya lembut.

Naina yang menangis berusaha menghentikan air matanya, ia lalu menatap Nadia, "Nad, ada yang ingin aku ceritakan," katanya lalu menceritakan tentang kecelakaan itu, kawin lari dan juga kematian Imanuel secara lengkap. Ia lalu bertanya, "sekarang aku harus gimana, aku takut, Nad, aku takut itu semua akan terulang lagi?"

"Mungkin saja ini memang peringatan dari Allah untuk kamu, Naina, harusnya kamu bersyukur karena Allah memberi kamu kesempatan sekali lagi untuk memperbaiki semuanya," pikir Nadia.

Air mata Naina semakin deras. Tak pernah ia membayangkan kisah cintanya dengan Imanuel harus berakhir. Selama ini tak pernah ada seorang pria yang sebaik pria kristen itu.

"Tinggalkan dia, Na, sebelum kalian saling menyakiti karena hubungan yang tidak memiliki masa depan ini," saran Nadia seraya kembali memeluk Naina.