Chereads / Rumpun Rindu / Chapter 5 - Bimbang

Chapter 5 - Bimbang

Bukankah seluruh alam semesta beserta isinya sudah diatur oleh zat bernama Tuhan?

Jika kita tidak berjodoh, mengapa kita bertemu?

Jika Tuhan hanya satu mengapa kita terlahir berbeda?

Lantas, untuk apa kita dipeetemukan?

***

Naina dilanda kebingungan yang luar biasa. Apa yang dikatakan Nadia menurut Naina ada benarnya juga, buat apa menjalani hubungan yang tidak punya masa depan? Tapi, benarkah Naina dan Imanuel tidak punya masa depan?

Semalaman suntuk Naina tidak bisa tidur memikirkan nasihat Nadia padanya. Hingga fajar telah menyingsing Naina belum juga bisa memejamkan mata. Haruskah ia mengakhiri semuanya?

Adzan subuh pun berkumandang menandakan waktunya umat islam mendirikan sholat. Naina yang sejak semalaman hanya berguling-guling di atas kasur pun beranjak dari tempat tidur dan pergi mengambil air wudhu.

Naina kembali mengadukan nasibnya pada Yang Ilahi. Menangis dan meratapi jalan yang sedang ia lalui. Mengapa harus begini, tidak adakah jalan yang lebih baik selain berpisah?

"Ya, Allah, Ya, Tuhanku, hanya kepadamu hambamu yang bodoh agama ini memohon petunjuk, jika memang dia untukku, satukahlah kami dengan cara yang baik, cara yang tidak akan menyakiti siapa pun, tapi, bila memang kami tidak berjodoh, jangan jadikan perpisahan ini sebagai mala petaka, jika memang harus berpisah selamatkan dia," pinta Naina pada Yang Maha Kuasa.

Hari ini, 17 Januari 2016, Nadia akan melangsungkan acara lamarannya dengan seorang pria bernama Thariq, pria yang sudah dikenal Nadia beberapa bulan yang lalu. Walau masih beberapa bulan saling mengenal dan menjalin hubungan keduanya sama-sama sudah mantap untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius.

Sebagai teman dekat Naina pun turut membantu berlangsungnya acara yang diselenggarakan di rumah Nadia. Di sana Imanuel juga hadir karena sejak berhubungan dengan Naina lambat laun mereka juga saling mengenal. Di tambah lagi kepribadian Imanuel yang menyenangkan dan mudah bergaul membuat siapa saja bisa cepat akrab dengannya.

Entah kenapa saat melihat Imanuel datang tiba-tiba perasaan Naina jadi campur aduk. Dia takut, dia gelisah, sedih, tidak rela melepas Imanuel yang teramat dicintainya.

Keduanya berhadapan cukup lama. Entah kenapa di acara lamaran Nadia membuat keduanya tersadar bahwa sebesar apa pun cinta mereka, tak ada sebuah jalan untuk menyatukan mereka karena sejak awal mereka memang berbeda.

"Nuel, kamu datang lebih awal, mau ikut bantu-bantu juga?" tanya Naina.

"Iya, Nadia kan temanku juga," jawab Imanuel.

"Em, setelah ini kamu mau ke mana?" tanya Naina.

Imanuel menggeleng, "enggak ke mana-mana, kenapa? mau jalan?" tanyanya.

Naina mengaggukkan kepala, "ada yang ingin aku bicarakan," ujarnya.

"Okey," jawab Imanuel dengan perasaan yang tiba-tiba gelisah.

Ruang tamu rumah Nadia akhirnya selesai di dekorasi. Tim dapur juga sudah siap dengan hidangan mereka yang masih hangat. Pun Nadia, sudah berdandan cantik dengan kebaya buatan Naina.

Tak lama kemudian Thariq beserta keluarganya datang dan disambut hangat oleh Nadia dan keluarganya. Acara lamaran pun dimulai.

Selama acara itu berlangsung Naina selalu memandagi Nadia dan Thariq, apa lagi saat mereka bertukar cincin. Tiba-tiba rasa cemburu mencubit pucuk hatinya. Kapan akan ada cincin melingkar di jarinya?

Pandangan Naina akan pasangan yang berbahagia itu teralih oleh Imanuel yang menggenggam jemarinya. "Kamu mau juga?" tanya Imanuel.

Naina ingin juga tapi itu hanya bisa ia katakan dalam hatinya karena ia tahu meski ia ingin tak ada cara untuk mewujudkannya. Ia pun hanya tersenyum simpul pada kekasihnya.

Acara lamaran itu akhirnya selesai. Naina dan Imanuel mengucapkan selamat kepada Nadia dan Thariq atas hubungan mereka yang sudah berlanjut ke jenjang yang lebih serius.

Baik keluarga Nadia maupun keluarga Thariq setuju untuk menggelar acara pernikahan mereka dua bulan lagi. Keduanya pun tampak sudah tak sabar menanti hari itu.

"Cepatlah menyusul," kekeh Nadia seraya menepuk lengan Naina pelan.

"Nad, kamu kan tahu masalahnya," keluh Naina.

"Sabar, nanti kita juga bisa menyusul," sahut Imanuel lembut.

Nadia yang mendengar hal itu pun sejenak menatap Imanuel penuh arti kemudian mengalihkan pandangannya pada Naina lagi. "Terima kasih, ya, kamu selalu membantuku," ucapnya.

Naina tersenyum, "santai saja," jawabnya.

Naina dan Imanuel kemudian pergi meninggalkan rumah Nadia. Keduanya menaiki motor matic milik Imanuel dan menyusuri jalan.

Sepanjang jalan Naina memeluk Imanuel erat-erat dan tanpa mengatakan apa pun. Ia sangat takut dan juga bimbang. Jika memang harus mengakhiri hubungan ini, ia bahkan tidak tahu bagaimana cara melakukannya.

"Na, kita mau ke mana?" tanya Imanuel.

"Ke mana saja yang penting sama kamu," jawab Naina.

"Kok begitu?" tanya Imanuel, "kamu kenapa, apa terjadi sesuatu? Atau kamu bertengkar lagi sama bapak karena kita?"

"Tidak, aku cuma ingin bersamamu, terus bersamamu," kata Naina kamudian matanya berpendar menatapi jalanan yang tampak tak asing di matanya. Itu adalah jalan menuju ke Pantai Tirang.

"Kita ke Pantai Tirang saja," ajak Naina.

Imanuel tersenyum, "kamu ingat tempat itu?" tanyanya.

"Tentu saja, itu tempat kamu bilang cinta padaku," jawab Naina.

"Baiklah, kita ke sana sekarang," kata Imanuel seraya mengarahkan laju motornya menuju ke Pantai Tirang.

Pantai Tirang terletak tersembunyi di belakang sebuah perumahan mewah di Jalan Hanoman. Pantai itu bersebelahan dengan Pantai Marina dan hanya di apit sebuah sungai.

Dari pantai itu terkadang orang bisa melihat pesawat yang terbang dan akan mendarat di Bandara Ahmad Yani dengan sangat jelas. Karena letaknya yang tersembunyi masih sedikit orang yang datang ke pantai itu.

Pasirnya yang hitam masih terbentang luas karena belum begitu termakan abrasi seperti beberapa pantai lain di Kota Semarang. Pantai itulah tempat kali pertama Imanuel menyatakan cintanya pada Naina.

Keduanya kini duduk berdampingan pada sebuah batang kayu lapuk di pasir pantai yang lembut. Naina menyandarkan kepalanya di bahu Imanuel yang kokoh dan nyaman itu.

"Na, solusi yang aku pikirkan bagaimana?" tanya Imanuel.

"Solusi?" Naina menoleh pada Imanuel dan menatapnya serius, "kawin lari?" tanyanya.

Imanuel menganggukkan kepala, "iya," jawabnya.

"Enggak!" tolak Naina cepat.

"Lantas, kita mau bagaimana?" tanya Imanuel.

Naina terdiam, menatap hamparan pasir hitam yang diterpa ombak yang hilir mudik. Kalau solusinya adalah kawin lari apa artinya ia kembali ke masa lalu? Apakah tidak ada cara selain putus dengan Imanuel?

"Aku nggak tahu, Nuel, tapi jangan itu," jawab Naina.

"Na, kita bisa ke Ambarawa, di sana aku ada saudara yang punya masalah seperti kita tapi mereka tetap bisa menikah, barang kali mereka bisa membantu kita," ujar Imanuel.

Naina terkesiap mendengar kata-kata itu. Tidak, ini tidak mungkin, apakah Naina memang tidak bisa merubah atau setidaknya memghindari kecelakaan itu, menghindari kematian Imanuel. Jika ia berniat seperti itu apakah sama saja dengan ia mengubah takdir? Tapi, bukankah ia memang diberi kesempatan untuk mengubahnya?

"Aku butuh waktu untuk memikirkannya," kata Naina.

Imanuel menghela napas, "baiklah," jawabnya kemudian berdiri, "ini sudah hampir malam, ayo," ajaknya seraya mengulurkan tangan.

Naina meletakkan jemarinya pada telapak tangan Imanuel dan mengikutinya menuju ke tempat di mana Imanuel memarkirkan motornya.

Imanuel lalu menyalakan mesin tetapi Naina masih berdiri menatapnya. "Ayo, naik," kata Imanuel.

"Nuel, aku nggak mau pulang."

***

Entah bagaimana mereka kini sampai di Nglimut, sebuah tempat wisata pemandian air panas yang sebenarnya termasuk dalam area Kota Kendal namun letaknya bersebelahan langsung dengan Kota Semarang.

Mereka menyewa satu kamar di sebuah penginapan yang sudah disediakan di tempat itu. Karena letaknya yang berada di dataran tinggi sehingga kabut pun sering kali menyelimuti membawa hawa dingin yang menusuk tulang.

Naina kini duduk di tepi ranjang dan sudah mengganti pakaiannya dengan kaos dan celana panjang yang ia beli tadi di sebuah toko pakaian. Imanuel sedang mandi dengan air hangat yang bersumber dari air belerang yang dialirkan ke penginapan itu.

Tak lama kemudian Imanuel keluar dan sudah memakai pakaian panjangnya. Pria itu kemudian duduk di samping Naina. Tiba-tiba saja suasana menjadi sangat canggung.

"Kamu kedinginan, nggak?" tanya Imanuel, "aku akan pesankan minuman hangat," tawarnya.

Naina hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. Pikirannya sibuk dengan 'di mana dia sekarang'. Dia ada dalam satu kamar hotel dengan pria yang sangat dicintainya dengan dikelilingi hawa dingin yang bahkan sudah nyaris membuat telapak kakinya mati rasa.

Imanuel kemudian pergi memesankan minuman beserta makanan untuknya. Mata Naina pun mengikuti langkah kekasihnya. Mungkinkah malam ini akan menjadi solusi untuk kisah cintanya dengan Imanuel?