Chereads / Darah Terakhir / Chapter 7 - Kabar Kematian

Chapter 7 - Kabar Kematian

TANO yang gagal mengambil dokumen yang merupakan dokumen penting, dia terus menerus frustasi dan marah kepada Sekretaris Yuda serta rekan yang lain. 

Sedangkan Medina, dia sedang berbincang bersama Majhar dan satu pasangan bayaran. Majhar bukan mau menyuruh mereka untuk membunuh siapapun. Tapi untuk menjadi kerabat Medina, dan berpura-pura pergi ke Sekolah Medina, bahwa dia sudah meninggal. 

Walau Medina cukup terkejut kenapa harus memakai alasan dirinya meninggal, tapi itu cara terbaik dari pada bilang bahwa Medina akan pergi ke Jepang seperti ide Medina sendiri. Medina yang bilang akan ke Jepang, hanya akan membuat Tano mengejarnya. Uang dan orang suruhannya bukanlah masalah. Karena bagi Tano, temukan Medina walau hanya kepalanya saja. 

Mendengar hal itu membuat Medina ngeri sendiri. Termasuk  dengan satu pasangan tersebut. Pasangan itu merupakan suami istri yang tak memiliki anak. Majhar menemukan mereka saat Majhar liburan dan bertemu mereka sedang beternak. Lalu saat ditawari hal ini, mereka mau karena ini bukanlah kriminal. Ini hanya membantu orang tak bersalah untuk bersembunyi. Sebelum keluar dan menjadi iblis yang sesungguhnya. 

"Kalau begitu, tolong kerjasamanya," kata Majhar sambil menjabat tangan keduanya. 

"Baik!" 

Pasangan yang akan menjadi kerabatnya Medina itu sedang menyiapkan dialog bersama Majhar, untuk berakting pagi nanti. Mereka akan berpura-pura semestinya. Lalu tak lupa alat perekam suara dan GPS yang menghubungkan mereka. 

Melihat dari CCTV, Tano sedang merancang strategi untuk mencari Medina. Rupanya, Tano cukup ambisi untuk mencari gadis yang akan ganas jika dibiarkan. Sempat membuat Medina takut, tapi Majhar meyakinkannya bahwa Tano tak mampu mengejar mereka. 

Setelah keduanya selesai bersiap,  pasangan tersebut pun naik sebuah mobil hitam menuju Sekolah. Walaupun masih pagi-pagi. Karena Tano akan datang lebih siang untuk mempertanyakan Medina lebih detail. 

Mereka pun sudah sampai Sekolah Medina. Aktingnya sangat bagus walau sangat pemula. Mereka mampu menangis dengan murni. Membuat mata yang merah karena membekas. 

Keduanya datang ke Ruang Kantor Guru, sebelum bel masuk berbunyi. 

Tok! Tok! Tok! 

Laki-laki itu mengetuk pintu. Tak lupa, istrinya memperlihatkan mata yang sembab sembari membuka kacamatanya. 

Semua Guru melihatnya dan mempersilakan masuk dengan sopan. Termasuk, Wali Kelas Medina. 

"Silakan, Pak, Bu. Duduk di sini," kata Wali Kelas Medina itu. "Sedang mencari siapa?" tanya Wali Kelas Medina.

"Saya sedang mencari Wali Kelasnya Medina Lay kelas satu dari jurusan Sains," katanya sambil menahan air matanya pura-pura. 

"Ah, Medina tidak masuk selama satu hari. Apakah kalian orang tuanya?" tanya Wali Kelas itu. 

Pasangan tersebut menangis tersedu-sedu sebelum menjawabnya. Guru Etika bahkan sempat memberikan air putih hangat untuk pasangan tersebut agar lebih tenang. 

"Tidak apa-apa. Bicaralah pelan-pelan," kata Wali Kelas itu. 

"Saya merupakan kerabat Medina. Kami adalah Bibi dan Pamannya Medina. Kemarin malam, ayahnya meninggal dunia," kata wanita tersebut.

Semua orang yang mendengarnya terkejut. Mereka mengetahui Medina dengan betul. Anak yang cerdas dan tak banyak tingkah itu, wajar jika dirinya tidak masuk sekolah karena Ayahnya meninggal. 

"Kami mohon maaf karena tidak mengetahui lebih awal. Lalu bagaimana kondisi Medina sekarang?" tanya Kepala Sekolah yang ikut nimbrung lingkaran itu. 

Pasangan itu kembali menangis. Semua orang yang melihatnya takut bahwa Medina tidak begitu baik. 

"Medina juga meninggal subuh tadi. Kami mengatakan pagi-pagi seperti ini, karena khawatir jika para Guru dan teman-temannya mengkhawatirkan Medina. Kami mohon maaf jika banyak kesalahan, ya, Bu. Tolong doakan keponakan kami," ucap laki-laki itu yang berpura-pura menjadi Pamannya. 

Semua orang terkejut dan tak sedikit yang meneteskan air matanya sedih. Mereka juga mengatakan bahwa Medina merupakan anak yang baik, pintar dan pendiam. Jadi mereka lah yang ingin minta maaf jika Medina masih hidup. 

Kerabat palsu Medina itu pun pamit pulang, dan para Guru pun mengantarkan pasangan itu dengan baik. 

Sampai mereka dalam mobil, mereka berbicara kepada Majhar. "Bagaimana?" tanya wanita tersebut. 

"Bagus. Sekarang, kembalilah ke rumahmu. Aku sudah kirimkan uangnya," kata Majhar. 

"Sayang, aku sangat tak tega berbohong seperti tadi," kata Paman palsu Medina. 

"Aku juga. Tapi Medina harus hidup." 

***

Kring! 

Bel masuk sudah berbunyi. Para Guru masuk ke kelas masing-masing. Namun untuk kelas Medina, Wali Kelasnya menggantikan Guru Fisika karena dia harus menyampaikan sesuatu.

Wali Kelas Medina menyampaikan bahwa Medina sudah meninggal. Di luar dugaannya, hanya anak dengan ekonomi dan kecerdasan biasa yang terkejut dan ikut sedih. Tapi berbeda dengan anak konglomerat lainnya. Mereka tak ambil pusing bahkan tak mendengarkan Wali Kelas tersebut. 

"Ibu, apakah itu penting? Di mana guru Fisika? Kita harus belajar. Ujian sebentar lagi, bukan?" kata gadis yang memiliki peringkat kedua itu. 

Gadis tersebut senang karena saingan satu-satunya sudah meninggal. Kini, kemerdekaan menyelimuti dirinya. 

Wali Kelas itu menghela nafas kasar dan langsung keluar kelas tersebut sambil pamit lalu membuat guru Fisika masuk ke kelasnya. 

Tok! Tok! Tok!

Di luar jadwalnya, Tano datang lebih awal. 

"Ah, tunggu sebentar anak-anak," kata Guru Fisika itu. 

"Maaf, dengan Pak Tano, ya?" tanya Guru Fisika. 

"Iya, benar. Apakah Anda Wali Kelas Medina Lay?" tanya Tano dengan terburu-buru. 

"B-bukan, Pak. Beliau baru saja keluar. Saya akan antar Anda menuju Ruang Guru," katanya sambil mengantarkan Tano. "Tolong tunggu sebentar, ya. Saya akan panggil Wali Kelasnya," ucapnya yang diangguki Tano. 

Tano tidak sendiri. Karena Kepala Sekolah datang menemuinya, begitu mendengar anak pemilik perusahaan terbesar di Negeri ini datang ke Sekolah tak biasa. Mereka juga berbincang-bincang sedikit. Walau yang ditanyakan Tano hanya Medina dan Medina. 

"Pak, ini Wali Kelas Medina," kata Guru Fisika. 

Wali Kelas dan Tano pun memilih tempat yang lebih khusus untuk mereka. Seperti keinginannya, Tano bertanya mengenai Medina. 

"Ah, maaf sekali, Pak. Medina dikabarkan meninggal dunia. Barusan sekitar jam 07:40, kerabatnya datang kemari untuk memberitahu hal tersebut." 

"Ah, begitukah? Hah! Hahaha!" tawanya. 

Wali Kelas itu pun bingung. Kenapa Tano tertawa saat tahu bahwa Medina meninggal. Sempat mengira bahwa dirinya yang membuat Medina meninggal, tapi kenapa harus datang ke sini tanpa memerintah orang lain jika dirinya yang meninggal. 

"Saya mohon doa yang terbaik untuk salah satu anak yang baik dan cerdas di sekolah ini, Pak. Jujur, saya sangat tidak menyangka. Dan kami sangat merasa kehilangan." ucapnya. 

Tano berdiri. "Ya. Ya. Semua orang akan mati. Bu Guru jangan terlalu larut dalam kesedihan, ya," katanya sembari memupuk bahu Wali Kelas Medina itu. 

Wali Kelasnya itu sempat merasa panas dingin dimulai dari Tano tertawa. Entah kenapa, dia semacam memiliki energi yang negatif. Yang membuat Wali Kelas itu, ingin menendangnya jika tak apa-apa. 

"Kalau begitu, saya pamit." 

"Mari saya antarkan, Pak," ajaknya sampai pintu gerbang.