Chereads / Darah Terakhir / Chapter 11 - Trauma

Chapter 11 - Trauma

"Medina!" sentak Majhar karena Medina terus menghindarinya. 

"Hah! Hah! Hah! Ma-maafkan aku," katanya sambil menggigit jarinya. 

Majhar menunduk, mensejajarkan posisinya dengan Medina. "Aku paham kamu trauma, Medina. Tapi kita berusaha untuk tenang, ya. Kita akan balas mereka dengan cara paling kejam, Medina. Dan untuk orang yang akan bernasib sama dengan Papamu, kita tunggu dan lihat, siapa tahu Tano membicarakan orangnya di CCTV. Tenang, ya," kata Majhar lalu memeluk Medina itu. 

"Medina, kamu suka piano, ya?" tanya Majhar sambil mengusap rambut Medina yang sekarang ada di pelukan Majhar. 

Medina mengangguk tanpa bicara. Tapi Majhar terus berusaha mengusap kepalanya pelan dan sangat nyaman.  

"Aku akan membelikanmu Piano. Supaya kamu bisa bermain di Piano jika bosan. Aku sudah melihat penghargaanmu karena bermain Piano. Kamu juga sudah pernah ke Thailand untuk kontes, ya. Kamu menang sebagai juara satu. Aku iri, lho, Medina," katanya sampai membuat Medina mengangkat sudut bibirnya ke atas. 

"Eh? Senyum? Bagus kalau begitu," katanya. 

"Kita kayak adik kakak, deh. Biasanya, aku yang seperti ini sama ayah," katanya tanpa canggung, begitupun Majhar. 

"Hm? Benarkah? Aku Papamu sekarang." 

"Tidak!" 

Majhar ternyata mampu menenangkan Medina dikala gadis itu memiliki serangan trauma yang tiba-tiba. 

"Angkatlah tubuhmu." 

Medina pun mengangkatnya dan sekarang sedang berdiri tegak. Medina benar-benar dibuat kuat oleh Majhar. Dia mengatakannya bahwa Medina bisa melakukannya dengan baik. Dan trauma itu bisa menghilang karena keberanian. Walaupun perlu waktu yang tidak sebentar. Tapi Majhar yakin, Medina bisa melakukannya. 

"Aku mau membeli Piano sekarang." 

"Kamu bercanda? Kenapa harus membeli Piano. Aku harus fokus belajar apa yang disukai Kenzo," katanya. 

"Kamu juga harus mencintai sesuatu yang kamu sukai," jawabnya sambil membawa ransel hitam Majhar. 

"Tapi ini sudah malam," sangkal Medina lagi. 

"Tidak apa-apa. Aku mau mendengarkanmu bermain Piano," ucapnya yang membuat alis Medina terangkat naik satu. 

Tett! 

"Nah, sepertinya Pianomu sudah datang," ucap Majhar sambil berlari ke lantai atas untuk melihat siapa yang menekan bel walau sudah tahu. 

"Dengan Majhar?" 

"Benar. Saya sendiri," katanya. 

Kurir tersebut mengantarkan Piano dengan jenis dan warna yang sudah dijelaskan. Dia pun membawanya ke ruang TV di bagian tengah. Sedangkan Medina, dia tak berhenti berkedip tak percaya tentang apa yang sedang dilihatnya kali ini.  Medina tetap terdiam tanpa kata, dan saat semuanya telah dibuka, Medina melihat penampakan Piano berwarna putih yang dia punya saat di rumah. 

Rasanya, rumah ini perlahan akan seperti rumahnya yang dulu. 

"Kamu menyukainya?" 

"Majhar, kapan kamu menyiapkan ini?" tanya Medina sembari terharu dan sedang mengusap air matanya yang pecah. 

"Aku hanya ingin berterima masih, Medina. Kamu aku berikan tugas yang lebih sulit dari pada aku. Jadi, aku ingin kamu bersantai dengan hobimu saat lelah karena misi kita," ucapnya sambil mengajaknya untuk duduk. 

"Ini misi kita bersama. Tidak ada yang lebih berat ataupun ringan. Hey, Majhar! Aku tidak tahu harus membalasmu dengan apa?!" kata Medina sambil menutup kembali pianonya. 

"Hm? Kenapa ditutup?" tanya Majhar. 

"Karena aku ingin memainkan ini besok. Malam ini cukup melelahkan," jawab Medina. 

"Mau berjalan-jalan?" tanya Majhar yang khawatir melihat Medina sangat berusaha keras. 

"Tidak bisa. Aku akan jalan-jalan setelah aku merubah apa yang harus aku ubah. Jelas, tanpa perlu mengubah yang telah Tuhan ciptakan. Karena aku sudah sangat cantik, haha." 

"Baiklah. Medina yang cantik, tolong untuk menjaga kesehatanmu, ya. Tetaplah seperti ini dan tolong minta apapun dariku," katanya. 

"Oh, ya, Majhar, kamu anak sekolah dan tak punya orang tua, kamu dapat uang dari mana? Kerja sampingan? Aku bahkan tak melihatmu melakukannya."

"Aku dapat warisan yang sangat banyak dari Ibuku." 

"Bukannya itu akan cepat habis? Kenapa membelikan hal-hal seperti ini? Banyak sekali, ya?" tanya Medina dengan serius. 

Majhar mengangguk. "Banget. Sampai perlu kamu untuk menghabiskannya." 

"Ish! Yang benar, dong." 

"Iya, Medina. Aku juga menjalankan usaha pabrik baju. Ada banyak orang yang membantuku. Jadi aku bisa Sekolah.

"Pabrik? Suatu saat aku ingin ke sana." 

"Pabrik LC. Kamu tahu?" 

"LC? Leo Channel maksudmu? Pabrik baju terbesar di Negeri ini? Yang selalu orang luar negeri beli? Bahkan baju tersebut yang selalu dibeli Agensi Idol Kpop untuk MV nya? Hey, jangan bercanda!" 

Majhar pun menggelengkan kepalanya. Lalu, menunjukan foto dirinya bersama idol kpop dan saat dirinya bekerja di hari libur. 

Medina tak bisa menutupkan mulutnya. Dia sangat tercengang. "Se-sejak kapan?" tanya Medina sambil melihat-lihat potret Majhar dengan idol kpop. 

"Sejak Ibuku meninggal. Para karyawan ingin aku yang mengelolanya. Tapi perusahaan itu merupakan perusahaan turun temurun dari kakekku." 

Medina mengangguk-angguk paham. "Kalau begitu, bolehkah aku memiliki satu produk darimu? Tapi nanti, saat tubuhku ramping." 

"Ukuranmu yang sekarang pun ada, kok. Apa, ya? XL?" 

Plak! 

"Jangan dijabarin juga, dong! Pokoknya aku mau yang ini saat tubuhku ramping. Jangan sampai sold out, ya. Produkmu selalu habis cepat. Tidak ada kesempatan untuk manusia biasa sepertiku," kata Medina lalu cemberut. 

"Sekarang aku partnermu. Tidak mungkin kamu tidak akan mendapat produkku. Jangan khawatir, ya," Majhar mengusap kepala Medina lagi. 

Medina sungguh tak percaya. Bagaikan ketimpa tangga, lalu di angkat ke atas awan dan Tuhan memberikan semuanya. Medina sangat beruntung bertemu dengan Majhar. Medina yang awalnya ditolong Majhar saat dikejar kemudian tetap menolongnya saat Tano menyekapnya di sebuah markas. 

Majhar juga menolongnya saat dirinya tak memiliki keluarga. Sehingga, Majhar dan Medina saling melengkapi agar keduanya merasa hangat seperti keluarga. Majhar juga tak berhenti membantunya bahkan memberikan apa yang Medina mau. Walau semua ini terasa berlebihan, setidaknya Medina harus memiliki semua ini sebelum berperang yang sebenarnya. 

"Majhar lapar tidak?" tanya Medina yang berinisiatif akan memasak. 

"Kamu mau masak mie lagi?" 

"Bukan, dong. Aku mau memasak ayam saja. Suka ayam tidak?" tanya Medina kepada Majhar yang sudah berada di dapur lebih dulu. "Ish, dasar orang aneh," sambungnya. 

Majhar pun membantu Medina untuk membuat ayam tepung. Medina mendapatkan resep masak ini dari Zaki. Karena setelah Ibunya lama meninggal, Medina lebih banyak memasak untuk Zaki yang pulangnya lebih larut. 

Bumbu yang penuh rempah-rempah, membuat cita rasa ayam tersebut sangat akan sangat enak. Majhar juga menyiapkan minyak supaya panas terlebih dulu. Dan saat Medina menggoreng ayam, dengan lucunya Majhar memundurkan diri karena takut terciprat minyak. 

"Tenanglah, Majhar. Jangan mendorongku ke depan. Kamu mau wajahku masuk ke minyak ini, hah?!" kata Medina dengan nada yang kesal. 

"Ka-kalau begitu aku siapkan sausnya, ya. Hehe," kata Majhar sambil cengengesan. Mengambil saus yang dituang ke dalam mangkuk kecil. Dari tadi, Majhar selalu itu saja tugasnya. 

Dan setelah ayam tepung pedas siap, mereka pun memakannya bersama, secara lahap.