Chereads / Darah Terakhir / Chapter 12 - Target Tano

Chapter 12 - Target Tano

MATAHARI  sudah mengetuk mata Medina untuk membangunkan dari mimpi buruknya. Buruknya mimpi tersebut adalah momen Medina saat disekap oleh Tano dan rekannya. Tapi di sana, mimpi itu berakhir menakutkan. Papanya memang mati. Tapi Medina mengejar Tano dan keluarganya ke sebuah gunung es. Lalu mengambil taring beruang dengan mudahnya. Dan menancapkan taring tajam itu ke leher masing-masing dari mereka. 

Sehingga, tiap Medina bangun tidur, dia selalu mengeluarkan keringat dan dada yang tiba-tiba sesak juga tubuh yang lelah. Mau bagaimanapun dirinya istirahat yang cukup, Medina selalu bangun dalam keadaan lelah. 

Dan hari ini, Medina terpaksa harus menghadapi hari yang baru yang tak ingin dia lalui, sebenarnya. Tapi Tuhan memaksanya hidup dan bertahan, kepada hidup yang selalu memasukkan dirinya pada kekejaman. 

"Jika semuanya berakhir sesuai rencana kami, apakah aku akan bahagia? Atau tetap hampa? Lalu, Papa dan Mama sedang apa, ya?" gumamnya pada atap langit yang kosong. Tanpa bintang dan harapan seperti di kamarnya dahulu.

Melihat kamar itu, seperti isi dalam hatinya saat ini. Medina pun tidak tahu, jika dia merubah kamar ini seperti kamarnya dahulu, apakah akan tetap sama rasanya? Entahlah, Medina ternyata berhenti berpikir. Karena hari ini Medina harus belajar, olahraga dan melihat perkembangan Tano. 

Pertama-tama, setelah Medina mencuci wajahnya dan kali ini, dia sedang sarapan lalu akan dilanjut dengan olahraga. Sarapannya adalah makanan yang sehat seperti selalu dia makan di rumah. Tapi untuk saat ini,  makan siang dan seterusnya juga tetap yang sehat. Tapi saat Medina tinggal di rumahnya dulu, dia selalu berbohong tentang apa yang dimakannya. Medina Lay, mulai sadar sekarang. Betapa pentingnya menjaga kesehatan. 

"Karena jika bukan aku, siapa lagi. Karena jika aku sakit, siapa yang akan membalaskan dendamku pada Tano. Si pembunuh ketika ada orang yang menghalanginya. Sialan! Tano sialan! Aku akan membuatmu hidup menderita sampai rasanya ingin mati! Aku akan membuat anak tercinta merasakan apa yang aku rasakan! Menderita! Tak tahu tujuan hidup! Tersesat! Apapun itu, kamu harus dan yang lainnya harus merasakannya!" 

Bugh! Bugh! Bugh! 

Medina meninju foto yang menempel pada tembok berwarna merah darah. Kemarahannya membuat Medina kesal dan tak merasakan perih, bahwa darah sudah mengalir banyak dari jari-jarinya. 

Sampai dirinya mulai kelelahan, Medina mulai sadar bahwa tangannya mulai perih. Dia pun berjalan menuju tempat cuci muka. Dia membilas tangan penuh darah itu sambil menatap kaca besar di hadapannya. 

"Papa, apakah saat itu se perih ini? Apakah sesakit ini? Apakah aku perlu melakukan yang lebih dari ini?" Medina berkata pada kaca yang tak muncul seseorang dengan topeng seperti dalam dongeng. 

Medina yang ingin menyakiti dirinya, teringat pesan Papa dan Mamanya dulu. Tentang anak yang ingin menyakiti dirinya disaat terpuruk, Papa dan Mamanya itu selalu melampiaskannya pada olahraga. Jangan lari dari kenyataan. Tapi berlarilah di luar maupun di dalam rumah, sambil membayangkan kalau kamu adalah pemenangnya. 

Medina pun berlari di rumahnya sambil membayangkan dirinya mengejar Tano dan menancapkan taring beruang seperti dalam mimpinya. 

Lalu saat Medina kehilangan keseimbangannya, Medina terjatuh dalam treadmill itu. Sampai membuat kakinya terkilir. Tak terasa, Medina meluapkan kemarahannya pada olahraga sampai siang menuju sore. 

Medina tak sempat belajar apalagi mencoba piano. Dia hanya ingin tidur saat ini. Tapi Medina akan tidur sampai sore. Hal tersebut akan membuat dirinya sakit kepala. Jadi, Medina pun mandi saja untuk menghilangkan kemalasan dan rasa kantuk. Sampai dirinya selesai mandi kemudian mengenakan baju dan berniat ke ruang bawah tanah untuk melihat perkembangan, Majhar mengetuk pintu dan menghampirinya. 

"Sudah melihat ke bawah?" tanya Majhar terburu-buru. 

"Belum. Aku baru selesai mandi," kata Medina mengikuti Majhar yang terburu-buru ke bawah. 

Medina menekan penyadap suara di kantor. Dan melihat CCTV yang tenyata, mereka ada di sana. Walaupun selama satu jam mereka membicarakan pencapaian Tano yang sudah mereka bicarakan berkali-kali sampai membuat Medina dan Majhar bosan mendengarnya. 

Sampai mereka membicarakan hal kemarin, seorang wanita muda yang memberikan pesan ancaman secara spam, Sekertaris Chen dapat menemukannya. Gelak tawa yang di perlihatkan Tano, membuat Medina dan Majhar bergidik ngeri. Tawa Tano yang dibenci mereka karena lebih mirip seperti iblis. 

Mereka membicarakan bahwa saat ini wanita itu akan mereka bantai habis-habisan. Wanita tersebut ternyata merupakan mahasiswa yang sering berdemo jika ada yang dirasa tidak terdapat keadilan di negara ini. 

Wanita tersebut bernama Mulan. Dia tinggal sendiri karena orang tuanya sudah lama meninggal. Dan sama seperti Medina dan Majhar, dia tak memiliki seorangpun kerabat. Sehingga, hal itu membuat Tano tidak merasa merepotkan. Bagaimana tentang Mulan yang akan mengadu, tidak akan ada yang mendengarnya. 

Mereka juga mendengar lalu menuliskan alamat Mulan. Seperti yang mereka katakan, Tano dan antek-anteknya akan membasmi Mulan sampai mati. 

"Majhar, sebaiknya kita kesana sekarang. Sebelum terlambat!" ajak Medina kembali menarik tangan Majhar dengan terburu-buru. 

Majhar dan Medina pun berangkat menuju rumah Mulan. Lokasinya cukup jauh sampai membutuhkan waktu selama empat jam. Karena Mulan tinggal di pedesaan. Mereka berangkat sore dan sampai di sana sudah malam. 

Setelah sampai pada alamat itu, ternyata rumah Mulan terdapat di dalam gang. Sangat tidak bisa jika dilalui menggunakan sepeda motor. Alhasil, mereka pun berjalan kaki di tengah suara jangkrik yang bernyanyi. 

Di pedesaan berbeda. Jam 9 malam mereka sudah menarik selimut dan terlihat tak ada suara dari para rumah. Mungkin karena mereka banyak yang bekerja sebagai Petani sehingga mereka kelelahan di jam seperti ini. 

Sampai Majhar pun sudah menemukan alamat Mulan, dia pun bergegas mengetuk pintu sangat keras. Dan beruntungnya, seseorang membuka pintu tersebut. Dia merupakan Bapak-bapak berkumis yang menggunakan kaos polos dan celana selutut. Sontak, Majhar dan Medina terkejut. 

"Apakah benar ini rumah Mulan?" tanya Majhar untuk memastikan. 

"Mulan? Mulan siapa?! Tidak ada yang namanya Mulan di sini! Kamu ingin mengejekku karena belum punya anak atau bagaimana, hah?!" kata paman berkumis itu yang terlihat ingin memukul Majhar. 

"Ah, maaf. Kami salah alamat, Pak. Permisi," kata Medina. 

"Kebakaran! Kebakaran!" 

Kepulangan mereka terhenti karena mendengar kebakaran. Mereka juga melihat rumah yang melahap api di pedesaan bawah. Dari sini terlihat karena datarannya tinggi. Rumah tersebut bahkan sudah menghabiskan lantai atas sampai menyisakan kerangkanya saja, dan si jago merah tetap rakus jika melahap rumah. 

"Majhar! Ayo, kita ikuti mereka!" kata Medina mengajak Majhar mengikuti rombongan orang yang kompak membawa air. 

Dengan jalan yang kecil, tapi mengharuskan mereka  berjalan sesuai memanjang seperti semut. Kekompakan warga ini patut diacungi jempol. Tapi kerusuhan hanya dilakukan Medina dan Majhar. Hanya mereka yang berlari kesempitan itu. Sampai tak jarang banyak orang yang memarahi mereka. 

"Kasihan sekali, anak Mulan. Semoga dia selamat." 

"Aku mendengar bahwa Mulan ada di dalam saat api itu melahap rumahnya. Semoga dia bisa selamat," kata seorang Ibu-ibu yang lewat. 

"Majhar! Jangan sampai kita telat!"