Chereads / Darah Terakhir / Chapter 8 - Trik Sebuah Dokumen

Chapter 8 - Trik Sebuah Dokumen

SUNGGUH trik yang berhasil. Pasangan tadi sempat menempelkan alat penyadap suara pada Wali Kelas Medina. Dan jelas, lebih cepat dari dugaannya, Medina dan Majhar mendengar percakapan Wali Kelas dengan Tano sendiri. 

Tawa Tano seakan menggambarkan bahwa dirinya sangat senang jika musuhnya mati. "Majhar, kamu benar. Aku harus hidup walau perlu balas dendam. Aku tak terima orang sepertinya dapat hidup dengan baik. Maka dari itu, aku akan melakukan yang lebih jahat darinya," kata Medina meyakinkan Majhar. 

"Jangan kotori tanganmu. Kita bunuh mereka perlahan-lahan, Medina. Mungkin membunuh orang tua kita membuat mereka puas karena langsung mengincar tubuh yang perlu mati. Tapi kita jangan. Kita harus menghancurkan mereka sebelum kematian membawanya." 

"Majhar, apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku harus mulai mengerjakan apa?" tanya Medina penuh semangat. 

"Belajar, makan yang sehat dan berolahragalah, Medina. Itu tugas pertamamu untuk saat ini. Karena kamu perlu kembali satu tahun kemudian untuk menemui Kenzo. Jadilah wanita yang memikat untuknya. Aku sudah beritahu semuanya sejak awal. Jika ada yang kamu butuhkan, katakan sekarang. Besok aku harus sekolah," katanya dengan lembut. 

"Mm. Aku rindu belajar. Aku mau belajar pelajaran kelas dua saja, Majhar. Aku yakin, aku bisa tanpa perlu mempelajari dasar-dasarnya," pintanya dengan serius. 

"Baiklah. Kamu sangat ambisi, Medina. Aku akan membelikan beberapa buku. Mungkin kamu bisa pesan lewat online jika mau. Aku yang akan bayar semuanya. Ah, perlu kamu ingat, semua kebutuhanmu, ada padaku. Jadi,  gunakanlah semaumu," kata Majhar lalu dia berjalan keluar untuk memberi beberapa makanan untuknya dan Medina. Walau rumahnya berbeda, tapi untuk saat ini, Medina tak bisa keluar rumah. 

Majhar pun berjalan menuju supermarket di dekat rumah Medina. Karena jaraknya yang cukup dekat. 

Majhar mengambil troli karena dia akan belanja yang sangat banyak. Dia mulai membeli beras, roti dan selai, buah dan sayur, serta makanan ringan dan kebutuhan Medina juga kebutuhannya. 

Medina juga sudah membuat list sejak tadi, supaya Majhar tak bingung apa yang harus Majhar beli untuknya. 

Majhar kini berada di tempat kebutuhan wanita. Saat Medina menulis pembalut sayap, Majhar cukup geli dan enggan membelinya. Tapi akan sulit jika Medina tak memilikinya. Majhar pun melihat ke segala arah seperti akan  mencuri. Majhar, berhasil membeli pembalut itu dengan banyak. Walau hal ini membuatnya malu setengah mati, tapi Majhar lebih tidak mau jika setiap bulan membeli itu. 

Tadinya, Majhar tak mau membeli secara langsung. Dia ingin Medina saja yang membeli online. Tapi hari ini Medina berada pada tanggal merah, menunggu pesanan datang itu tidak akan secepat Majhar membelinya. 

"Baiklah, Medina. Aku bahkan membeli pembalut ini sebanyak popok bayi. Oke. Oke. Aku tidak akan merepotkanmu sekarang. Karena suatu saat, akan kamu yang sangat sibuk," katanya dalam hati berusaha menenangkan hati. 

Majhar pun menuju kasir dan semua orang terkejut dengan apa yang dia bawa sebanyak itu. Bahan-bahan makanannya maupun kebutuhan rumah kalah dengan pembalut yang memenuhi satu troli. Tak sedikit yang menertawakan laki-laki tampan dengan hidung mancung dan kulit yang cerah itu. 

"Ha-hanya ini saja?" tanya seorang kasir sambil menghitung satu persatu. 

"Ya," jawab Majhar ketus dan malu itu. 

Setelah membayar semua belanjaannya, dia repit sendiri sehingga memesan taxi yang hanya memerlukan 3-4 menit menuju rumah Medina. 

Dan setelah sampai di rumah Medina, Majhar membiasakan mengetuk pintu atau menekan bel untuk membuat percaya Medina, bahwa dirinya tak akan berbuat apa-apa. 

"Wah, hahaha. Belanjaanmu seperti akan pindah rumah, Majhar," katanya sambil menertawakan Majhar yang kerepotan. 

"Ce-cepat. Tolong bantu ambilkan ini," katanya meminta pertolongan.

Medina terkejut saat melihat tiga kresek besar yang isinya hanya pembalut. 

Bhuk! Srakk! 

Barang itu Medina pukulkan pada kepala Majhar dan berakhir berserakan di bawah. Medina pun menunduk untuk mengambilnya. Sedangkan Majhar merasa malu sendiri. Majhar memalingkan wajahnya pelan-pelan. "Ka-kamu saja yang selesaikan ini. Aku akan memasak untukmu di dapur," ujarnya lalu berjalan menuju dapur. 

Medina jelas terkejut sekaligus malu. "Salah dia, sih. Kenapa membeli benda ini sangat banyak. Apakah orang-orang disana menertawakannya? Aish, benar-benar orang aneh," gumamnya dalam hati. 

"Medina! Bantu aku!" teriak Majhar di dalam dapur. 

"I-iya! Tunggu sebentar," kata Medina. 

Medina menyimpan semua kebutuhannya di kamar Majhar yang sekarang milik Medina. Medina melihat-lihat sekilas dan merasa tidak nyaman karena dinding yang gelap membuatnya tak biasa. 

Medina pun menghampiri Majhar yang sedang memasak mie instan. "Maksudmu aku harus membantumu memasak mie? Aku pikir apa! Kamu saja selesaikan sendiri kalau begitu," katanya yang ingin kembali ke ruang CCTV. 

"Eh! Memangnya kamu tidak lapar? Masak sendiri." 

Majhar yang selesai dengan mie berkuah itu, buru-buru memasukkan mie tersebut ke dalam mulutnya sambil berjalan menuju ruang rahasia, yang hanya diketahui Medina dan Majhar. 

"Aish, apakah dia tidak kepanasan? Dasar kayak anak kelaparan saja," batinnya. 

Medina juga selesai dengan memasak ringannya. Memasak mie yang dapat dilakukan banyak orang bahkan anak SMA seperti mereka. 

Medina pun menghampiri Majhar yang serius mendengarkan penyadap dan melihat CCTV itu. 

"Kenapa? Aku mau mendengarnya juga, dong," pintanya dengan paksa. 

Saat Medina mendengar pembicaraan mereka, ternyata Tano berkata kepada rekan termasuk sekertaris Yuda untuk menemukan dokumen yang di miliki Zaki atau Papa Medina sendiri. Bahkan mereka sudah tahu, bahwa Medina sudah meninggal dunia. Tapi mereka masih gigih mencari dokumen tersebut. Sontak, hal ini membuat Medina marah. 

"Cih, bisa-bisanya pria tua itu mencari yang bahkan harusnya tak perlu dia risaukan lagi! Majhar, apa yang harus kita lakukan?" tanya Medina dengan amarah yang menggebu-gebu. 

"Tenanglah, Medina. Makan dulu mie instan itu," jawabnya sambil berpikir. 

"Aku sudah tidak nafsu! Argh!" kata Medina dengan rambut yang diacak. "Majhar, bagaimana kalau Tano mengejar pasangan yang kamu bayar kemarin? Katamu Tano sangat berambisi dalam hal ini, 'kan?" sambung Medina yang mengejutkan Majhar. 

"Aku akan pastikan mereka aman, ayo, sekarang kita buat  dokumen palsu yang ikut terbakar. Kita buat dokumen palsu itu 80% terbakar. Bagaimana, Medina?" ajak Majhar kepada Medina. 

Medina pun menyetujuinya dengan cepat. Kebetulan, Majhar pun memiliki nomor Sekertaris Yuda karena dia tak sengaja masuk mobilnya saat Sekertaris Yuda berada di bar. 

Karena Majhar sudah mendengar bahwa Tano akan bertanya mengenai sesuatu yang ditemukan di TKP kepada Polisi, Majhar, akan menyuruh orang untuk menyamar menjadi tukang Pos lalu datang kepadanya membawa dokumen yang hampir terbakar itu. 

"Baik. Aku juga masih memiliki dokumen aslinya. Majhar, di mana aku harus sembunyikan dokumen itu?" tanya Medina. 

"Yang jelas jangan di kamarmu. Simpan di sini menggunakan brankas." 

Tok! Tok! Tok! Tittt!

Di sela pembicaraan tentang rencana mereka, seseorang menekan bel rumah, yang baru berbunyi selama Majhar tinggal di sini. 

"Aku belum pernah kedatangan tamu. Apakah kamu memesan sesuatu?" tanya Majhar. 

"Aku tidak memesan apapun. Mau aku saja yang cek ke atas?" 

"Tidak. Biar aku saja."

"Baiklah. Hati-hati," ujar Medina yang merasa tak enak hati.