Sehabis sahur. Sambil menunggu adzan subuh di mesjid dekat kosnya, Prolet menyaksikan ekor bintang terjatuh di ujung langit. Sudut mata Prolet mengikuti hingga sinarnya yang redup menghilang di lengkung bumi. Prolet mengira-ngira sejenak. Memainkan skenario di otaknya. Menggelar panggung tentang kehidupan yang penuh misteri. Tak akan pernah terpecahkan selamanya. Rahasia Tuhan adalah rahasia paling rahasia. Tidak ada rumus atau teorema yang sanggup memecahkannya. Meski Einstein dilipatkan tak terhingga jumlahnya.
Adzan Subuh menggema. Menjalari udara dengan lengan-lengannya yang hangat. Merengkuh jiwa yang sedang tertegun maupun manyun. Mendinginkan dengan percik-percik kecil air wudlu. Bertetesan pelan membasahi tempat sujud dengan sepenuhnya penyerahan.
Prolet mengambil tempat di shaf depan. Gendang telinganya begitu damai disuguhi surat-surat pendek yang dibacakan oleh Imam. Dan terus terang, itu membuat otaknya dicegah dari didih saat siang nanti selalu saja siap menggantang.
-----
Masuk kantor. Prolet menyaksikan senyum bertebaran seperti musim bunga sakura tiba. Prolet merasa dadanya menjadi taman seketika. Hari ini sungguh berbeda. Hari ini mungkin adalah hari bunga sedunia.
Prolet semakin merasakan perbedaan itu ketika Tuan Puteri memanggilnya. Mengangsurkan sebuah buku kecil. Judulnya; Bahagia itu Sederhana. Prolet belum sempat membaca siapa pengarangnya. Tidak sempat. Hatinya seperti disiram oleh satu drum madu Apis Dorsata. Prolet takut berkata-kata. Pasti gagap dan terbata-bata. Hanya menganggukkan kepala. Sambil mengirimkan senyum semanis-manisnya. Meski sebenarnya dia tidak yakin apakah Tuan Puteri menganggap itu manis atau cengiran gugup saja.
Sambil duduk di mejanya yang sedikit berantakan. Prolet memperhatikan cover buku kecil itu. Terbelalak seperti melihat sebuah kejutan. Dan memang kejutan. Penulisnya tertulis sungguh ayu. Rara Ratri. Nama asli Tuan Puteri!
Wah, ini sebuah kejutan yang tidak sederhana. Tuan Puteri menulis sajak-sajak begini indah. Prolet seperti masuk ke dalam mekanika fisika yang rumit. Menjadi rumus-rumus gerak dan tata surya. Hatinya bergerak secepat huruf-huruf itu menari-narikan matanya. Rangkaian kalimat yang ditulis Tuan Puteri membawanya ke pusat sistem Galaxy Bima Sakti. Jiwanya terlambung-lambung.
Mengorbit bersama bulan-bulan kecil mengelilingi Jupiter. Menjadi saksi sebuah peristiwa semesta. Bahwa bahagia itu sederhana.
-----
Menjelang sore. Prolet masih merasa dalam suasana yang tidak biasa. Dia sadar harus mendaratkan hatinya dengan selamat. Terlalu tinggi dia terbang. Tidak ada turbulensi. Mesin mendengung tanpa gangguan. Dia harus secepatnya siuman. Cerita pungguk sudah lama usang. Dia tidak ingin memperbarui cerita itu. Dia ingin sekali menjadi bulan. Namun tidak perlu ada pungguk. Itu menyakitkan.
Prolet menyalakan motornya. Petang sudah memberi aba-aba akan datang. Dia akan berbuka di tempat kos. Rencananya cukup matang. Membeli pecel lele di depan gang. Dua bungkus. Dia ingin berbuka bersama seorang anak kecil kurus yang sempat dilihatnya mengepel lantai mesjid tadi pagi. Namanya Udin. Anak sebatangkara yang dijatuhkan oleh langit. Dikirimkan oleh Malaikat untuk merawat mesjid.
Mendekati pintu gerbang. Prolet dikejutkan oleh suara klakson ringan. Menoleh dan lagi-lagi tidak jadi siuman. Tuan Puteri mengangsurkan dua buah kotak makanan. "Buat buka ya..." begitu suara bening dan ayu itu menyapanya. Prolet lupa mengangguk. Lupa bahwa dia harus menahan kata kata. "Te..teri..terima..kasih..Tuan Puteri." Jadilah gagap kembali menguasai lidahnya.
Tuan Puteri pergi. Prolet mengeluh dalam hati. Kapan dia siuman kalau caranya begini. Tuan Puteri selalu menggelitik hati.
-----
Prolet mandi cepat-cepat. Dia ingin segera berbagi buka bersama si Udin. Nasi kotak dari Tuan Puteri kelihatan sempurna. Prolet ingin melihat binar mata bahagia Udin yang sederhana. Ini akan menjadi sebuah kata bahagia baginya.
Prolet setengah berlari ke mesjid. Adzan Magrib mulai berkumandang di mana-mana. Udin tidak ada di mana-mana. Prolet bertanya kemana-mana. Jawabannya sungguh membuat Prolet siuman dan mendaratkan hati di bumi kembali. Kali ini disertai pedih yang menyayati hati. Udin kecelakaan tadi siang. Waktu berdagang asongan. Jenazahnya dibawa keluarganya pulang ke kampung halaman.
Prolet menatap nasi kotak di tangan kanannya. Bahagia itu sama sekali tidak sederhana nyatanya. Puasa pertamanya ternyata berbalada.