Chereads / Prolet / Chapter 18 - Episode-Pemburu Rindu

Chapter 18 - Episode-Pemburu Rindu

"Hiks hiks hiks..." suara lirih tangis memecah kesunyian pagi. Prolet menoleh cepat. Cindy, salah satu teman seruangan kerja menutupi muka. Terisak-isak. Kebetulan pagi ini ruangan masih sepi. Hanya dia dan Cindy yang sudah datang. Prolet ragu-ragu. Haruskah dia mendatangi gadis itu dan mencoba menghiburnya?

Suara isak Cindy makin melemah. Tapi pundaknya semakin berguncang-guncang. Tanda bahwa hatinya sedang sangat terguncang. Prolet berdiri dan menghampiri.

"Cindy, apa ada yang bisa aku bantu untuk meredakan pikiranmu?....mungkin tissue atau sekotak biskuit?" Prolet heran dia bisa selancar ini berbicara dengan perempuan.

Cindy mengangkat muka. Wajahnya sembab. Terkejut melihat Prolet berdiri tepat di depannya dengan wajah takut-takut. Cindy mau tidak mau tersenyum tipis. Pemandangan di depannya lucu. Dia yang sedang sedih tergugu-gugu, malah pemuda di depannya ini yang berwajah begitu pilu.

Melihat Cindy cengar-cengir, Prolet berubah air mukanya. Memerah meski tak kentara. Gadis yang aneh.

"Aku....aku sedang patah hati Prolet. Pemuda yang aku sukai ternyata tidak jelas sikapnya. Aku merasa digantung seperti lampu di langit-langit. Dinyalakan saat dibutuhkan. Dimatikan saat tidak diperlukan."

Prolet menatap Cindy agak lama. Hmmm seorang gadis pemburu rindu dan cinta.

"Kamu yang harus tegas Cindy. Tunjukkan itu dengan bertanya kepadanya. Ya atau tidak. Itu saja. Jika kau terus terusan begini, maka kau akan lelah karena memburu rindu."

----

Prolet setengah berlari menuju kantornya. Dia hampir terlambat. Saking terburu-burunya, hampir saja Prolet bertabrakan dengan seorang bapak perlente yang tengah berjalan menunduk menuju Musholla.

Prolet harus memegangi si bapak agar tidak terjatuh. Tergopoh-gopoh Prolet meminta maaf kepada si Bapak. Pria itu hanya mengangguk-angguk lemah. Sama sekali tidak marah.

"Bapak tidak apa-apa?...maaf ya pak? Apakah bapak sakit? Ada yang bisa saya bantu?"

Prolet menembakkan banyak pertanyaan karena dilihatnya si bapak sedang benar-benar lemah dan nampak sekali tidak berdaya. Pria gagah dan rapi itu memandang Prolet sekilas. Menghela nafas panjang sekali. Seolah berusaha melepaskan sesuatu yang menghimpit dadanya. Dilambainya Prolet. Mengajaknya duduk di trotoar jalan. Memberi isyarat melalui pandang matanya ke arah selokan yang mengalir tersendat karena banyaknya sampah dan kotoran.

"Kau lihat nak. Air selokan yang mengalir. Begitu lambat melewati banyak sampah dan kotoran. Tubuhnya berbau. Warnanya tidak jelas. Apakah coklat atau abu abu. Padahal dia sedang menuju ke muara laut tempat persinggahan terakhirnya sebelum menguap dan ikut menjadi bagian dari hujan."

Pria itu mengambil nafas panjang berulang-ulang sebelum akhirnya melanjutkan.

"Carilah namaku di koran, majalah atau media internet lainnya. Anton Baramuli. Pasti kau akan temukan betapa terkenalnya aku. Betapa kayanya aku. Betapa beruntungnya aku. Betapa bahagianya aku. Tapi tidak nak! Tidak! Aku sama persis seperti air selokan itu. Dalam perjalanan menuju keabadian kelak, tubuhku bergelimang kebusukan., hatiku sering membaui keburukan. Aku rindu nak. Uang berlimpah ternyata tidak membuatku tenang. Menjadi orang terkenal membuatku semakin gelisah. Keluargaku bahagia, aku ikut bahagia. Tapi aku harus memastikan itu bahagia yang sebenarnya. Bukan sekedar bahagia dunia. Aku rindu nak...rindu segera mencapai muara. Namun dalam perjalanan tidak lagi melewati kebusukan dan kekotoran."

Prolet sedari tadi hanya bisa terdiam. Bapak kaya yang sedang duduk di trotoar bersamanya ini seorang pemburu rindu. Rindu kepada kasih Tuhan.

----

Hari ini Prolet bertemu dengan dua orang pemburu rindu. Meski dengan makna dan tujuan yang berbeda. Cinta manusia dan kasih Tuhan. Prolet merasa ada yang masih kurang dari hari ini. Dia mempunyai firasat akan bertemu dengan pemburu rindu ketiga.

Hampir pukul lima. Prolet sudah bersiap-siap untuk pulang. Titt..titt..tittt. Suara ponselnya berbunyi pelan. Hmmm ada pesan baru masuk. Dia sudah mau pulang. Namun Prolet tergoda untuk segera membukanya. Siapa tahu Tuan Puteri salah makan lalu mengirimkan kata-kata cinta. Hah! Ngigau! Prolet memaki pikirannya sendiri.

Dengan santai Prolet membuka layar hapenya. Aahh teman-temannya di grup mengirimkan sebuah tautan. Biasanya Prolet akan mengabaikan yang macam begini. Tapi entah bagaimana ceritanya, dia sudah membuka tautan itu dan menyaksikan seorang kakek mengenakan seragam legiun veteran, membaca sebuah surat dengan suara bergetar dan tangan gemetar.

"Nama saya Mbah Diro. Saya veteran perang Belanda, perang Nippon dan perang kemerdekaan. Saya menulis dan membaca surat ini karena saya takut mati dalam keadaan kecewa. Saya tidak mau menjadi hantu penasaran dan gentayangan. Biarlah saya bacakan di sini sebagai warisan untuk kalian. Para generasi bangsa.....

Saya berbicara atas nama bendera kita. Sekarang Sang Saka hanya menjadi simbol kelengkapan upacara. Banyak orang tidak tahu merahnya itu sebenarnya apa dan putihnya untuk siapa. Saya berbicara atas nama lagu kebangsaan kita. Dulu lagu itu membuat tegaknya airmata, membuat banjir darah seperti bukan apa apa, membangkitkan semangat luar biasa. Sekarang lagu itu sebatas cinderamata bagi seremoni-seremoni belaka....

Saya Mbah Diro. Saya dulu masih muda dan rela mati bagi berdirinya negara ini. Sekarang saya sudah renta dan mendekati mati, tapi tetap rela mati bagi negara ini....saya bahkan merindukan mati bagi tetap tegaknya negara ini..."

Prolet mengusap dua titik kecil airmata yang melompat dari sudut matanya. Inilah rupanya pemburu rindu ketiga hari ini!