"Setelah kupikir-pikir, ini bukan salahmu. Hanya saja kita memiliki kepribadian yang berbeda." Mata Minchae masih terpaku memandangi daun pintu yang tertutup di seberang sana, sembari ia membayangkan apa yang tengah dilakukan pria yang ada di balik pintu tersebut.
Seharusnya Minchae tidak merasa sedih akan kehampaan yang ia rasakan di dalam pernikahan palsunya. Sudah berkali-kali ia mengingatkan diri sendiri bahwa pernikahan ini hanya diatas kertas dan dalam beberapa tahun akan segera berahir. Namun entah mengapa setiap hari Minchae selalu merenungi hal yang sama dimana ia sangat merasa kesepian.
Rumah yang ia tinggali, sama sekali tidak terasa nyaman sekalipun berkali-kali lebih mewah dari rumahnya dulu. Begitupula dengan Seojun, ia sama sekali bukanlah sosok yang bisa menjadi tempat teraman dan nyaman bagi Minchae. Sekalipun hanya pernikahan kontrak, memangnya Minchae harus merasakan kesesakan seperti ini dengan teman serumah nya.
Rasanya Minchae ingin segera mempercepat perpisahan mereka, waktu 2 tahun terlalu lama baginya.
Biar kuberi tahu isi perjanjian kontrak mereka berdua. Minchae setuju menikah dengan Seojun karena pria itu ingin menyelamatkan dirinya dari kekejaman nyonya Myunghe. Sedangkan Seojun diharuskan untuk segera menikah, lalu ia memilih Minchae sebagai gadis yang akan ia nikahi.
Jadi begitulah dua orang saling membantu satu sama lain, yang juga di sebut sebagai Simbiosis Mutualisme. Minchae tidak sepenuhnya dirugikan juga tidak sepenuhnya di untungkan setelah menikah dengan Seojun, toh pria itu sudah baik mau membantunya dari kekerasan fisik maupun verbal yang sering ia dapatkan dari nyonya Myunghe.
Selama ini Minchae tidak pernah meminta apapun pada Seojun, ia menjadi sosok pendiam juga penurut dalam pernikahan mereka. Tapi untuk pertama kalinya Minchae akan meminta satu hal yang mungkin juga akan menjadi permintaan terahir kalinya.
Ia akan bernegosiasi, mengajukan waktu perpisahan mereka menjadi lebih cepat dari waktu yang telah di tentukan oleh keduanya. Dengan menguatkan hati dan mempertebal muka, ia akan menyampaikan permintaannya itu dalam beberapa hari.
Melepaskan genggaman tangan seseorang yang dari awal tidak memberikan sebuah kehangatan pasti akan mudah. Meskipun begitu Minchae sudah memikirkan hal ini matang-matang, bukan hanya sehari dua hari ia bergelut dengan pikirannya demi menentukan pilihan yang tepat antara pisah lebih cepat atau hidup sesak dalam waktu yang lebih lama.
Pada akhirnya ia memberanikan diri untuk melepaskan genggaman itu, lagipula Seojun dulu pernah menyebutkan jika ada sesuatu yang ingin di bicarakan mengenai kontrak pernikahan mereka ia akan berpikiran secara terbuka dan akan mencoba memikirkan apapun usulan dari Minchae.
Jadi tidak ada salahnya jika sekarang Minchae memberanikan diri untuk berpisah darinya lebih awal, toh pada akhirnya mereka juga tetap akan berpisah suatu hari nanti ketika kontrak telah usai. "Maafkan aku Seojun. Bukan nya aku tidak profesional, tapi aku juga ingin bahagia." bisik Minchae dengan suara parau, suasana di sekitarnya menjadi melankolis hingga air mata hampir menetes dari kedua ujung matanya.
"Tidak apa-apa Minchae, tidak apa-apa." ucapnya untuk menenangkan diri sendiri.
"Hufhh.. jangan menangis. Aku kan tidak memiliki perasaan apapun pada Seojun. Aku tidak cinta pada nya, jadi aku tidak boleh menangis."
^^
"Masalahnya bagaimana caranya aku memulai pembicaraan ini?" Minchae memegang janggutnya sendiri, berjalan mondar-mandir di depan ranjang nya. Masih memikirkan keputusan tersulit dalam hidupnya, ia sudah menghabiskan dua jam lebih berdiri seperti seperti sekarang ini.
Seakan ia lupa beberapa jam yang lalu telah mengeluh berkali-kali karena ingin segera istirahat ketika sedang menyelesaikan tugas kuliahnya. "Oke sekarang aku menyadari bahwa kakiku benar-benar lelah. Aku akan sedikit melunak dan duduk di ujung ranjang."
Setelah berhasil mendaratkan bokongnya pada medan yang empuk ia malah mematung beberapa saat. "Kenapa kasur ini nyaman sekali. Apa apa aku tidur saja dan memikirkan hal ini besok lagi?" tangan nya meraba-raba kasur yang tengah ia duduki, entah duduk disini pilihan yang benar atau salah yang pasti tenaganya seperti terkuras banyak dan menjadi sangat lemah hingga rasanya ia ingin merebahkan dirinya saat ini juga.
"Mari kita lihat pukul berapa sekarang." jam dinding yang terpampang diatas sana sangat aneh, tidak mungkin malam-malam begini jam masih menunjukkan pukul 4,yang benar saja. Ternyata baterai nya habis sejak sore tadi dan Minchae lupa belum menggantinya, alhasil ia segera merogoh saku piyama yang ia kenakan demi menemukan benda pipih yang bisa menunjuk kan waktu yang tepat untuk nya.
"Pantas saja aku lelah dan mengantuk, sekarang ini sudah tengah malam." pekik Minchae ketika ponsel miliknya menunjukkan pukul 01.20 malam hari. Ia sampai merutuki dirinya sendiri karena tidak segera tidur sejak tugasnya selesai tadi, tapi menarik kembali kata-katanya karena ingat alasan yang membuatnya begadang sampsi sekarang bukanlah hal yang sepele.
***
Suara gemericik air terdengar dari arah dapur, disana Seojun sedang mencuci gelas bekas kopi yang telah habis ia minum tadi. Ia merasa kopi hari ini tidak begitu berhasil karena rasanya kurang nikmat, sepertinya ia harus mempelajari lagi cara membuat kopi yang benar lain kali.
Minchae baru saja memasuki dapur dan berdiri di dekat kulkas dan hanya memandangi punggung Seojun yang sedang sibuk dengan cucian nya. Tidak memanggil namanya dan juga tidak mengucapkan sepatah katapun sehingga Seojun terkejut hingga tubuhnya sedikit terlonjak ketika baru saja membalik kan badan lalu menemukan istrinya tengah berdiri mematung melihat kearah dirinya, tatapan nya sedikit aneh ia tak bisa membaca ekspresi apa yang tertulis di wajah itu.
"Ada apa?"
"Ee.."
*Aduuh bagaimana aku mengatakan nya.*
Minchae menggaruk rambut kepalanya yang tidak gatal sambil berpikir keras akan menjawab apa.
Sedangkan Seojun dengan tatapan tenang nya tetap menunggu Minchae mengutarakan sesuatu yang sepertinya memang ingin di sampaikan padanya.
"Begini.. Apakah kau ada waktu untuk bicara?" ahirnya kalimat itulah yang keluar, mungkin kalian tidak tau tapi keringat hampir bercucuran deras dari balik bajunya. Entah kenapa hanya mengatakan bener kata itu ia sudah se gugup ini, belum saja ia mengatakan hal yang lebih horor dari ini yaitu inti dari topik yang ingin ia bahas dengan Seojun, suaminya.
*Tuhan tolong selamatkan aku dari kegugupan, aku harus bisa mengatakan semuanya seperti yang sudah ku persiapan.* batin Minchae yang tidak lupa berdoa agar tidak kalah sebelum berperang. Takutnya ia merasa terlalu takut untuk mengatakan nya sehingga mengurungkan niat dan mengalihkan pembicaraan pada hal lain.
"Tentu saja." jawab Seojun tetap dengan muka datar dan tenang khas miliknya, berbanding terbalik dengan Minchae yang sudah kelabakan sendiri. Tangan nya meremat-remat ujung baju yang ia kenakan sembari berjalan mengikuti Seojun dari belakang yang sudah lebih dulu berjalan menuju ruang tamu.