Tak ingin mendramatisir sesuatu yang jarang terjadi ini, Minchae melanjutkan langkahnya berjalan menuju ruang tamu melewati Seojun yang pandangan nya tak lepas padanya. "Astaga, dia ini kenapa? apa dia kerasukan sesuatu, bertindaklah seperti biasanya. Bikin merinding saja." ucap Minchae yang tentu saja dengan intonasi rendah alias berbisik karena bisa gawat jika Seojun mendengar ocehan nya barusan.
"Padahal kau bisa tetap tinggal disini selama beberapa waktu. Kau juga perlu waktu bukan untuk mencari tempat tinggal?" percikan api seperti baru saja mengenai daa Minchae. Padahal Seojun tidak benar-benar menahan nya untuk tinggal. Padahal Seojun hanya mengucapkan beberapa patah kata, tapi hatinya tiba-tiba hampir goyah.
Tapi tentu saja, meskipun Seojun bersikeras akan menahan nya agar tidak pergi, ia tetap akan melanjutkan sesuai yang ia rencanakan. Ini adalah waktu emas, dimana ia akhirnya berhasil membawa tali hubungan mereka ke dekat gunting pemisah alias mereka akan segera bercerai. Sekalipun Seojun tiba-tiba mengungkapkan perasaan cintanya, yang bagi Minchae itu mustahil terjadi, Minchae tidak akan berubah pikiran.
"Tidak apa-apa, aku sudah menemukan tempat untuk ku tinggali. Kau ingatkan aku bilang sudah memikirkan hal ini matang-matang dari jauh-jauh hari. Jadi tentunya untuk tempat tinggal aku sudah menyiapkan nya." Minchae menggenggam erat kopernya, menunjuk bahwa ia sangat teguh pendirian dan benar-benar akan pergi hari ini juga.
"Baiklah kalau kau bersikeras."
"Seojun."
Seojun mengangkat wajahnya ketika namanya diapnggil. Lalu mengubah pandangan nya ke jari jemari Minchae, dimana gadis itu tengah berusaha melepas tanda sakral yang dipercaya orang-orang sebagai sebuah tanda ikatan pernikahan. "Ini.Aku tidak tau harus melakukan apa pada benda ini, jadi kurasa kuberikan padamu saja." Sambil meletakkan cincin berlian yang selama ini tak pernah lepas dari jemari kanan nya.
Rasanya aneh ketika hari seperti datang, rasanya Minchae sudah menganggap cincin itu sebagian dari tubuhnya karena saking tidak pernah nya ia lepas. "Kau simpan saja," Seojun turut menimpali, ia hanya menatap tangan Minchae yang sedang menunggu tangan nya menerima. "Kita tidak tau kapan akan membutuhkan cincin itu."
"Benar juga. Aku masih harus memakainya ketika bertemu dengan ibu mertua atau kerabat lain nya." Lirih Minchae yang kembali menarik tangan nya sendiri. Alih-alih kembali memakainya, Minchae malah memasuk kan cincin itu kedalam tas selempang nya. Setidak mau itu, ia berhubungan lagi dengan Seojun.
"Aku tidak akan bilang apapun pada mereka mengenai ini. Aku akan menyiarkan ketika pengadilan sudah menyetujui perceraian kita." ujar Seojun, ia berjalan pergi meninggalkan Minchae begitu saja ke arah belakang. Tanpa ingin mengantar atau mengawasi kepergian Minchae untuk terahir kalinya.
Disini seperti Minchae yang ditinggal pergi, padahal jelas-jelas ia sudah menyiapkan segala barang-barang miliknya sedangkan Seojun hanya m makai piyama dengan kancing baju yang compang-camping. Tidak masalah, Minchae sendiri tidak berharap dirinya diantar hingga ke depan rumah atau sekedar mencarikan taxi untuk nya. Sedikit berpositif thinking bahwa Seojun harus segera bersiap-siap untuk pergi bekerja.
Tanpa sadar Minchae kembali mengeratkan tangan nya pada pegangan koper miliknya. Entah mengapa hanya tinggal berjalan keluar saja hatinya terasa berat, tidak tau alasan apa yang masih mengganggunya untuk tidak meninggalkan rumah ini.
"Aku pergi."
"Dasar tidak sopan. Harusnya dia menungguku keluar dulu baru ia kembali masuk ke dalam kamarnya, meskipun sedang tergesa-gesa akan terlambat bekerja setidaknya ini hari terahir kita tinggal bersama," Minchae menahan ocehan nya yang sudah kelewat panjang selama beberapa detik, "Sebagai rekan bisnis selama 2 tahun." begitulah ia melanjutkan kalimat nya.
"Dasar pria dingin, sombong, tidak punya hati."
Selain perasaan was-was, Minchae juga merasa lega karena pada akhirnya ia berhasil melontarkan uneg-uneg nya yang selama ini harus selalu ia tahan. Meskipun mengucapkan kata-kata frontal tadi secara gamblang, ia tetap tidak berani mengatakan nya ketika Seojun masih berhadap-hadapan dengan nya secara langsung.
Memalukan, karena Minchae tidak berani mengutuk Seojun secara langsung. Kini kakinya melangkah dengan berat keluar rumah sambil sesekali menoleh ke belakang barangkali Seojun berubah pikiran dan menyingkirkan sikap acuhnya untuk sehari saja. Tapi yang namanya dingin hingga ke organ dalamnya, Minchae cukup tau diri bahwa Seojun tak akan membuang waktu nya hanya untuk mengantarkan Minchae sampai depan atau bahkan menghentikan taxi meskipun itu tandanya Seojun harus terlambat menuju kantor.
Setelah benar-benar sampai di depan gerbang dan tak ada barang hidung Seojun yang nampak, Minchae semakin percaya bahwa keputusan nya berpisah memanglah hal terbaik. "Aku bisa cari taxi sendiri, kau juga tidak perlu repot-repot membawakan koper ku yang berat ini. Dasar psikopat!!" teriak Minchae sesaat setelah ia berhasil menghentikan mobil taxi untuk dirinya sendiri.
***
Cermin kamar mandi polos, tempat Minchae bercermin ketika membasuh wajahnya di wastafel, begitu juga ketika ia menggosok gigi. Meskipun kebanyakan ia m nggosok giginya sambil melakukan banyak hal, seperti menunggu air yang ia masak mendidih, nonton TV, dan masih banyak lagi.
Sedihnya beberapa waktu lalu Minchae tidak sengaja memecahkan cermin tersebut sehingga kali ini ia tak bisa membasuh muka sembari mengoreksi apakah kotoran matanya sudah hilang sempurna atau belum.
Sudah 1 bulan sejak Minchae keluar dari rumah Seojun dan menyewa apartemen kecil yang lumayan cukup untuk diringgali 1 orang saja. Karena Minchae keluar dari rumah Seojun jadi ia harus mengais uang untuk membayar bulanan apartemen tempat ia menyewa. Untung saja perpustakaan kampus sedang membuka lowongan kerja untuk mahasiswa, meskipun upahnya tidak seberapa tapi itu masih cukup untuk sekedar membayar uang sewa dan uang saku untuk nya.
Ditambah hari senin sampai hari rabu ia mendapatkan kesempatan bekerja sebagai barista yang tempat nya tidak jauh juga dari kampusnya. Sepertinya hidup Minchae tidak benar-benar sial karena disaat ia sudah tak lagu mendapatkan pemasukan dari sang suami kontrak nya, beberapa pekerjaan paruh waktu menunjuk diri padanya.
Oh, maksudnya bukan tidak membiayai Minchae sama sekali. Awalnya Minchae menolak ketika Seojun ingin tetap memberikan uang saku untuk nya dan juga membiayai pendidikan nya. Tapi Seojun bersikeras sehingga Minchae memilih untuk mengalah dan memberikan Seojun kesempatan untuk membayar biaya kuliahnya.
Tentu saja pernikahan mereka belum benar-benar usai, karena entah sampai sekarang Minchae belum mendengar perkembangan surat perceraian nya di pengadilan. Apakah Seojun lupa menyerahkan surat pengajuan itu atau karena pengadilan sedang sangat sibuk dengan banyak kasus, yang pasti Minchae tetap menunggu perkembangan perceraian nya.
Karena seumur hidup ia belum pernah bercerai, jadi ia tidak tau berapa lama seharusnya menunggu proses perceraian mereka disetujui. Bahkan menikah saja tidak benar-benar menikah. Meskipun hanya pernikahan kontrak, tapi semua keluarga tentu harus menyaksikan acara pernikahan dan juga dokumen pernikahan mereka. Jadi bisa intinya Seojun dan Minchae seperti benar-benar menikah bak orang pada umumnya bahkan dengan proses yang sama, namun mereka berdua lah yang menyisihkan perjanjian yang tak diketahui oleh anggota keluarga manapun selain mereka sendiri.