"Apa kau tetap tidak mau mengubah keputusan mu?"
Kalimat yang sama dari satu minggu yang lalu kembali Minchae dengar. Sejenak pandangan Minchae menangkap pintu kamar Seojun yang tertutup rapat. Kepalanya terasa berat hingga ia menunduk untuk beberapa saat. Ia memikirkan jawaban yang bisa membuat jawaban bertele-tele Seojun berhenti, mau sampai kapan ia mendapat jawaban yang sama.
"Sebenarnya kenapa kau mengulur-ulur waktu seperti ini, Kim Seojun?" jedanya tanpa sadar melipat bibirnya sejenak, ia lalu menunjuk kamar Seojun di belakang pemiliknya dengan telunjuk tangan.
"Aku tau, tidak mungkin kau akan mengatakan perihal cinta. Bahkan kau membuat larangan untuk ku agar tidak masuk ke kamar mu."
Apakah sesulit itu mengatakan iya. Haruskah Seojun se bingung itu dengan perpisahan yang Minchae inginkan? memang disini Minchae lah yang telah melanggar kontrak dengan mengajukan waktu perpisahan mereka, tapi bukankah perpisahan ini bagus untuk Seojun juga?
Pria itu bisa segera terbebas dari gadis yang mungkin membebani nya selama ini, Minchae tidak pernah merasa menguntungkan untuk kehidupan Seojun selain status pernikahan mereka. Sedangkan Minchae sudah cukup menerima bantuan dari Seojun, kehidupan yang terlampau layak dan juga menjauhkan dirinya dari keluarga nyonya Myunghe yang selalu merendahkan nya.
Minchae merasa ia hanyalah sebuah tanaman benalu bagi kehidupan Seojun yang berharga. Pria sehebat itu harus menahan sesak yang sama seperti yang dirasakan oleh Minchae, sebab harus hidup bersama tanpa sebuah ikatan cinta.
Alasan Minchae ingin segera berpisah bukan hanya demi dirinya sendiri, melainkan demi kehidupan Seojun juga. Jika ia masih bertahan hingga beberapa tahun lagi, ia rasa dirinya akan kewalahan menahan rasa malu terhadap dirinya sendiri karena menjadi parasit di kehidupan orang lain.
Tentu saja Minchae tidak benar-benar tau isi hati dan pikiran Seojun seperti apa mengenai dirinya, apakah merasa muak, benci, atau berbagai hal negatif lain nya. Barangkali Seojun tidak merasakan semua hal negatif tersebut, itu tentu menjadi sebuah penghormatan bagi Minchae yang telah diberi tumpangan di rumahnya.
***
"Apa lagi yang perlu ku bawa." pandangan Minchae mengitari seluruh ruang kamarnya. Sesekali mengerutkan dahi layaknya orang yang sedang berpikir keras. Di tangan nya terdapat dua boneka kesayangan miliknya yang akan ia masuk kan ke dalam koper hitam miliknya, meskipun terlihat benda kotak besar itu sudah terlalu banyak muatan. Minchae juga tidak yakin koper itu masih menyisakan tempat atau tidak untuk boneka-bonekanya.
"Baju ini, piyama, celana jeans. Oh, ini benar milik ku? kenapa aku tidak ingat kapan saat membelinya?" tanya Minchae pada dirinya sendiri saat kebingungan ketika melihat dress merah muda yang sangat manis, ia tidak ingat kapan membelinya bahkan memakainya pun belum pernah. "Apa Seojun yang memberikan nya untuk ku?"
Karena tidak ingin membuang terlalu banyak waktu, Minchae melepaskan genggaman nya pada dress cantik itu setelah meletak kan nya kembali ke dalam lemari pakaian. Sesaat setelah ia melangkah, matanya bergetar ingin menatap kembali dress yang baru saja mengacaukan perasaan nya. Tanpa sadar, Minchae meremas tangan nya hingga buku jarinya memutih, perasaan nya sedang tidak baik-baik saja.
Kenapa disaat-saat terahir seperti ini hatinya menjadi goyah, rasanya ia tak lagi bersemangat seperti setengah jam yang lalu ketika mulai mengemasi barang-barang miliknya. Ya! Minchae akan pergi dari rumah ini, bukan karena diusir atau tengah bertengkar dengan Seojun. Tapi karena ahirnya Seojun setuju untuk mempercepat perpisahan mereka, lagipupa sejak awal mereka berdua tidak pernah akur meskipun tidak pernah juga bertengkar.
Seiring Minchae mendongak dan mengedip dengan cepat agar air matanya tak jadi turun, ia menepuk-nepuk dadanya sendiri dengan kepalan tangan berharap itu bisa menguatkan dirinya. Untuk ukuran orang yang tinggal bersama dan menjalani hidup mereka secara beriringan, tentu saja tidak mudah ketika akhirnya akan berpisah dan memutus hubungan yang dari awal memang sebatas bisnis.
Sayangnya air mata yang berusaha keras Minchae tahan, tak lagi terbendung dan merembes jatuh menyusuri pipi nya. Minchae tidak yakin dengan yang ia rasakan saat ini, padahal ia yang bersikeras untuk segera mengakhiri ini semua namun saat keinginan nya sudah terkabul di depan mata langkahnya menjadi gontai disertai dengan ketidak relaan.
"Aku tidak boleh seperti ini. Ini bukan aku, seharusnya aku bahagia dihari kebebasan ku." ujar Minchae yang buru-buru menghapus genangan air mata yang kelewat deras. Menarik nafas dalam-dalam dan ia keluarkan secara perlahan. Lalu berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa ia menangis hanya karena belum terbiasa dengan kehidupan barunya, ia hanya sulit berpisah dengan tempat tinggal yang selama ini melindunginya.
Sekarang tekadnya sudah terbentuk, Minchae merasa ia pasti bisa mengendalikan dirinya dari segala drama hari ini. Segera menyelesaikan apa yang harus ia selesaikan, termasuk mencari koper tambahan untuk kedua bonekanya. Jangan berpikir barang Minchae sangat banyak sehingga untuk membawa bonekanya saja ia kebingungan, ia dulu datang hanya dengan satu koper saja dan berisikan beberapa pakaian. Minchae juga tidak membawa seluruh barangnya disini untuk pindah, karena sebagian besar dari mereka adalah pemberian dari Seojun. Jadi ia harus melepaskan mereka.
Meja rias. Benar, meja rias. Rasanya kalau bisa Minchae ingin sekali membawa benda besar itu untuk ikut pindah dengan nya, ia merasa sudah menyatu dengan teman curhatnya itu yang sering kali mnyaksikan dirinya menangis maupun marah-marah ketika sedang mencurahkan isi hati dan pikiran nya. Tapi sayangnya itu mustahil, baju saja yang bukan miliknya ia tinggal bagaimana bisa ia malah membawa meja rias yang besarnya tiga kali lipat dari pada tubuhnya sendiri.
Tidak masalah, tidak bisa membawanya bukan berarti Minchae tak bisa melihat nya lagi. Untuk apa kemajuan teknologi di zaman modern sepet ini jika tidak digunakan dengan baik. Ponsel pintar miliknya masih bisa diandalkan, ia akan memotret brang-barang kesayangan nya yang tidak bisa ia bawa pergi bersamanya, termasuk meja rias dan juga kasur tempat ia tidur.
Bukan main. Pasti orang-orang akan berpikir Minchae tidak benar-benar ingin meninggalkan rumah ini. Sepertinya yang Minchae khawatirkan hingga ia meneteskan air mata bukan karena perpisahan nya dengan sang pemilik rumah, tetapi karena barang-barang yang menemaninya setiap hari disini. Minchae juga berharap itu benar, ia akan sangat lega jika yang akan ia rindukan hanya perabotan miliknya yang bisa segera ia ganti dengan perabotan bari di tempat nya yang baru nanti. Dengan begitu ia akan mudah melupakan perabotan yang lama.
Usai Minchae selesai berpamitan dengan seluruh isi ruang kamarnya, perlahan ia membuka pintu untuk melangkah keluar. Baru ia akan menutup pintu tapi terhenti karena disambut sebuah pemandangan yang terasa asing baginya. Kim Seojun menunggunya di depan pintu, entah sejak kapan pria itu berdiri dengan kaki jangkung nya itu disana.