Chereads / Rahasia Cinta Tuan Kim / Chapter 10 - 10. Dasar mulut bodoh ini

Chapter 10 - 10. Dasar mulut bodoh ini

Minchae sedang bercermin, beberapa kali ia menelan saliva juga di barengi dengan perasaan gelisah yang terus mengganggu nya. Jantungnya berpacu lebih cepat dari yang seharusnya. Berkali-kali ia mencoba menenangkan diri sendiri dengan menarik nafas dalam-dalam lalu ia keluarkan kembali, berharap itu bisa membantu nya menjadi sedikit lebih tenang.

Hari ini, tepat satu minggu setelah pembahasan topik panas yang mengancam keutuhan rumah tangga Minchae. Lebih tepatnya Minchae sengaja membuat rumah tangga nya tak lagi utuh, dengan permohonan yang ia ajukan untuk mempercepat perceraian mereka.

Minchae barangkali terlampau berani saat mengutarakan pendapat nya, namun bisa dipastikan betapa ia telah mendambakan perpisahan ini. Minchae pikir Seojun tidak perlu berpikir terlalu banyak untuk menyetujui permintaan nya, sebab ia tau bahwa Seojun sama-sama merasakan ketidak nyamanan dalam dirinya ketika harus tinggal satu atap lebih lama lagi dengan Minchae.

"Satu jam lagi Seojun akan pulang. Apa aku langsung tanya saja ketika ia sudah sampai?" hanya memikirkan mendengar jawaban dari Seojun sudah membuat dadanya berdebar. Seharusnya selama 2 tahun ini sudah cukup bagi Minchae untuk membantu Seojun keluar dari desakan para orang tua yang menginginkan pria itu segera menikah.

Hal yang paling memusingkan disini adalah bagaimana caranya Minchae menjelaskan perceraian nya pada kerabat terutama kedua mertuanya. Meskipun Minchae tidak begitu kenal dekat dengan orang tua Seojun, setidaknya hanya mereka berdua lah yang paling ia hormati di keluarga Kim.

Tidak. Tidak. Minchae benar-benar melupakan hal penting seperti ini. Selama ini ia hanya fokus memikirkan cara menyampaikan perceraian ini pada Seojun tanpa ingat bahwa ada banyak hal yang harus ia urus setelah nya. Pertama, ketika para kerabat mendengar perceraian mereka maka Minchae seharusnya sudah menyiapkan alasan dari perceraian tersebut. Tentunya harus yang masuk akal.

Kedua, mertua. Ini berlaku juga untuk mertua nya, ia akan sangat tidak tau malu jika tidak mencari alasan yang benar-benar tepat. Karena jika tidak, akan mengundang kekecewaan yang begitu besar bagi mereka nantinya.

Masalah ketiga adalah ia sudah merasa nyaman dengan rumah ini. Terutama kamar nya, ruangan dimana ia menghabiskan waktu lebih banyak dibandingkan ruangan lain setiap harinya. Cermin teman nya bercerita, kasur tempat ia melepas rasa penat, dan masih banyak peralatan lain nya yang akan sulit ia tinggalkan.

Minchae tidak muluk-muluk. Ia hanya ingin melepaskan jerat tali yang mengikat kehidupan nya. Masalah barang-barang kesayangan yang telah menemaninya di rumah ini, itu bisa dipikir nanti entah ia akan meminta barang-barang tersebut ketika ia akan keluar dari rumah ini sebagai harta gono-gini, atau ia ikhlaskan begitu saja.

Di tengah pergulatan batin yang cukup menguras emosi, terdengar suara pintu berderit diluar sana yang menandakan seseorang baru saja pulang. Dengan perasaan campur aduk, Minchae menyiapkan hati dan juga mentalnya bahkan menyempatkan diri untuk merapikan pakaian yang cukup lusuh setelah ia berguling-guling diatas ranjang karena memikirkan banyak hal berat tadi.

Perlahan-lahan Minchae membuka sedikit pintu kamar dan mengintip dengan sebelah mata, memastikan sosok yang ia tunggu-tunggu sudah masuk dengan sempurna ke dalam rumah. "Minchae, kau pasti bisa. Semangat!!" ucapnya menyemangati diri sendiri, ia seperti baru saja mengerjakan soal ujian lalu menanti-nantikan nilai ujian miliknya yang akan muncul.

"Ha-hai. Sudah pulang?" sapa Minchae pada pribadi jangkung dengan setelan kemeja kantor yang tampak lebih kusut dari piyama miliknya. Terlihat pria itu cukup lelah setelah menghabiskan harinya dengan bekerja di kantor, dasi yang menggantung serampangan di lehernya sudah tidak serapi saat akan berangkat tadi, jas hitam yang tadi pagi terpakai dengan benar saat ini sudah tersampir di salah satu lengan nya.

Bisa diyakini bahwa Seojun ingin segera membasuh diri agar bisa segera bersantai setelahnya, raut mukanya juga lebih kusut dari hari-hari biasa ketika ia pulang kerja. Minchae jadi ingin menunda bertanya mengenai keputusan penting yang ia tunggu-tunggu selama satu minggu, barangkali ia akan mendapat jawaban yang buruk jika ia mengganggu waktu pria itu sekarang.

Tidak apa, Minchae bisa menunggu sedikit lagi. Bukan karena kesabaran nya masih memiliki banyak stok, tapi karena takut jika bertanya tentang hal sensitif tersebut malah akan menjadikan penantian nya sejauh ini sia-sia.

"Ada apa?" tanya Seojun tanpa menatap gadis yang berdiri dengan kikuk di depan nya, ia lebih memilih fokus mengganti sepatu yang ia kenakan dengan sandal rumah yang lebih nyaman. Yang ditanya gelagapan sendiri karena bingung harus menjawab apa, sedangkan ia sudah memutuskan untuk mengurungkan niat awalnya.

"Su-sudah makan?"

*Astaga! aku pasti sudah gila.* Di dalam sana Minchae sudah berteriak dengan keras, sekeras yang ia bisa. Minchae ingin memukul mulutnya sendiri karena telah bertanya secara asal, sebab pertanyaan barusan seperti menunjukkan rasa perhatian nya pada Seojun.

Kenapa juga mulutnya reflek mengucapkan kalimat itu padahal disini posisinya Minchae ingin memastikan kapan perpisahan antara mereka di setujui. Rasanya seperti Minchae tidak punya pendirian. "Sudah tadi makan dengan manager Min. Kenapa?" suara berat itu berhasil membuyarkan pikiran sibuk Minchae.

*Duuh, kenapa juga ia menanyakan alasan ku bertanya tadi.* tidak ada cara lain selain mempertebal muka, seakan ia tidak pernah melakukan hal yang salah maupun mengganjal sedikitpun.

"Oh, tidak. Tidak ada. Baguslah, kalau sudah makan." Minchae mengatakan nya dengan pandangan menghadap ke jendela, ia ingin menunjuk kan bahwa ia tidak gugup.

"Silahkan. Kau mau istirahat ya. Oh, mandi dulu. Benar, mandi dulu."

Sialnya nada ucapan Minchae terdengar sangat tidak wajar, ia hanya bisa merutuki dirinya sendiri dan kabur begitu saja ke dalam kamar. Meninggalkan Seojun yang tengah kebingungan dengan kepala yang sudah miring 45 derajat ke arah kanan. Memeriksa sekujur tubuhnya, barangkali ada yang salah pada dirinya yang membuat Minchae jadi aneh seperti itu.

***

"Minchae kau benar-benar sudah gila!!" seru Minchae pada dirinya sendiri tepat setelah ia mengunci pintu kamarnya, tentunya setelah memastikan Seojun telah beranjak menjauh dari depan kamarnya, sebab ia tak ingin lebih malu lagi bila merecoh seperti orang gila lalu terdengar oleh rungu Seojun.

"Apanya yang sudah makan! sejak kapan kau sangat perhatian hingga menyambut suami kontrak mu yang baru saja pulang kerja seperti tadi Minchae!"

Minchae terduduk dilantai setelah puas menyalahkan diri sendiri hingga menjambak rambut nya yang tidak bersalah (untungnya tidak sampai rontok). Kepalanya menunduk, matanya terpejam.

Minchae memiliki firasat yang buruk, tiba-tiba muncul pikiran dimana takdir sengaja membuat nya terus mempertahankan hubungan ini. Sangat konyol, dimana Minchae masih terus dibuat bimbang mengenai keputusan nya padahal ia sudah berhasil mengutarakan nya pada Seojun.

Sejenak Minchae menatap ke belakang dimana pintunya berdiri dengan kokoh di sana. Bukan, tujuan matanya bukan sekedar daun pintu berdesain modern melainkan seseorang yang berada diluar sana. Pikiran bodohnya lagi-lagi membuat dirinya gelisah.

"Apa aku pastikan sekarang saja? tidak peduli keadaan nya sedang buruk, lelah atau apa. Perjanjian tetaplah perjanjian, tidak mungkin kan ia lupa bahwa hari ini seharusnya ia memberitahu jawaban nya padaku."