18 Bulan yang lalu..
Soekarno Hatta Airport, Terminal 3, Kedatangan Luar Negeri.
Sosok gadis berwajah oriental dengan balutan asimetris dusty blue blouse dan rok plisket tiga perempat berwarna putih berjalan ke arah pintu keluar. Pandangannya mengelilingi sekitar mencari sosok yang bertanggung jawab atas kedatangannya saat itu.
"Anjani.."
Samar-samar ia mencari sumber suara. Arahnya berbalik 180 derajat. Namun belum menemukan si pemilik suara tersebut.
"Hei! Anjani Samitha!"
Ia kembali menoleh, kini berbalik searah jarum jam. Matanya memicing. Dilihatnya seorang gadis berambut pendek sebahu dengan setelan kemeja putih dan celana kerja krem. Gadis itu, melambaikan tangan dengan senyum bahagia.
"Hei!" Sahut Anjani lantas berhambur ke arahnya.
"Kau terlihat semakin cantik, Anjani."
Anjani tersenyum. Ia mencolek sahabatnya sambil tersenyum malu. "Kau jelas lebih cantik, Naomi." Balasnya.
Mereka tertawa disaat berikutnya.
"Kau sendirian?" Tanya Naomi sambil mengelilingi pandangannya.
"As always.."
"Baiklah. Kita ke Hotel dulu antar barang-barang, setelah itu kita ke tempat meeting." Tawar Naomi sambil mengambil koper berukuran 14 inci dari tangan gadis itu.
"Biar aku saja." Sela Anjani.
"Kau tamu disini. Jadi biar aku yang bawa."
Anjani tersenyum melirik gadis itu. Rasanya baru kemarin mereka lulus kuliah. Namun, kesibukan kini memisahkan kebersamaan mereka.
Well. Anjani Samitha merupakan CMO sebuah perusahan Startup di bidang digital technology real estate yang berada di Johor Bahru, Malaysia. Perusahaan skala menengah ke atas berbasis layanan itu mulai menunjukkan eksistensinya di jagad industri. Kedatangannya saat ini, bukan untuk liburan tentunya. Melainkan, urusan bisnis. Kebetulan Naomi salah satu rekan yang menjembatani antara dirinya dengan salah satu investor di Indonesia. Meski demikian, mereka adalah sahabat karib yang sudah saling mengenal selama satu dekade.
Anjani merupakan lulusan Perguruan Tinggi Negeri di Malaysia yang mengambil jurusan School of Management hingga membuat dirinya lulus dengan gelar PhD di bidang Manajemen. Keputusan Anjani menetap di Malaysia setelah lulus, tentu membuat jarak yang besar diantara mereka.
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih satu jam, mobil berhenti tepat di depan lobby hotel ternama di kawasan Jakarta Selatan. Akhirnya Anjani mendarat di penginapannya. Hmm, keberadaannya di Indonesia ini tidak cukup lama, mengingat bahwa tak ada lagi sanak keluarga yang bisa dijumpai disana. Sejatinya, Anjani adalah kewarganegaraan Indonesia yang bekerja di Negeri Jiran.
Kehidupannya yang tragis, membawa Anjani pada takdir yang dramatis. Anjani terlahir sebagai anak tunggal dari keluarga sederhana. Kedua orang tuanya meninggal akibat insiden kebakaran yang melahap habis seluruh isi rumah beserta ayah dan ibunya. Saat itu, ia tak bisa pulang ke Jakarta karena tengah mengikuti final semester assessment. Jika gagal, maka Anjani harus mengembalikan seluruh biaya yang dikeluarkan Pemerintah untuk beasiswanya. Sungguh malang. Ia tak memiliki pilihan. Kehilangan tentu merupakan cobaan terberat dalam hidupnya. Mencoba bangkit walau ditengah keterpurukan. Anjani dengan pasrah menerima takdirnya.
"Kita sudah sampai!" Seru Naomi membuyarkan lamunan gadis disana. Anjani menoleh dengan pandangan kikuk. Terpancar bahwa ada sorot kerinduan di matanya.
"Kau baik-baik saja?"
Naomi memastikan dengan hati-hati. Walau ia tahu bahwa sahabatnya sedang tidak baik-baik saja. Anjani langsung memeluk Naomi dengan erat. Entah mengapa, seketika gadis itu berhambur. "Aku merindukan mereka, Naomi." Anjani terisak. Lima tahun, kejadian itu masih membekas di hatinya.
"Don't worry, Anjani! I'll be with you! Masih ada aku disini." Janji gadis itu untuk memberikan sedikit ketenangan pada sahabatnya.
Anjani mengangguk. Poni tipisnya tersibak bersama rambut bergaya soft-layered lob.
***
Anjani berdiri dengan gugup di depan podium. Bahan presentasinya sudah standby di layar proyektor sejak lima belas menit yang lalu. Dalam co-working space berukuran 5x5 meter persegi, Anjani melihat dua orang pria berjas hitam beserta sahabatnya, Naomi. Waktu berlalu namun ia terus bergeming, memandang ke arah sosok yang duduk di kursi besar. Kepercayaan dirinya lenyap seketika. Entah mengapa. Naomi dari sisi kanannya mencoba memberi kode untuk ia memulai presentasinya. "Bisa kita mulai?" Tanya seseorang sambil memainkan iPad pro M1 miliknya.
"Eung? I-Iya.."
Lidah Anjani kelu. Bodohnya. Mengapa jantungnya tiba-tiba berdebar kencang. Padahal, ini bukan pertama kali ia berhadapan dengan investor. Sekali lagi Naomi memberikan isyarat agar sahabatnya tidak membuang waktu.
"Waktuku tidak banyak, Nona. Jika kau terus berdiam diri, maka kita batalkan pertemuan hari ini." Ujarnya formal.
Pria itu hendak beranjak dari kursinya. Namun, Anjani langsung menahannya. Ia memutar company profile sambil memberikan kata pembukaan. "Presentasi ini akan berlangsung selama lima belas menit dengan jumlah sepuluh slide.."
Anjani menarik nafas dalam sebelum akhirnya melanjutkan presentasi tersebut, "Menjadi pioneer dalam mengedepankan kebutuhan pelanggan adalah visi dari perusahaan kami.."
Senyumnya mengembang memperlihatkan dirinya mulai enjoy saat itu. Slide demi slide dipresentasikan dengan sangat detail hingga mendapatkan respon yang baik. "So, any question?" Tanyanya di akhir presentasi. Anjani melihat pria di kursi besar itu berbisik pada asistennya. Satu detik, dua detik, hingga akhirnya di detik kesepuluh, sang asisten melontarkan pertanyaan.
"Dalam dunia bisnis, kami tak menampik bahwa keuntungan itu sangat diperlukan." Asisten itu berkata dengan serius hingga Anjani bergidik. "Darimana revenue yang akan Anda peroleh? Lalu, siapa saja yang jadi kompetitor Anda?"
Anjani menoleh pada Naomi. Anjani gugup. Ia memainkan jarinya sambil berpikir keras. Model bisnis yang sudah ia susun seketika lari dari otaknya. "Eung. Mari saya jelaskan dulu proyek ini, dimana proyek kami memberikan layanan kustom pembelian real estate di Asia Tenggara dengan target market millennial, harapannya banyak developer bergabung dengan memberikan penawaran harga sesuai pangsa pasar, dengan begitu, investasi di sektor properti semakin mendominasi."
Anjani terhenti sesaat. Ia melirik pria lain di sana yang memandang kosong pada iPad sambil mengusap bewok tipisnya.
"Revenue didapat melalui SEO, subscription, sistem referral, dan service lainnya." Jawab Anjani, mantap. "Beberapa kompetitor kami diantaranya, East2West, Divvy, dan Loft." Lanjutnya.
Meski begitu, Anjani meyakinkan bahwa mereka memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh kompetitor mereka.
"Baiklah, Nona." Lagi-lagi asistennya yang bersuara. Entah mengapa Anjani merasa bahwa presentasinya gagal. Mengingat betapa acuh pria selainnya.
"Oh, sorry, what's your name?"
"Anjani.."
Anjani menelisik. "Anjani Samitha.."
Pria itu mengangguk.
Anjani menghela nafas. Akhirnya ia bisa bernafas karena sang investor bersuara dihadapannya. Pertemuan itu berlangsung selama tiga puluh menit, namun belum ada keputusan final tentang proposal bisnis yang diajukannya.
Hingga akhirnya, kedua pria itu berlalu diantar Naomi sampai depan pintu. Setelahnya, Naomi memandang Anjani dengan senyum tak biasa.
Anjani mendesah. Nafasnya terasa berat.
"Orang itu sungguh menegangkan. Kau tahu siapa dia?"
Anjani mendesis sambil membenahi bahan presentasinya. Wajahnya merengut, tidak senang.
"Tentu. Aku yang membawanya kesini." Naomi terkekeh. "Kau tidak tahu siapa dia?" Naomi melanjutkan ucapannya sambil berekspresi.
Anjani menggeleng dan Naomi tepuk jidat. "Arjuna Baratawardana. Kau bisa cari namanya di kolom search pencarian."
Anjani meraih iphone-nya sambil melirik Naomi yang tengah berpangku tangan. Mata Anjani mendelik. Ia tak percaya.
"Arjuna Baratawardana.." Gumamnya pelan.
"Pria itu juga salah satu senior kita saat kuliah. Kau tahu?"
Naomi memastikan kembali. Sebenarnya Anjani tidak begitu yakin, tapi rasanya memang wajah itu tidak begitu asing.
***
"Tolong cari tahu tentang gadis itu, perusahaan, dan keluarganya."
Pria bertubuh atletis itu melangkah tergesa sambil memerintahkan asistennya.
"Baik Tuan.."
Seketika langkah kakinya terhenti saat dering smartphone-nya berbunyi. Layar ponselnya menampilkan sebuah nama "Sweetheart". Dalam kurun waktu singkat, ponsel itu menempel ditelinganya.
"Yes, Maam. No, I won't forget. I'll be there in thirty minutes. Ok! See you. Bye!"
Pria itu menghelas nafas lalu tersenyum simpul. Langkah kakinya kembali melaju.
***