Derap langkah kaki terdengar berdampingan menuju sebuah ruangan, tempat dimana terlihat begitu dijaga ketat oleh beberapa petugas keamanan. Mereka berdiri mengenakan jas hitam dan berdiri tegak berbaris. Seorang lainnya menyusuri koridor sambil mengarahkan pandangan ke berbagai sudut. Ia tak mengira akan menginjakkan kaki di tempat seperti itu.
"Kau sudah siap?"
Seorang pria membuyarkan lamunannya. Ia menatap pada tangan yang menjulur dihadapannya seolah tawaran untuknya. Ia masih terdiam. Bingung. Sekali lagi, pria itu memberi isyarat agar ia menerima uluran tangan tersebut.
"Eung.." Gugup.
Wajahnya jelas ingin menunjukan senyum, namun ia tak mampu.
Ceklek!
Suara pintu terbuka. Pria itu menggandeng gadisnya masuk.
"Hai, Nek! Apa kabar?" Pria itu melepas pegangan tangannya lalu meraih tubuh sang Nenek kedalam dekapannya. Kini pelukan hangat menyambutnya. Seketika ia tersenyum saat teringat terakhir kali disambut oleh pukulan clutch coach. Sedangkan gadis disana masih terdiam, menautkan kedua jemarinya seraya gugup. Ia tertunduk hingga anak rambut menutupi wajah pucat pasinya.
"Oh ya, ini Anjani.." Pria itu melepas pelukan tersebut lalu menuntun sang Nenek menuju gadis itu. "Anjani Samitha, calon istriku.."
Semburat senyum terukir di wajah wanita lansia tersebut. Tak disangka, bahwa Arjuna akan memperkenalkan gadis yang dicintainya secepat ini. Padahal, ia begitu tertutup. Langkah kaki sang Nenek menuju gadis itu. Saat berhadapan, wanita itu menggenggam jemari yang menjadi korban keganasan gadis disana.
"Hai.." Sapanya lembut, membuat Anjani seketika menoleh.
"A-ha-lo Nyonya.." Jantungnya semakin berdebar. Ia semakin gugup ketika mata itu menatapnya. Namun, ia merasa ada sesuatu yang hangat menyelimuti hatinya saat ini. Tatapan mata wanita itu sungguh menghangatkan.
"Jangan panggil aku Nyonya." Wanita itu tersenyum. "Panggil aku, seperti Arjuna memanggilku Nenek.." Setelahnya Nyonya Nirwasita membawa gadis itu kedalam pelukan. Apakah padangan pertama ini begitu mengesankan? Anjani sungguh beruntung jika hal itu memang terjadi.
"Mari kita duduk.."
Nyonya Nirwasita membawanya ke tempat yang tidak jauh dari sana, di sebuah sofa disudut ruangan. Sedang pria itu ikut mengekori langkah mereka dan duduk disisi Anjani.
"Sejak kapan kalian bertemu?" Wanita itu memulai perbincangan. Anjani yang masih belum terbiasa, terus menerus merasa gugup, namun seketika kegugupan itu hilang ketika sebuah tangan mendekap punggung tangannya erat. "Kami satu almamater, Nek. Kebetulan Anjani adalah juniorku dan sejak saat itu kami mulai dekat."
Wanita itu mengangguk. "Kau tinggal dimana sekarang?"
"Eung.."
"Di Johor Bahru, Malaysia, Nek."
Lagi-lagi pertanyaan dijawab oleh Arjuna. Hal itu jelas membuat Nyonya Nirwasita geram. Ia pun berdehem. "Arjuna, bisakah kau tinggalkan kami berdua?" Anjani pun dengan cepat menoleh ke arah pria itu. Ia gugup. Seketika tangannya dingin dan disaat itu pula Arjuna mengelus punggung tangan Anjani seraya mengisyaratkan semua akan baik-baik saja.
Arjuna menghelas nafas. "Baiklah.."
Pria itu berlalu menyisakan kecemasan dalam diri Anjani. Apa yang harus dia lakukan?
"Kau mencintai Arjuna?" Tanya wanita itu setelah cucunya berlalu dari ruangan tersebut. Sedangkan Anjani melukis senyuman di bibirnya. Ada rasa takut bercampur cemas bahwa semua ini akan terbongkar. Namun, ia mencoba menetralkan perasaannya. Ia pun menarik nafas lalu mengangguk pelan.
"Apakah kau tahu Anjani.."
Wanita itu menampakkan raut wajah yang tak biasa. Anjani mencoba membaca situasi ini, apakah hubungannya tak bisa direstui? Anjani menerka.
"Ketika perceraian kedua orang tuanya terjadi, saat itu usia Arjuna masih balita. Sejak saat itu, ia tinggal bersama Ibunya. Dan saat usianya beranjak remaja, Arjuna kehilangan Ibunya." Wanita itu menundukkan pandangannya. Tak kuasa mengingat kenangan buruk yang terjadi pada cucu sulungnya tersebut. "Arjuna merasa saat itu dunianya hancur. Ia bahkan tak mempercayai siapapun, termasuk aku dan ayahnya. Ia menjadi tertutup dan mudah marah."
Anjani terdiam. Bagaimana bisa di pertemuan pertama, wanita itu menceritakan semuanya?
"Aku harap--kau mampu membuat Arjuna sepenuhnya mempercayai dan mencintaimu." Anjani memicingkan mata. Air mata hampir mengambang. Entah mengapa, kata-kata itu membuat hatinya begitu terluka. "Aku harap--kau mampu mencairkan hati Arjuna yang keras."
"Ba-baik, Nek! Aku janji akan menjaganya.."
Nyonya Nirwasita beranjak dan duduk disisi Anjani. Menggenggam tangan gadis itu. Entah mengapa, ia merasa tangan itu mampu menghilangkan segala keraguannya.
"Bagaimana dengan orang tuamu?"
"Ah! Mereka.."
Anjani terdiam.
Seketika dadanya sesak. Ia teringat ketika insiden itu terjadi dan dirinya tak ada untuk mereka. Air mata mulai mengambang sampai akhirnya berhasil menetes.
"Kau baik-baik saja, Anjani?"
Wanita itu meraih wajah Anjani yang tertunduk.
"A-aku.."
Anjani menyeka air matanya. "Yatim piatu, Nek.."
Meski dengan susah payah, akhirnya kata-kata itu terlontar jelas dengan suara parau. Anjani masih menahan rasa sesak di dadanya. Seharusnya ia tak menunjukkan kelemahan itu. Namun, ketika teringat orang tuanya, Anjani menjadi begitu lemah.
"I'm so sorry to hear that, dear.." Nyonya Nirwasita mendekap Anjani hingga akhirnya tangis itu pecah.
Seseorang melangkah menjauh di balik pintu setelah menguping pembicaraan mereka.
***
"Kau baik-baik saja?"
Seseorang yang tengah tertegun akhirnya tersadar. Ia yang sedari tadi menoleh kearah jendela mobil, kini menoleh pada pria itu.
"Apa yang kau pikirkan?" Tanyanya sekali lagi.
"Eung? Tidak ada.." Gadis itu menjawab sekenanya lalu memandang keluar jendela. Setelah pertemuan itu, hatinya berkecamuk.
"Kau ingat perjanjian kita 'kan?"
"Ya?"
"Tidak boleh melibatkan perasaan apapun selama kontrak berlangsung.."
Anjani tak menjawab. Ia menoleh lalu memandang wajah Arjuna yang begitu serius. Lagi-lagi ia menghela nafas. Berat rasanya.
"Arjuna tidak pernah membawa seorang gadis ke rumah ini. Dan kau adalah yang pertama. Kuharap kau bisa mengubah dirinya menjadi lebih hangat, Anjani." Ucapan itu terlintas di benaknya.
Ia memandang lurus Arjuna yang tengah fokus mengendarai. Sesekali ia menelan air liur, menetralkan hatinya yang terasa berat. Bertemu dengan Nyonya Nirwasita membuatnya berharap lebih. Dan tentu tidak seharusnya perasaan itu menjadi serakah. Anjani merutuki dirinya.
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi hingga membuat Anjani sedikit bergidik, apa dia marah? Anjani sesekali melirik kearah pria itu.
"Oh ya, kita singgah sebentar ke showroom real estate. Aku akan carikan tempat tinggal selama kau di Indonesia." Tutur Arjuna tanpa memandang ke arah gadis itu.
"Ah! I-iya.." Anjani menurut.
***
"Selamat datang, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?"
Seorang pria ber-name tag David menyambutnya ramah. Bagaimana tidak, ketika melihat orang berpengaruh di dunia real estate berkunjung ke showroom tersebut, seketika itu pula perlakuan istimewa tertuju untuk mereka. Tentu hal itu membuat gadis disana semakin mengagumi sosok Arjuna. Ia tak menyangka bahwa keberuntungan ini berpihak padanya.
"Aku ingin satu unit full-furnished dengan view yang bagus."
"Baik, Tuan. Mari kami antar untuk melihat-lihat." Ujar David, sambil sesekali melirik gadis yang ada di belakang pria disana.
David menekan tombol lift. Sesaat pintu lift pun terbuka. Mereka menuju lantai 8.
Suasana didalam lift terlihat begitu kikuk. David pun membuka topik pembicaraan, menjelaskan bahwa semua unitnya hampir terjual dipasaran serta melaporkan persentase pembeli. "Sejak satu tahun lalu, unit laku terjual dipasaran, Tuan. Dan berdasarkan presentase, invest tertinggi dari kaum millennial.."
Anjani yang sejak tadi bergeming, langsung menoleh ke arah David. Ia kembali teringat presentasinya saat itu, bahwa target marketnya pun sama. Kaum millennial. Sungguh prediksi yang tepat, batinnya.
"Delapan puluh lima persen pembeli adalah pengusaha muda. Mereka yang masih merintis."
Arjuna berdeham. Seketika ia menghentikan langkahnya. "Thanks for your report, David." Ia menoleh. "Tapi saat ini aku sedang tidak ingin mendengar laporan tersebut." Jawabnya, dingin.
"Kau bisa menemuiku di kantor jika ingin melaporkan hasilmu." Pungkasnya, tajam.
David pun terlihat gugup. Anjani melihat Arjuna dengan tatapan yang tak biasa. Ia melihat sorot mata pria itu dingin. Pintu lift kembali terbuka. Mereka tiba di lantai 8. David mempersilahkan Arjuna dan Anjani keluar lift. Setelahnya ia mengajak ke unit A808.
"Kita sampai, Tuan."
Beep!
Suara kunci pintu terbuka dengan sekali tap. David mempersilakan mereka masuk untuk melihat seisi apartemen tersebut.
"Unit ini sudah full-furnished dengan city view. Saat malam akan terlihat lebih indah, karena banyak gemerlap lampu kota yang terlihat dari sini."
Anjani hanya bisa menghela nafas pelan. Ia tak mengerti, mengapa dirinya bisa sejauh ini. Bagaimana bisa ia menerima sesuatu yang begitu besar. "Kau menyukainya?" Tanya Arjuna membuyarkan lamunannya.
"Eung?"
Arjuna melirik David yang menatap mereka. Dan saat itu pula, David langsung menundukkan pandangannya. Lantas, Anjani hanya mengangguk pelan.
"Jika kau menyukainya, aku akan ambil unit ini untukmu." Lagi-lagi David meliriknya, kali ini tak hanya melirik Arjuna, bahkan ia melirik Anjani yang ia yakini seseorang yang begitu spesial bagi pemilik perusahaan real estate tersebut.
"Terima kasih.." Ujar Anjani pelan.
***