Setelah Edi pulang 5 hari di Singapura adalah 'bulan madu' bagi aku dan Tommy. Kami selama 5 hari tidak pernah pergi meninggalkan flat, tiada waktu luang yang tidak kami pergunakan untuk melakukan hubungan intim.. Segala posisi sudah kami coba diberbagai tempat dan sisi dan sudut tempat tinggal kami di Singapura.
Kami sudah melakukan permainan asmara di ranjang kami di kamar kami, di 2 kamar lainnya, di seluruh kamar mandi, meja makan, sofa, di setiap lantai ruangan, di meja dapur bahkan tadi malam kami melakukan dibalkon walau itu melanggar hukum.
Kami hanya berhenti melakukan aktivitas 'ranjang' untuk makan dan tidur. Apalagi makanan kami sudah stock makanan cepat saji, dari pizza, pasta bahkan mie cup yang hanya butuh seduh air panas dan menunggu 3-5 menit.
Apalagi selama aku liburan di Singapura tidak ada rutinitas kerja yang mengganggu kisah asmara yang sedang kami rangkai bersama. Sehingga praktis aku dan Tommy bebas melakukan apapun berdua.
"Yang besok aku seminar selama 4 hari. Urusan pernikahan kita sudah kamu atur?" tanyaku sembari memeluk Tommy dengan kondisi kami sama- sama telanjang bulat dan di bibir liang sensitifku meleleh cairan putih pekat akibat meluber keluar dari liang sensitifku karena penuh terisi cairan asmara kami berdua yang selama seharian sudah hampir 15 kali berhubungan intim.
"Iya sayang.. Semua beres sudah tinggal menikah saja.. Sebenarnya aku belum puas berduaan denganmu. Apalagi di sini kita bisa bebas teriak dan berhubungan tanpa perlu takut ada yang tahu.. Tapi ga apa- apa, demi masa depan karirmu juga.." jawab Tommy sembari mencumbui wajah dan leherku sembari tetap memelukku.
Dicumbui seperti itu membuat libidoku meningkat sehingga akhirnya kami melanjutkan ronde berikut permainan birahi yang membara antara aku dengan Tommy hingga kami berdua kelelahan.
‐-------
Pagi itu aku bangun dengan badan tidak enak dan perut mual, namun karena aku harus pergi ke acara seminar akhirnya aku paksakan untuk beranjak dari ranjangku dan pergi untuk mandi.
Tommy melihatku bangun, langsung inisiatif pergi kedapur untuk membuatkan makanan. Setelah aku mandi walau badanku terasa kurang sehat aku tetap memaksakan diri untuk berganti pakaian dengan baju formal yakni kemeja panjang hitam, rok bahan abu-abu diatas lutut dan blazer dengan warna senada dengan rokku.
Setelah selesai menata rambut dan menata rias mukaku dengan tata rias minimalis aku segera keluar kamar untuk menyantap makanan. Saat aku keluar terlihat hidangan omelet, nasi, sosis goreng dan sambal tempoyak.
Entah kenapa saat tercium bau sambel tempoyak di indra penciumanku aku langsung mual dan ingin muntah. Aku segera berlari ke wastafel dapur lalu memuntahkan isi perutku yang sebenarnya adalah makan tadi malam yang belum tercerna dan cairan lambung. Tommy melihatku muntah segera menghampiriku dengan panik.
"Kamu kenapa? Kamu sakit?" tanya Tommy dengan muka pucat sembari mengelus- elus punggungku dengan lembut.
"Huueeeekkk.. Ga tau.. Hueeeekkk.. Aku mencium bau tempoyak langsung mual.. Hueeekkk.. Tapi sejak bangun.. Huuueeeekkkk.. Aku memang merasa kurang enak badan" jawabku disela- sela muntahku.
"Haduuuh.. Ayo kita ke klinik dibawah. Takutnya ada apa- apa. Kamu jangan memaksakan diri ke seminar.. Nanti makin parah" ujar Tommy mengajakku ke klinik dokter umum yang disediakan dilantai dasar flat dan membujuk agar aku tidak memaksakan diri pergi ke seminar.
"Huueeeekkk.. Ga usah, aku gaapa- apa.. Ini paling lambung aku aja.. Huueeekkk.. Ambilkan saja obat lambungku Tom" ujarku sembari masih muntah dengan keluar cairan saja.
"Oke- oke.. Tapi kalau abis minum masi mual kita keklinik bawah ya.." ujar Tommy yang aku jawab dengan anggukan kepala.
Setelah minum obat mualku masih tetap tidak hilang.. Aku memang sudah tidak muntah, namun aku masih merasa ingin muntah. Itu mungkin karena perutku tidak ada isinya sehingga tidak ada ada yang bisa dikeluarkan. Akhirkan aku mengikuti saran Tommy untuk berobat ke klinik bawah.
‐-------
"Maaf.. Ibu mens terakhir kapan?" tanya Dr Alfred kepadaku 30 menit setelah menyuntikan obat lambung dan obat mula lewat suntikan, namun setiap perawat dokter Alfred tiap 10 menit sekali mengecek keadaanku rasa mual itu muncul lagi.
"Kalau ga salah sebulan lebih seminggu yang lalu dok sejak hari pertama saya mens dok.. Kenapa ya dok?" tanyaku agak hilang mualnya karena dr Alfred bertanya kepadaku tanpa ditemani perawatnya.
"Kok istri saya ditanyakan mensnya kenapa dok? Tanya Tommy juga tiba- tiba.
"Saya ada kecurigaan ibu ini hamil, tapi saya harus pastikan dulu. Mensnya apakah teratur?" ujar Dr Alfred menjelaskan sekaligus bertanya pertanyaan berikutnya.
"Selalu dok.. Tiap 28 hari sekali saya mens, baru kali ini saya telat seminggu. Harusnya minggu lalu saya sudah mens" ujarku menjawab pertanyaan Dr Alfred.
"Sepertinya kecurigaan saya benar. Kalau bapak ibu berkenan, saya hendak memeriksa tes kehamilan, bagaimana?" Tawar dr Alfred untuk memeriksakan tes kehamilan kepadaku.
"Silahkan dok" ujar aku dan Tommy berbarengan.
Setelah kami dijelaskan prosedur pemeriksaanya, perawat dr Alfred segera mengambil sampel lalu memeriksakan tes kehamilan kepadaku. Setelah beberapa lama, dr Alfred kembali kekami membawa secarik kertas yang sepertinya hasil pemeriksaan tes kehamilanku.
"Bagaimana dok hasilnya?" tanya Tommy saat dr Alfred muncul dihadapan kami.
"Selamat ya pak.. Istri anda positif hamil" ujar Dr Alfred sembari tersenyum.
"Puji Tuhan.. Terimakasih dok.." ujar Tommy dengan muka bahagia mengetahui usaha kami untuk mendapatkan anak berhasil.
"Oke.. Saya rasa karena penyebab mualnya sudah dipastikan saya hanya memberi vitamin untuk memperkuat janin di perut ibu.. Setelah ini ibu bisa pulang, dan saran saya tetap jaga kesehatan. Terimakasih" ujar Dr Alfred sembari berlalu untuk memeriksakan pasien lain.
Setelah menyelesaikan administrasi dan mendapat obat pulang, aku dan Tommy pergi ke seminar, dia mengantarku ke sana. Rencananya aku ikut acara setengah hari lalu pulang agar kandunganku aman.
Selama di mobil menuju ke tempat seminar kami bernyanyi- nyanyi sembari mendengar radio karena bahagia rencana awal kami untuk punya anak berhasil terwujud. Aku tidak sabar untuk segera menyatukan hubungan kami dalam ikatan suci bersama Tommy di hari ke 20 kami berada di Singapura.
Perhatian Tommy ke diriku juga semakin besar, ia tidak pernah sedikitpun melepaskan genggaman tangannya dari tanganku selama perjalanan. Senyuman dibibirnya selalu mengembang sejak ia mendengar kabar kalau aku mengandung anak dari bibitnya. Aku pun juga merasa bahagia, walau terselip kekuatiran terkait apakah Edi benar- benar akan setuju tetap melanjutkan 'permainan kami' hingga pura- pura menikah denganku nantinya, karena kalau tidak mau tidak mau aku akan dihadapkan kepada 2 pilihan, memilih tetap bersama Tommy atau kedua orangtuaku.