Namaku Alan Henggar Pradipta. Anak satu-satunya hasil pernikahan Ayah dan Ibuku yang sekarang sudah berpisah. Aku katakan berpisah karena mereka sudah tidak tinggal serumah, entah mereka bercerai secara agama atau mungkin juga sudah bercerai secara hukum negara aku tidak pernah memikirkan hal itu. Menurutku itu sama sekali tak penting untukku. Sedari kecil aku terbiasa hidup dengan ibuku yang tinggal serumah dengan nenek, bahkan aku tak tau sejak kapan kedua orang tuaku berpisah. Usaha peternakan milik nenek menjadi sumber penghasilan keluarga ini. Eyang, begitu aku biasa memanggilnya.
"Alan,apa kamu sudah makan? " tanya Eyang.
"Sudah, tadi aku sempat mampir beli bakso di jalan saat pulang dari kandang, kenapa Eyang? "
"Sudah berapa kali Eyang bilang, jangan sering-sering makan di luar, apalagi bakso yang pake kuah bermicin seperti itu,sudah cepetan sekarang makan nasi. Jangan lupa sayur dan lauknya juga!! "
Begitulah ibu dari ibuku, beliau lebih sayang padaku daripada ibuku sendiri. Tak mau kena semprot, aku segera bergegas ke meja makan untuk memenuhi permintaan Eyang tersayangku. Semuanya tersaji dengan lengkap,tapi ini semua hasil masakan Eyang, bukan masakan ibuku.Setauku,ibuku tidak bisa memasak. Entahlah.
Aku keluar kamar mandi dengan mengalungkan handuk di leher. Pada saat yang sama, ponsel yang masih di dalam waistbag-ku berdering. Langsung kusambar ponsel setelah membuka resleting tas berwarna biru tua. "Hallo, Ayah... "
Kira-kira ada apa Ayah menyuruhku datang ke rumahnya. Benarkah seperti yang dikatakannya tadi, Ayah merindukan aku. Kenapa aku merasa ada suatu hal yang akan Ayah sampaikan padaku. Besok aku akan mengunjungi rumahnya. Baik Ibu maupun Ayah, meski mereka sudah pisah bertahun-tahun, tapi keduanya masih sendiri. Ayah tidak menikah lagi, begitu juga Ibu. Ataukah karena merasa jenuh, Ibu mencari kesibukan berjualan di pasar tradisional. Padahal Eyang selalu mencukupi semua kebutuhan kami.
Jarak yang harus aku tempuh untuk sampai di rumah Ayah membutuhkan waktu satu jam setengah. Tadi memang aku berangkat agak pagi, tidak seperti saat aku mau ke kandang. Aku sudah minta ijin sama Eyang untuk mengunjungi Ayah. Sedangkan Ibu, mungkin tak tau aku ke rumah Ayah.
Aku parkir motorku di depan rumah Ayah, tak lama setelahnya muncul seorang perempuan seumuran denganku dari pintu rumah sebelah. Dia anak dari Paman Wira.
"Hai Sel, " aku terpaksa menyapa karena nampak canggung saat berpapasan dengan sepupuku itu.
"Hallo Mas, lama nggak ketemu makin ganteng aja, " Sela selalu seperti itu. Mencoba akrab denganku meski pada akhirnya aku cuek.
Aku mengetuk pintu lebih dulu sebelum masuk rumah Ayah. Sepertinya Ayah sedang berada di dapur karena terdengar suara gemericik air yang dituang ke dalam gelas.Aku duduk menunggu di ruang tamu.
"Hei,pagi-pagi kamu udah sampai," sapa Ayah yang mendekati aku dengan membawa segelas susu putih. Nampaknya Ayah sudah mendengar saat aku menyapa Sela di depan rumah tadi, maka dari itu Ayah langsung membuatkan minuman kesukaanku sedari kecil.
"Susu putih kesukaanmu Alan."
"Terimakasih, " jawabku. Saat ini kami duduk bersebelahan.
"Apa Ayah tidak mengganggu waktumu ngecek peternakan kalo Ayah menyuruhmu pulang sore nanti? " tanya Ayah setelah menaruh gelas di depanku.
"Sebenarnya kita mau ngapain sampai sore hari nanti?"
Aku semakin penasaran dengan maksud Ayahku., tapi kurasa aku akan dapat jawaban paling lambat sore ini batinku.
Di tempat lain,ada seorang perempuan cantik sedang bingung untuk membalas pesan singkat lewat ponselnya. Pengirimnya adalah bos di tempat kerjanya yang tak lain adalah Ayah dari Alan,Pak Candra.Teringat dirinya dengan percakapan bersama Pak Candra beberapa hari yang lalu.
"Ran, apa kamu belum punya seseorang yang mendapatkan perhatian khusus darimu, maksudku seorang yang kau pilih untuk jadi pendamping hidupmu di masa depan? " Pak Candra bertanya saat mereka sama-sama menutup toko tempat Rania bekerja.
"Saya tidak berniat menjalin hubungan sebelum menikah Pak Candra, ngomong-ngomong kenapa Pak Candra tiba-tiba menanyakan hal seperti itu. " Rania menjawab disertai dengan perasaan mencurigai.
"Ah, tidak. Mungkin hanya sekedar omong kosong untuk membuat rasa lelah kita sedikit berkurang. Bukankah hari ini, pelanggan kita banyak yang datang? ", Pak Candra menjawab sekenanya untuk menghindari kecurigaan Rania. Sedangkan Rania hanya mengangguk sambil terus melanjutkan pekerjaannya.
Dering ponsel membuat Rania tersadar.
" Ya, Assalamu'alaikum... "Rania memulai obrolan di ponselnya.
" Walaikumsalam...Kenapa pesan yang saya kirim cuma dibaca dan nggak dijawab? "suara Pak Candra dari seberang sana nampak menuntut.
" Maaf Pak, tapi untuk kepentingan apa saya diminta untuk datang ke rumah Bapak? "
"Saya akan menyampaikan sesuatu padamu di rumahku, tapi seandainya sekarang kamu tidak bersedia mungkin lain kali. "
Sebenarnya ada apa dengan undangan ini, apa ada kaitannya dengan pertanyaan Pak Candra waktu itu. Yang Rania tau, Pak Candra adalah seorang duda. Perasaan Rania makin bimbang dan sedikit takut. Rania semakin membayangkan hal-hal yang tak seharusnya dipikirkan.
"Hallo Ran,apa kamu masih di sana? " suara Pak Candra mengembalikan kesadaran Rania.
"Hah, iya Pak... bisa sekarang. "
Karena terlalu shock, ucapan yang keluar dari mulut Rania malah jadi begini.
"Ya, saya tunggu di rumah... "
Klik.
Percakapan berakhir dan menyisakan Rania yang bingung dengan apa yang diucapkannya.
"Ternyata aku mengalami sendiri hal ini, apa yang terucap tidak seperti yang dipikirkan, kenapa bisa terjadi pada saat genting? " batin Rania kesal.
Rania segera bersiap sebelum berangkat ke rumah Pak Candra. Tak perlu berlama-lama di depan cermin karena Rania telah terlahir cantik. Mata bulat dengan bulu mata lentiknya sering membuat beberapa teman sekolahnya dulu merasa iri.
Tak butuh waktu lama untuk sampai di rumah bosnya, Rania mengendarai motor kesayangannya sekitar sepuluh menit. Hingga rumah Pak Candra sudah terlihat. Sebenarnya hal apa yang membuat keberanian Rania sampai di tempat ini. Penasaran. Hanya karena penasaran, Rania mencoba mengumpulkan kekuatan untuk memenuhi undangan Pak Candra yang seorang duda, ingat? Duda!!! Begitulah kira-kira yang terjadi pada Rania saat ini.
"Assalamu'alaikum... " Rania berdiri di depan pintu yang sudah terbuka.
"Walaikumsalam Ran, mari silahkan masuk..., " Pak Candra menyambut kedatangan Rania dengan senyuman bahagia.
"Akhirnya kamu mau datang... terimakasih sudah memenuhi undangan saya, " Pak Candra bangkit dari duduknya dan melangkah masuk.
"Sebentar saya ambilkan minum, silahkan duduk dulu... , " pesan Pak Candra yang masih terdengar jelas di telinga Rania. Dengan sedikit rasa takut, Rania segera duduk. Dari luar terdengar suara mesin motor yang dimatikan.
"Mungkinkah itu tamu Pak Candra, atau hanya pemilik rumah sebelah? " Rania membatin. Tak lama seseorang masuk dan pandangan mereka bertemu. Rania membungkukkan kepala dan tersenyum sopan kepada seorang laki-laki yang baru masuk. Sedangkan Alan hanya memandangnya sekilas kemudian berlalu. Senyum pun sepertinya dia enggan.
"Laki-laki yang cukup sombong, meski terlihat tampan...Sangat berbeda dengan Pak Candra yang ramah. By the way, apa hubungan laki-laki itu dengan Pak Candra? " batin Rania.