"Ah! Itu! CK! Bagaimana bisa aku melupakannya, maafkan aku ya nyai," sesalnya sambil mengecup lembut punggung tanganku.
"Nyai? Bukankah sudah kubilang jika aku benci disebut seperti itu?" protesku.
"Benarkah?" tanyanya.
Segera aku mencebik melihat kelakuannya. Pangeran sakti itu bahkan melupakan hal sepele sekali pun. Bagaimana bisa ia menjadi pewaris tahta kerajaan?
"Iya! Aku membenci nama itu! Sebutan itu! Aku tak suka!" rengekku, namun tanpa aba-aba ia langsung mendekatkan wajahnya dan menempelkan ujung jari telunjuknya tepat di atas bibirku hingga membuatku membisu seketika.
"Ssst ... Maafkan aku sayang. Aku melupakan semuanya jika berada di hadapanmu. Kecantikanku membuatku gila. Bagaimana bisa aku mengingat hal lain." Lagi-lagi ia menggombal receh.
"Jadi ... Apa kau suka bunganya?" bisiknya.
Sementara ia terus memojokkan ku, aku terus mencoba menghindarinya. Entah kenapa ia terlihat berbeda. Tatapannya lebih menuntut dari biasanya. Seperti pria hidung belang yang sedang birahi. Membuatku ketakutan hingga terus beringsut mundur.
"Kenapa kamu ... Menghindariku? Apa kamu tak mau menunaikan wajibmu untuk memenuhi hakku?" bisiknya lagi lalu ia mulai mendikte bahu dan leher jenjangku hingga tanpa sadar aku melenguh terbawa suasana.
Aku sangat ingin menolak, namun ada dorongan lain dalam diriku untuk memintanya melakukan lebih. Seolah mengerti, ia segera mengangkatku dan mendudukanku dipangkuannya.
"Bukankah kau berjanji akan menungguku sampai siap?" tanyaku saat sedikit kesadaranku masih tinggal.
Namun saat ia mulai menyentuh bagian sensitifku, tanpa sadar kupejamkan mata menunggunya untuk memulai.
"Kau yang mempersilahkanku," bisiknya menuntut.
Segera kugelengkan wajah, menepis dorongan yang tidak alamiah ini. Sepertinya sesuatu tengah menghipnotisku. Hasratku meminta lebih, namun hatiku menolak dengan kuat. Apa ini? Bukankah sudah tugas dan kewajibanku? Kenapa aku seegois ini?
Saat pertahanan diriku mulai lemah, kubiarkan diriku terbawa suasana. Pikirku, baiklah tak apa, toh sekarang atau pun nanti aku harus melakukannya kan?
Kudekatkan wajah untuk menciumnya. Ia pun terlihat sukarela menunggunya. Namun tiba-tiba ....
"Sanca! Jin Laknat!" Teriak seseorang dari balik pintu yang baru saja terpental hingga hancur.
Brakh! Bruagh! Prang!
Pintu dan lemari kaca hancur berkeping-keping. Seketika aku terperanjat kaget hingga terjungkal. Belum sempat aku menarik nafas, aku dibuat tercengang melihat sosok Garda diantara bingkai pintu dengan wajah murka merah padam. Lantas aku menoleh ke arah Garda yang barusan tengah menggendongku hendak meluapkan keintiman.
Deg!
Bukan Garda yang tengah duduk di sofa itu. Melainkan sesosok mahluk berkulit merah menyala dengan rambut gimbal dan dua buah taring panjang keluar dari mulutnya. Matanya bulat seolah mau keluar dari tempatnya. Seketika lututku lemas membayangkan hampir saja aku bersetubuh dengannya. Aku pun ambruk dengan mulut menganga dan mata terbelalak.
"Terkutuk kau Sanca!" rutuk Garda murka.
Dengan langkah ditekan, ia mendekat lalu meraih leher mahluk berwarna merah itu.
Bruagh!
Sekali hempasan mahluk itu terpental dilemparnya.
"Kakanda Garda! Sudah hentikan! Jangan terbawa nafsu sesaat! Ingat dia adalah kakamu sendiri!" seru Yevtsye yang tetiba ada di belakang Garda dan meraih lengannya lalu merangkulnya.
Sementara aku tak mampu melakukan apa pun. Lututku lemas, kakiku bahkan tak bisa digerakkan. Bagaimana bisa aku berbicara? Apa yang tengah terjadi? Jelas aku baru saja dijebak kan? Sialnya hasrat birahiku malah memuncak. Sepertinya Jin merah sial itu melakukan sesuatu padaku.
Kulihat dinding kamar tempat Garda melemparkan mahluk tadi hancur. Bahkan sebagian ruangan kamar juga hancur oleh suara teriakan Garda tadi.
"Kanda sudahlah kumohon, bisa jadi bukan salah kakanda Sanca. Kenapa tidak tanyakan pada istrimu kenapa bisa mempersilahkan jin pria masuk ke kamarnya?" ucap Yevtsye seolah mengadu domba kan aku dan Garda.
Jelas semua ini hanya settingan mereka belaka. Namun mulutku Kelu tak mampu menyangkal apa pun ucapannya.
"Berisik! Enyah kau dari ruangan ini!" bentak Garda lantas menghempaskan Yevtsye tanpa menyentuhnya sama sekali.
"Kya!" pekik Yevtsye yang terlempar jauh hingga ke luar kamar.
Aku yang masih melongo, tertegun, masih membisu, masih membeku bergeming. Kulihat Garda mendekat ke arahku lalu berjongkok tepat di depanku. Seketika tubuhku bergetar hebat lalu beringsut mundur sementara air mata sudah mengalir deras di kedua sisi mataku.
"Bukankah sudah kukatakan jangan bukakan pintu untuk siapa pun?" tanyanya datar, namun ada penekanan dan penuntutan dalam setiap katanya.
"Dimana Lodyar?" tanyanya sembari mengedarkan pandangan.
Aku masih terdiam tak menjawabnya, bahkan tak sanggup kutatap matanya. Terakhir tanpa sengaja saat kulihat ia menghempaskan Yevtsye, mata hitamnya nyalang seolah akan keluar laser jika menatapnya.
"Azalea," panggilnya sambil hendak menyentuh lenganku yang menggigil.
Namun urung ia lakukan, malah mengepalkan tinju, lalu melayangkannya ke udara hingga terdengar dentuman keras seolah ia baru saja melemparkan granat ke arah dinding yang langsung bolong dibuatnya. Sontak aku meloncat kaget dan mundur lagi hingga ke dinding yang masih utuh.
"Kubunuh jin lalai tak bisa diandalkan itu nanti," desisnya.
"Azalea, Kemarilah," raih Garda sambil mengulurkan tangannya.
Jelas aku tak menerimanya. Jelas aku takut padanya. Itu insting alami, aku baru saja menerima uluran tangan dari wajah yang sama, dan ternyata sosok lain yang berada di dalamnya. Kenapa aku harus menerima lagi ukuran tangan itu. Aku menggeleng kuat sambil memejamkan kedua mataku. Sungguh itu adalah hal menakutkan yang pernah kulihat. Jin buruk rupa dan menjijikan sudah biasa kulihat dan tak lagi membuatku takut. Namun aura yang Garda keluarkan sangat menekan dan penuh amarah. Rasanya aku takut hancur lebur jika mendekat padanya.
"Kemarilah." Satu kata itu seolah mengendalikanmu.
Tubuhku bergerak sendiri lalu masuk ke dalam pelukannya.
Grep.
Sekali tangkapan tubuhku berhasil di peluknya.
"Tutup matamu. Maaf aku mengendalikanmu lagi, tunggulah kita pergi dari sini," ujarnya lalu segera kututup mata seperti perintahnya.
"Dekap aku," pintanya lagi yang juga lantas kupatuhi.
Kulingkarkan lenganku di tubuhnya. Terasa hangat tubuhnya menangkan ku.
Wush!
Seperti melesat tersedot ke dalam lubang cacing, tubuhku tertarik oleh sesuatu hingga rasanya mual. Sesak, pengap dan silau. Perlahan gelap, hingga beberapa detik kemudian cahaya kembali menyilaukan mataku yang tertutup.
Perlahan mataku terbuka dengan sendirinya saat kurasakan tangan beras Garda mengusap wajahku perlahan.
"Kau aman sekarang," bisiknya lalu menurunkanku perlahan.
Empuk. Saat kulirik dudukanku, ternyata aku menduduki sebuah sofa besar. Segera kuedarkan pandangan. Seperti ruangan bersantai yang luas.
"Dimana ini?" gumamku, tanpa niat bertanya pada Garda.
Aku tahu aku lalai dan salah sudah keliru ditipu mentah-mentah oleh jin sial merah itu. Tapi aku sendiri merasa marah dan murka. Dadaku sakit mengingat hampir saja aku dinodai jin pria lain yang menyamar menjadi suamiku.
"Ini dunia manusia." Garda menjawab sambil menghempaskan tubuhnya di atas ranjang yang berada di sebelah sofa yang kududuki.
"Terlihat dadanya naik turun, memburu nafas. Jelas Garda kelelahan lantaran menggunakan tenaga dalamnya berlebihan. Ditambah ia juga masih menahan luapan emosi yang memuncak. Aku yakin itu. Terlihat dari sikapnya yang masih acuh padaku, tak seperti biasanya.
Tak mencoba membujuknya, aku juga segera membaringkan tubuhku lalu meringkuk. Perlahan bulir air mataku mengalir. Namun saat hendak Kupejamkan mata, tetiba gelanyar hasrat dalam diriku, kembali menyeruak menguasai tubuhku. Seperti ada dorongan untukku melakukan keintiman. Segera aku bangkit dan mendekati Garda yang tengah berbaring.
Tanpa tahu malu kusentuh dada bidangnya dengan lembut lalu mencengkeram kerahnya. Padahal hatiku berteriak, melarangku melakukannya. Namun tubuhku ada di bawah pengaruh sesuatu, semacam rangsangan buatan.