"Hiks ... Hiks ... Gar-dha ... Tolongh ... Aku ..." lirihku sambil menempelkan tubuhku padanya.
Sontak Garda bangkit lalu menatapku dalam-dalam.
"Apa? Kau membutuhkan sesuatu? Katakan kau mau apa?" tanyanya seolah ia tak tahu.
Padahal aku yakin ia tahu apa yang tengah terjadi dengan tubuhku.
Ingin aku memakinya, namun kebutuhanku membuatku merendahkan diri di hadapannya.
"Bantu aku Garda ... Sungguh aku tak kuat. Ayo lakukan denganku. Lakukan sekarang!" tuntutku sambil mencengkeram jemarinya hingga kuku-kukuku menancap di kulitnya.
"Bantu apa? Lakukan apa? Hm?" tanyanya seolah tak mengerti. Jelas ia tengah mempermainkan ku.
Sambil menyeringai kulihat ia mendekatkan wajahnya dan menghembuskan nafas tepat di telingaku. Sial. Aku sudah sangat tak tahan. Bahkan sepertinya bagian intiku sudah basah.
"Garda ... Kumohon," lirihku.
Sekuat tenaga kutahan kewarasanku agar aku tak memulai terlebih dahulu.
"Mohon apa? Katakanlah istriku?" bisiknya menyiksaku.
"Argh ... Garda kau jahat. Kau tega sekali. Sungguh kejam. Inikah yang namanya cinta?" rengekku sambil terus menempelkan tubuhku dan membuat gerakan erotis tanpa tahu malu.
Sial sekali. Apa bedanya aku dengan seorang jalang sekarang? Bahkan aku memohon padanya untuk melakukan itu?
"Kau tau, aku lebih tersiksa dibanding dirimu Karna semarah apa pun aku. Aku tak sanggup untuk menghukummu," bisiknya lagi lalu tanpa ba-bi-bu langsung mengecup bibirku.
Seperti magnet aktif, segera aku membalasnya. Dengan kasar, kulumat bibirnya mendiktenya intens tanpa terlewat sedikit pun celah di dalamnya.
"Nggh ...." lenguh Garda disela ciuman kami.
Sepertinya ia hendak mengatakan sesuatu. Lalu ia menarik lenganku dan mengunciku saat merasakan tanganku mulai meraba-raba bagian sensitifnya.
Brukh!
Tubuhku didorong hingga membuat posisi kami terbalik. Kini aku berada tepat di bawahnya. Kulemaskan tubuhku, siap menerima serangannya. Namun ... "Tidurlah. Ini perintah. Aku, sungguh tak mau melakukannya jika bukan kemauanmu sendiri."
Setelah ia berucap seperti itu, tetiba hasrat yang menggebu itu seketika hilang. Lenyap seolah aku tak pernah merasakannya. Dan rasa kantuk pun melanda dengan amat sangat kuat.
Kluk!
Aku pun tertidur, dengan sangat lelap.
Jam berdentang berkali-kali. Refleks dahiku mengkerut mendengar dengan terakhir yang memekik di gendang telingaku. Perlahan kubuka mataku lantas kukerjapkan beberapa kali membiasakannya dengan cahaya lampu yang menyilaukan mataku. Jarum jam menunjuk ke angka 12 dua-duanya. Kemungkinan ini tengah siang atau mungkin juga tengah malam. Entah karna aku belum memastikannya.
"Sudah bangun?" tanya Garda yang ternyata tengah duduk di seberangku sambil membalikkan halaman buku yang dibacanya.
"Engh ... Dimana ini?" tanyaku lalu mengedarkan pandangan melihat sekeliling. Perlahan ingatanku merangsek masuk kembali.
Tubuhku yang baru saja kuregangkan melemas seketika. Ah. Tidak. Tidak. Tidak. Kugelengkan kepala dengan cepat berharap semua kejadian dalam ingatanku itu hanya mimpi. Namun melihat Garda yang terkekeh menahan tawa, menjelaskan semuanya. Benar, sepertinya semuanya benar-benar terjadi.
"Tahu tidak? Ah. Kau pasti tidak tahu. Biar kuberi tahu, aku sudah berbaik hati menahan diri sekuat tenaga. Jadi kau harus berterimakasih dengan sangat tulus padaku," ujar Garda yang kini mendekatiku.
Hap.
Bokongnya mendarat di atas sofa tepat di sampingku. Membuatku membeku bahkan tanpa sadar menahan nafas.
"I-itu aku, di bawah kendali. Aku tak melakukannya atas keinginanku," ucapku tanpa menatapnya.
"Ah yang benar? Kau tau. Kau agresif sekali. Bahkan aku hampir menyerangmu balik. Ah. Aku menyesal tidak pasrah menerima seranganmu tadi," rengeknya dengan nada merajuk lalu menyenderkan kepalanya di pundakku.
"Ih! Apaan sih. Aku kesal tahu! Kau tahu! Sedikit saja kau telat apa yang akan terjadi padaku?" bentakku dengan nada lirih.
Terus terang aku benar-benar marah. Bagaimana bisa aku hampir kecolongan?
"Lalu kenapa kau malah membiarkannya masuk? Bukankah aku sudah melarangmu? kau sendiri yang menjadi penyebab semua itu menimpamu kan? Aku sudah bilang jangan pernah bukakan pintu untuk siapa pun kan? Bahkan jika itu keluarga kerajaan sekali pun," ucapnya penuh penekanan.
"Tapi yang kulihat bukan orang lain! Dia meniru wajahmu! Dia menirumu tidak kah kau tahu itu? Apa aku serendah itu dimatamu? Kenapa aku harus membukakan pintu jika itu bukan kau? Aku tak punya alasan untuk melakukan itu!" pekikku kini diiringi air mata yang mulai deras mengalir di kedua sisi pipiku.
"Dan apa? Aku penyebab semuanya terjadi? Kau sedang mengalahkan ku?" tambahku dengan nada sinis.
Masa bodo apa yang ia pikirkan tentangku. Iya. Aku memang cengeng. Lalu kenapa memangnya?
Meski begitu, aku tahu ia tengah menahan kekesalan di dadanya. Rasa leganya tidak lebih banyak dari pada kekesalannya. Aku bisa mengira-ngira seperti apa yang ia rasakan saat memergokiku tengah berada dalam pelukan pria lain. Kurang lebih sama seperti saat aku melihat Aldera dengan perempuan yang tak lain adalah musuhku sendiri.
"Untung dia belum menyentuhmu sama sekali. Andai aku telat sedikit saja, andai aku ... Ah ya tuhan! Bagaimana bisa aku membayangkannya. Sungguh aku tak sanggup Azalea," lirihnya dengan tangan gemetar.
"Kenapa? Jika itu terjadi memangnya kenapa? Apa kau tak akan mau menerimaku lagi seandainya itu terjadi?" tanyaku menantang.
Jelas aku tahu kekhawatiran yang ia maksud. Namun entah kenapa emosiku memuncak tak terkendali. Aku marah pada bajingan yang menyamar menjadi Garda. Aku benci sampai ingin mengutuknya. Namun yang ada di hadapanku hanya Garda, dan aku butuh pelampiasan.
"Azalea!" bentak Garda dengan wajah frustrasi.
Sontak aku terbelalak kaget mendengar suara tingginya saat menyebutkan namaku. Aku pun beringsut menjauhinya sambil terus terisak.
"Aku sendiri tak tahu apa yang akan aku lakukan jika itu terjadi. Karna itu suatu kemungkinan yang tak akan pernah terjadi. Selama ada aku. Kau aman. Sudah kubilang, kau aman. Jangan membayangkan hal yang tidak-tidak seperti itu. Jangan. Kumohon jangan," tuntutannya dengan nada frustrasi.
"Lea kumohon jangan begitu, Kemarilah. Maafkan aku ... Aku khilaf. Aku salah. Maaf aku sudah membentakmu. Kita dijebak. Kita sudah dikelabui," bujuknya sambil mencoba meraih lenganku.
Plak!
Kutepis lengannya lalu kudorong hingga ia terpojok ke sudut sofa. Terlihat ia lemah tak berdaya. Sepertinya Garda benar-benar kehabisan tenaga.
"Luapkan amarahmu jika itu membuatmu lega. Ayo Lea, kemarilah," pintanya dengan wajah lesu.
"Aku mau pergi dari sini saja! Aku tak sanggup! Bahkan kau tak tahu seberapa takutnya aku sekarang kan? Bagaimana jika hal seperti itu terjadi lagi! Siapa pun bisa menyamar menjadi dirimu kan? Lalu bagaimana bisa aku tahu kalo kau itu benar-benar Garda atau bukan!" bentakku padanya.
"Ini benar-benar aku Azalea. Tatap mataku. Lihat aku baik-baik. Aku yakin kau bisa membedakannya, aku tahu kau bisa," ujarnya lalu perlahan tapi pasti ia meraih lenganku dan menariknya lembut.
Benar. Aku memang yakin dia adalah Garda. Dan saat kejadian itu pun juga aku ragu kalo jin merah itu adalah Garda. Namun sialnya kata-katanya menghipnotisku. Makanya aku terjebak.
"Lihat? Aku Garda. Suamimu," bisiknya.
"Maaf. Jangan menangis. Sudah cukup. Aku yang salah. Maafkan aku meninggalkanmu, padahal aku yang membawamu, dan menyeretmu dalam kehidupanku. Maaf sudah menuntutmu terlalu banyak," tambah Garda sambil membelai rambutku penuh perasaan.
"Jangan pergi lag-gi. Jangan tinggalkan ak-khu hiks-hiks," ucapku terbata.
"Aku akan menjamin keselamatanmu kedepannya. Percayalah."
Cup.
Sebuah kecupan dalam dan penuh sayang, mendarat di keningku. Kupejamkan kedua mataku merasakan dingin bibir lembutnya di keningku yang hangat.
"Kau demam. Beristirahatlah lagi, akan kubuatkan bubur ya," ujarnya lalu merebahkan tubuhku lagi ke atas sofa.
"Kau mau kemana?" tanyaku saat ia bangkit hendak beranjak.
"Aku mau ke dapur, membuat bubur, tunggulah."
"Aku ikut, aku baik-baik saja kok," ucapku meyakinkannya.
"Baiklah, kau lihat saja oke?" Segera aku mengangguk mengiyakannya.
Sambil mengekornya berjalan menuju dapur, kuedarkan pandangan, ternyata ruang aula tadi hanya sebagian kecil dari ruangan lainnya. Tempat ini terlihat seperti apartemen mewah. Ah, atau kondominium ya? Ini bahkan lebih luas dari rumah-rumah gedong yang pernah kulihat di televisi. Semua peralatan di sini canggih dan unik.
"Apa kita benar-benar di dunia manusia?" tanyaku tiba-tiba.
"Hm," jawabnya sambil mengangguk.
"Tepatnya ini adalah sebuah kondominium pribadiku. Semacam apartemen. Tapi aku mengurusnya sendiri. Tak seperti di hotel, jadi kalo kau membutuhkan sesuatu, katakan saja padaku, lantaran di sini tak ada pelayan jadi akulah asisten pribadimu di sini, yang mulia ratu Azaleaku," ujarnya bangga.
"Jadi kau melakukan semuanya sendirian? Termasuk bersih-bersih?" tanyaku sambil memiringkan wajah.
"Ah ... Ya, itu, terkadang aku meminta Lodyar untuk beberapa pekerjaan ringan seperti itu," jawabnya sambil terkekeh.