Chereads / The Meliorism: Land of Survivor / Chapter 2 - The Chaos

Chapter 2 - The Chaos

Sementara itu di sisi lain kota, berjarak beberapa kilometer dari laboratorium WHO, tepatnya tidak terlalu jauh dari pusat kota, dua orang perempuan yang tadinya menikmati perjalanan mereka, kini harus berhenti sejenak lantaran mobil yang dikendarai tadi mengalami mati mesin. Mereka pun terlibat dalam adu mulut yang di antara keduanya tidak ada yang ingin mengalah. Salah satu dari mereka berdua, seorang gadis dengan rambut sepanjang bahu dengan surai berwarna hitam kecokelatan, menggerutu dengan penekanan di setiap kosakata yang ia lontarkan, sedangkan yang satunya, gadis dengan surai yang lebih pendek, hanya bisa pasrah dan menerima gerutuan sahabatnya itu.

"Sudah kubilang dari berbulan-bulan yang lalu, servis mobilmu, ini sudah lewat dari tenggat waktu."

"Aku tahu, aku tahu."

"Lihat ini."Asterin Jyscal membuka kap mobil dan menunjukkan sesuatu pada Maggie Morgan. "Olinya kering, seharusnya kau menggantinya setiap enam bulan sekali atau saat mencapai 10.000 km. Selain itu lihat ini juga."

Kalau sudah urusan mobil, Maggie tidak bisa melawan Asterin. Gadis itu bergelut di dunia permesinan sejak usianya masih 11 tahun bersama sang ayah. Selama ini Maggie tidak pernah memperhatikan kesehatan mobilnya lantaran kesibukannya di pekerjaan. Biasanya ia menitipkan mobilnya itu kepada sepupunya, namun karena sama-sama hanyut ke pekerjaan, akhirnya mobil milik Maggie pun lama tidak digunakan. Kebetulan apartemennya berada di blok yang sama dengan kantornya, sehingga ia selalu berjalan kaki. Selain itu, posisi apartemen Maggie juga strategis, tidak jauh dari supermarket dan tempat perbelanjaan.

"Baiklah, baiklah."Maggie memotong ucapan Asterin yang sedari tadi tidak berhenti mengomel. "Aku akan menghubungi temanku yang bekerja di bengkel."Maggie merogoh ponsel dari tasnya, namun kebetulan saat itu juga ia mendapat panggilan masuk dari seseorang.

"Lucien meneleponku. Ponselmu mati?"tanya Maggie kepada Asterin. Gadis berambut kecokelatan itu menggeleng. "Sepertinya masalah jaringan, jawab saja teleponnya."ucap Asterin. Maggie mengangguk dan segera menjawab telepon Lucien.

"Ada apa–"

"Tidak ada waktu. Kalian ada di mana sekarang?"

Maggie sedikit menjauhkan ponselnya saat intonasi bicara Lucien terdengar tinggi dan terburu-buru.

"Ka-kami di–"

"Apa kalian perlu tumpangan? Aku akan menjelaskannya di jalan, kita tidak punya banyak waktu."

Maggie hanya bisa ber-hah tanpa tahu apa yang terjadi dengan Lucien. Napasnya terdengar memburu dan itu membuat Maggie mengerutkan keningnya. Pertanyaan Lucien barusan membuat dirinya menoleh ke arah mobil Hyundai Sonata-nya. Kedua matanya membulat saat mobilnya tersebut berhasil dinyalakan oleh Asterin dalam waktu singkat.

"A-apa yang kau lakukan? Kenapa bisa menyala?"tanya Maggie kebingungan, sementara mobilnya tadi tidak bisa di-starter berkali-kali.

"Kali ini kita beruntung, aku hanya mencoba menyalakannya lagi. Kemarikan ponselmu."jawab Asterin mengulurkan tangannya. Maggie segera memberikan ponselnya.

"Apa yang terjadi?"tanya Asterin dengan nada biasa, mereka berdua kemudian segera memasuki mobil.

"Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang. Dengar, kalau kalian perlu tumpangan, aku akan menjemput."

"Tenanglah, mobil Maggie kali ini aman, kami bisa menyusul."

"Baiklah kalau begitu. Temui aku di apartemen, oke? Keadaan darurat, berhati-hatilah di jalan."

Sambungan telepon terputus dari Lucien. Asterin mengembalikan ponsel tersebut kepada Maggie.

"Kita ke apartemen Lucien, berhati-hatilah mengemudi kali ini."pesan Asterin kemudian mereka berdua mengenakan seatbelt. Maggie mengangguk paham lalu mulai tancap gas di jalan raya yang tidak terlalu sepi.

Jarak dari tempat mereka berhenti ke apartemen Lucien kurang lebih sekitar enam kilometer. Maggie pun mulai menaikkan kecepatan mobilnya saat mereka masuk ke jalan tol. Sesekali Asterin berteriak kaget saat Maggie beberapa kali nekat menyelip mobil serta truk di jalanan dengan kecepatan yang tidak biasa.

Tidak pernah mengira sebelumnya bahwa Maggie harus tinggal di Albuquerque dalam waktu yang cukup lama. Pekerjaannya sebagai seorang penulis buku membuatnya harus melakukan penelitian yang cukup lama di Cibola National Forest. Sembari melakukan penelitian, Maggie juga bekerja di salah satu stasiun televisi sebagai seorang jurnalis. Padatnya siklus pekerjaannya membuatnya harus bisa membagi waktu. Keliru dalam manajemen waktu, maka ia sendiri yang akan merasakan dampaknya.

Berbeda dengan Asterin. Gadis itu sudah tinggal di Albuquerque sejak usia empat tahun. Pertemuan mereka berawal dari sebuah sekolah kejuruan di Boston, yang di mana Asterin dua tingkat di bawah Maggie saat mereka masih berstatus siswa. Gadis itu kemudian mengambil kuliah di kampus yang sama dengan Lucien namun beda angkatan dan beda jurusan. Ia sendiri mengambil double degree, hubungan internasional serta administrasi bisnis.

Sepanjang perjalanan, mereka dilewati oleh truk pemadam serta mobil polisi dengan sirene yang memekakkan telinga. Baik Maggie maupun Asterin saling bertukar pandang. Mereka tidak berbicara lantaran kepala mereka dipenuhi tanda tanya.

"Mereka mengarah ke laboratorium tempat Lucien magang, bukan?"Maggie memberanikan diri membuka obrolan. Degup jantungnya terasa lebih cepat dari biasanya. Tidak hanya truk pemadam dan mobil polisi. Beberapa kendaraan militer pun ikut menyusul beserta mobil dari stasiun televisi. Keadaan tiba-tiba berubah mencekam, membuat bulu kuduk merinding seketika.

"Kebakaran? Perampokan? Teroris?"terka Maggie.

"Pastinya lebih buruk dari itu semua. Lebih baik kita bergegas ke apartemen."ucap Asterin dengan suaranya yang bergetar.

***

Setibanya di basement apartemen Lucien, mereka segera masuk dan menaiki lift hingga ke lantai 31. Apartemen tempat Lucien tinggal bisa dikatakan apartemen yang mewah lantaran interiornya yang terkesan futuristik dengan perpaduan warna putih dan abu-abu, serta lokasinya yang berada tepat di pusat kota.

Sesampainya di depan pintu apartemen, Asterin langsung mengetik kode di gagang pintu untuk membukanya. Terdengar bunyi akses kunci diterima, lalu pintu langsung terbuka dengan sendirinya dan Lucien sudah menunggu di baliknya dengan kondisi berantakan. Seragam laboratoriumnya masih menempel di tubuh kurusnya. Keringat membasahi pelipis dan juga lengannya, padahal suhu udara di apartemen lebih rendah dari suhu di luar.

"Syukurlah kalian tepat waktu. Biar kutebak, 113 km/jam?"tanya Lucien disela-sela kepanikannya, sengaja mencairkan suasana agar tidak terlalu tegang.

"115 km/jam dan aku hampir mati. Baiklah kita lanjutkan ke topik."jawab Asterin langsung masuk ke apartemen Lucien. Pria berkacamata itu terperanjat, lalu beralih ke Maggie yang hanya bisa mengangkat bahu.

"Bukan salahku, kan? Aku hanya mengikuti instruksi. Mengemudi dengan kecepatan itu masih tergolong aman."ucap Maggie dengan raut wajah tidak bersalah. Ia kemudian masuk menyusul Asterin. Lucien hanya bisa menggeleng dan memutar bola matanya. "115 km/jam?!"serunya.

Karena sudah terlalu sering mampir ke apartemen Lucien, Asterin sudah terbiasa dengan berbagai peralatan serta perabotannya yang super canggih. Maggie yang jarang berkunjung hanya dapat mengagumi perabotan serta dekorasi ruangan yang sangat mengesankan. Sebuah kaca raksasa di ruang tengah menampilkan pemandangan seluruh kota dari ketinggian 145 meter. Tepat di seberang sana, terlihat kepulan asap berwarna hitam yang membumbung tinggi ke langit. Suara sirene pun bersahut-sahutan di luar sana.

"Percaya tidak percaya, lusinan pekerja di laboratorium bermutasi menjadi sosok makhluk kanibal. Entah apapun itu, mereka telah membunuh Profesor Edgar." Lucien meletakkan nampan berisi tiga cangkir kopi di atas meja kaca yang bening. Baik Maggie maupun Asterin sama-sama tercengang.

"Aku tidak ingin percaya tapi kejadian itu membuat situasi saat ini runyam."lanjut Lucien.

"Len, apa ada orang yang tidak percaya jika salah satu mahasiswa kebanggaan kampus berani berucap seperti itu? Aku rasa tidak ada."ucap Maggie menyeruput kopinya sembari memandang keluar jendela, menyaksikan kepulan asap yang kian menebal. Hari beranjak siang dan matahari perlahan berada di titik tertingginya.

"Kau mau kami melakukan apa?"tanya Asterin duduk bersila lalu menyalakan televisi dan langsung mencari saluran yang menyiarkan berita saat ini. "Membantumu saat hadir di konferensi pers nanti?"

Lucien bersedekap sembari berjalan mengitari ruangan. Kejadian barusan sebenarnya tidak ada sangkut paut dengan Maggie dan Asterin. Orang-orang yang berada di laboratorium pun kemungkinan besar bisa ditangani oleh pihak berwenang, sehingga bisa dipastikan orang-orang di kota akan baik-baik saja.

"Guys, aku tidak mau memperburuk suasana, tapi lihat itu.."Maggie menginterupsi kedua temannya. Sontak Asterin dan Lucien pun beranjak dan melihat apa yang dilihat Maggie di luar sana. Para warga Albuquerque terlihat berlari disertai kepanikan di sepanjang jalan raya. Klakson kendaraan pun bersahut-sahutan di tengah bisingnya suara sirene. Terlihat dari kejauhan kobaran api dari laboratorium kian membesar dengan asap hitam yang mengotori langit.

Seperti ada yang menepuk dada Maggie, gadis itu spontan berbalik dan meraih remote tv di atas sofa. Ia menaikkan volume hingga suaranya memenuhi ruangan. Asterin dan Lucien berbalik dan memperhatikan televisi. Sorot kamera televisi beberapa kali tidak stabil dan terdengar suara teriakan serta raungan yang mengerikan. Tidak ada reporter sama sekali di depan kamera, hanya kameramen yang masih berusaha menyiarkan apa yang terjadi di depannya.

"Suara apa itu?"celetuk Asterin. Ternyata tidak hanya Maggie, Asterin pun dapat mendengar raungan di siaran televisi dengan jelas. Mereka berdua kemudian sama-sama menatap Lucien. Pria itu menghela napas, jelas ia tahu sumber suara itu dari mana. Kameramen di siaran tersebut terjatuh dan siaran langsung hilang.

"Makhluk yang mengejarku."

Bersamaan saat itu juga, telepon apartemen Lucien berdering di sudut ruangan. Pria itu bergegas berjalan ke arah telepon dan menjawabnya. Perasaan Lucien menjadi tidak enak karena hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahui nomor telepon apartemennya.

"Ini Lucien."jawabnya tergagap.

Lawan bicaranya belum mengucap sepatah kata, hanya terdengar suara orang-orang yang memerintah. Lucien menunggu hingga lawan bicaranya itu meresponnya.

"Lucien Jayden? Kau diperintahkan untuk menemui Direktur WHO dan kepala laboratorium di Pangkalan AU Kirtland saat ini juga."suara berat seorang pria terdengar di sana. Ia juga terdengar sedang memerintah seseorang di sana untuk melakukan evakuasi warga.

"Apa? Anda siapa kalau boleh tahu?"Lucien memasang ekspresi bingungnya. Selama menjadi mahasiswa magang, ia tidak pernah diperintah layaknya seorang tentara atau anggota kepolisian, sehingga wajar ia bingung dan kurang memercayai orang tersebut walaupun ia mengetahui nomor teleponnya.

"Kapten Archibald Winter dari US Army, kuharap jawaban itu memuaskan."