Chereads / The Meliorism: Land of Survivor / Chapter 4 - Fake Report

Chapter 4 - Fake Report

Hari mulai beranjak siang. Matahari kini berada di titik tertingginya, memberi kehangatan dan juga penerangan untuk semua orang. Namun karena saat ini Albuquerque berada di musim panas, maka pancaran sinar matahari membuat semua warganya untuk menghindar dari panas yang menyengat. Mereka lebih memilih untuk berdiam di rumah, bersantai di bawah terpaan angin AC dan ditemani segelas jus yang dapat melepas dahaga.

Tetapi untuk saat ini, rangkaian kegiatan musim panas tersebut harus dibatalkan. Sebuah kejadian besar baru saja menimpa salah satu fasilitas kesehatan terbaik di dunia, laboratorium riset milik WHO (World Health Organization), atau yang biasa dikenal dengan Organisasi Kesehatan Dunia. Laboratorium riset ini merupakan fasilitas mutakhir yang dimiliki oleh mereka. Segala jenis penelitian mengenai virus asing dilakukan tepat di tempat ini. Pemilihan lokasi di Albuquerque merupakan salah satu keputusan dari hasil rapat bersama para petinggi dunia. Guna kelancaran dan mengoptimalkan rangkaian penelitian, Albuquerque adalah pilihan yang tepat.

Tepat saat Lucien Jayden akan melaksanakan kegiatan magang di minggu keduanya, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa salah satu pembimbingnya, yaitu Profesor Edgar, menjadi korban pertama akibat serangan manusia kanibal–untuk saat ini disebut seperti itu, di laboratorium yang menjadi tempat Lucien magang. Tidak menyangka bahwa hal tersebut terjadi, ia pun bergegas untuk pergi dengan membawa beberapa barang laboratorium yang baginya penting. Lusinan makhluk kanibal yang sebelumnya terkurung di salah satu gudang, akhirnya terbebas dan berusaha menyerang Lucien, namun pria itu berhasil lolos dan mengunci mereka di dalam.

Entah bagaimana hal tersebut bisa terjadi, tidak lama setelah itu terjadi ledakan besar yang mengakibatkan seluruh pekerja di laboratorium harus dievakuasi. Laporan Lucien mengenai bahwa ada makhluk mengerikan di dalam laboratoriumnya, ditangani dengan sigap oleh pasukan dari kepolisian dan militer. Lucien kira hal tersebut sudah usai lantaran kejadian barusan dapat ditangani, namun ia salah memperkirakan. Tidak tahu apa yang terjadi di sana, tetapi apa yang ia lihat di saluran televisi sepertinya sudah menjawab seluruh teka-teki di kepalanya.

***

Lucien memperbaiki posisi duduknya di hadapan para petinggi dan pejabat berwenang. Setelah kurang lebih 20 menit menjelaskan apa yang terjadi di laboratorium, ia meraih gelas berisi air mineral di depannya. Berbicara di depan orang dewasa dengan jabatan yang tidak main-main membuatnya gugup namun ia harus tetap profesional. Sebagai salah satu mahasiswa andalan kampus, Thomas Oliver, direktur WHO, tidak merasa kecewa telah mengambilnya untuk magang di laboratorium. Selain kecerdasannya, Lucien dapat menangani kepanikannya dan masih fasih berbicara dengan sopan di ruang rapat.

"Kami sudah menerjunkan anggota terbaik untuk menangani dan mengevakuasi warga guna mencegah hal buruk terjadi. Beberapa ilmuwan dari kantor pusat saat ini sedang dalam perjalanan menuju kemari. Kami juga meminta mereka yang di sana untuk mengamankan jenazah Edgar untuk diautopsi."jelas Letnan Jenderal US Army. Pria berkumis itu tengah mengetik sesuatu di laptopnya.

"Evakuasi warga sipil saat ini sudah berjalan 40%. Warga yang tinggal dalam radius 10 kilometer akan diungsikan ke tempat yang layak hingga situasi membaik. Setelah itu, kami akan membangun perimeter selama kawasan tersebut masih dalam level tidak aman."lanjut Letnan Jenderal US Air Force, seorang pria berkacamata dengan usia kisaran 45 tahun.

"Untuk saat ini, kami belum bisa membawamu ke pengungsian. Sebagai salah satu pemuda dengan kecerdasan di atas rata-rata, kami membutuhkanmu."kepala laboratorium kini berucap.

Lucien mau tidak mau harus menerimana tawaran–permintaan tersebut, apalagi yang memintanya adalah seorang pejabat yang sangat ia hormati. Pria berambut ikal hitam itupun mengangguk setuju.

"Saya setuju."

***

Maggie meletakkan nampan berisi beberapa jenis makanan di depan Asterin. Berbeda dengan porsi milik Asterin, porsi milik Maggie seperti porsi orang yang tidak makan selama satu minggu. Tidak hanya makanan pokok, bahkan makanan penutup dengan beberapa gelas minuman juga ada di nampan satunya yang baru saja diantar pelayan kantin.

"Di luar sana sedang mengalami kekacauan dan kau masih berpikir untuk makan dengan tenang?"tanyanya dengan intonasi yang tinggi. Kedua matanya melotot saat pertanyaannya direspon dengan cengiran khas Maggie.

"Menghadapi bencana juga perlu tenaga, bukan?"tanpa basa-basi, Maggie langsung melahap makan siangnya yang masih hangat. Asterin menggeleng melihat tingkah Maggie. Ia sama sekali tidak melihat keraguan di mata sahabatnya itu.

Walaupun porsi makanan Maggie lebih banyak dari Asterin, gadis itu tetap dapat melahap seluruh makanannya lebih cepat, bahkan tanpa ada noda di piring dan mangkuknya.

"Kau bahkan makan lebih cepat dari seekor babi."ucap Asterin satir. Maggie hanya menanggapi dengan anggukan selagi ia masih melumat suapannya yang terakhir.

"Tidak apa, setidaknya aku tidak makan lebih lambat dari seekor kungkang."timpal Maggie, kemudian gadis itu beranjak dari duduknya, nyelonor pergi entah ke mana, mungkin ke kamar kecil.

Asterin melanjutkan makannya dengan wajah yang bersungut-sungut. Ia memang terbiasa makan dengan tempo lambat, bukan berarti ia lama mengunyah, namun setiap makanan yang berada di mulutnya, selalu ia resapi rasanya serta ia nikmati berbagai jenis bumbu penyedap di dalamnya.

Kantin yang sebelumnya ramai oleh beberapa tentara yang tidak dalam jadwal bertugas, kini mulai sepi dan hanya tersisa satu atau dua orang yang masih mondar-mandir mengambil minum. Asterin pun tidak peduli dan tetap melanjutkan makannya, hingga tidak lama kemudian, seorang pria berbadan besar dengan seragam militer dan juga senjata di tangannya, menegur Asterin di sampingnya. Gadis itu hampir tersedak lantaran terkejut.

"Permisi, Nona. Apa kau keberatan jika aku bertanya satu atau dua pertanyaan?"pria tersebut bertanya tanpa ada senyum di wajahnya yang kelihatan garang. Asterin hanya bisa menggeleng selagi mulutnya masih penuh dengan makanannya. Ia menyipitkan matanya saat memperhatikan pria berbadan besar itu, seolah tidak asing dengan perangainya.

"Kau memperhatikanku. Apa kau mengenalku?"pria itu bertanya sembari membolak-balikkan lembaran kertas di tangannya. Suaranya yang dalam membuat bulu kuduk Asterin berdiri, belum lagi wajahnya yang kelihatan garang.

"Sekilas. Bukankah kau Archibald Winter?"Asterin memberanikan dirinya untuk bertanya. Tentara itupun mengangguk tanpa menoleh, seakan sudah tidak kaget bahwa banyak orang yang mengetahui tentang dirinya. "Apa kau benar-benar masih perjaka?"

Spontan Asterin menutup mulut dengan kedua tangannya. Sial, ia merutuk dirinya dan mulutnya. Pertanyaan tersebut terlontar tanpa disaring lebih dulu, membuat gadis itu merasakan gemetar yang hebat di sekujur tubuhnya.

Sang tentara kemudian reflek merogoh pistol magnum dari holder di pinggangnya, kemudian menodongkannya di kepala Asterin. Sontak gadis itu membeku tidak berani bergerak. Ia melirik ke tentara tersebut yang tangan satunya masih mencari-cari sebuah kertas yang ia pegang.

"Hei apa-apaan kalian?!"

Asterin dan Archibald menoleh ke sumber suara. Lucien yang berada di pintu kantin kini berlari menuju pacarnya yang ditodong oleh tentara yang tidak ia kenal. "Hei pria besar! Turunkan senjatamu itu!"tegur Lucien. "Kau kira dia mata-mata musuh?"lanjutnya dengan kesal.

Archibald kemudian menurunkan senjatanya dan menyimpannya kembali. Sekilas Lucien dapat melihat wajah tentara tersebut memerah tanpa alasan yang ia tahu.

"Apa-apaan itu tadi? Kau melakukan apa?"Lucien menggoyang-goyangkan pundak Asterin, penasaran dengan apa yang terjadi. Gadis itu menggeleng ketakutan dan tidak bersuara. Terlihat jelas Asterin merasa syok karena pertanyaan bodohnya itu. Archibald pun terlihat tidak tertarik untuk membahas hal tadi.

"Ketemu."ucap Archibald, lalu ia duduk tepat di depan Asterin dan Lucien. "Kau Lucien Jayden, bukan?"tunjuk Archibald. Lucien langsung mengangguk.

"Aku tadi yang menghubungimu dari pesawat telepon. Aku turut lega kau datang tepat waktu. Ini, kebetulan kau ada di sini."Archibald menyerahkan beberapa lembar kertas yang diberi penjepit yang di atasnya terdapat tulisan berwarna merah dengan cap stempel bertuliskan 'rahasia'. Lucien meraihnya dan membaca halaman sampulnya. Kedua matanya seketika membulat saat membaca baris pertama dari dokumen yang ia terima.

"Proyek penelitian virus asing dari tambang mineral di Afrika Selatan merupakan ilegal?"intonasi bicara Lucien berakhir mengecil. Asterin ikut melirik apa yang sedang dibaca oleh Lucien. Pria itu kemudian membuka halaman demi halaman, mencari informasi lainnya. "Profesor Edgar Manhattan lalai dari pekerjaannya? Apa maksudnya ini?"kali ini intonasinya kembali meninggi.

"Mungkin kau akan tertarik untuk membaca halaman paling belakang."saran Archibald, kedua tangannya terkatup di atas meja. Lucien segera membalik kertas hingga halaman paling belakang. Alisnya bertaut saat membaca satu kalimat yang kini membuat jantungnya memompa dua kali lebih cepat.

Lucien Jayden adalah pelopor dari terbentuknya misi penelitian ilegal di Afrika Selatan

Keheningan dan ketegangan menyelimuti mereka. Tidak ada suara yang menginterupsi, hanya suara detak jantung yang terdengar keras di telinga. Kedua tangan Lucien bergetar dan keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Ia berusaha untuk tetap stabil dan tenang. Selama magang, ia mengaku ia tidak pernah menjadi pelopor dalam misi penelitian, yang ia lakukan hanyalah meneliti sampel yang telah diambil.

"Tenanglah, berkas ini palsu."

Lucien dan Asterin spontan menatap Archibald yang kini memasang ekspresi tanpa rasa bersalah. Ia bersiap untuk berdiri tanpa mengucap sepatah kata pun. Ia menyimpulkan bahwa Lucien dapat mencari lebih tahu siapa dalang dari pemalsuan dokumen tersebut.

"Apa maksudnya ini? Kau dapatkan dari mana?"Lucien memaksa Archibald untuk menjelaskannya. Pergi begitu saja bukanlah jawaban dari teka-teki di kepala Lucien. Sebelum beranjak pergi, Archibald membisikkan sesuatu yang hanya dapat didengar oleh mereka saja.

"Ruang rahasia di laboratorium."

Sebelum melangkah pergi, Archibald tidak sengaja berpapasan dengan Maggie yang baru saja selesai dengan urusannya di toilet. Ia sedikit terkejut karena ia berada di hadapan tentara berbadan tegap dan besar. Namun saat itu juga, ia teringat sesuatu dan melontarkan pertanyaan yang seharusnya tidak ia tanyakan.

"Ah! Kau Archibald Winter! Apa kau benar-benar masih perjaka?"

Pertanyaan polos dan mengundang emosi.

Baik Asterin maupun Lucien hanya bisa menunduk pasrah melihat keisengan Maggie yang kelewat batas. Archibald hanya mendengus dan hampir mengeluarkan pistolnya untuk menodong Maggie, namun di saat bersamaan, mereka merasakan ada sebuah ledakan yang berasal dari dalam markas.

"Ledakan?! Sial, kita harus ke ruang rapat sekarang!"seru Archibald lalu berlari keluar kantin dengan cepat. Mengingat bahwa di ruang rapat masih ada direktur WHO dan yang lainnya, Lucien juga ikut berlari untuk memastikan mereka aman, disusul oleh Maggie dan Asterin dari belakang.