"Aku bersumpah akan menghajar kalian!"
Di tengah-tengah larinya, Archibald masih sempat merutuk ketiga remaja yang baru saja ia temui. Kedua pelaku yang sebelumnya iseng menanyakan keperjakaannya, kini hanya tertawa kecil sembari berlari menyusul dari belakang.
"Ayolah yang benar saja, tidak ada waktu untuk bercanda."Lucien mengingatkan dengan wajahnya yang pasrah.
Setelah terjadinya sebuah ledakan yang mereka yakini berasal dari dalam markas, mereka berempat kini berlari menuju ruang rapat untuk mengamankan para petinggi yang sebelumnya masih berada di sana. Lucien keluar ruangan lebih dulu karena urusannya di sana sudah selesai hingga menunggu instruksi selanjutnya. Jarak antar kantin dan ruang rapat tidak terlalu jauh, namun yang membuat mereka terhambat adalah kekacauan dari para tentara yang kini berpapasan dengan mereka karena alarm tanda bahaya berbunyi.
"Seharusnya di sana ada yang jaga bukan?!"seru Maggie dari belakang, suaranya menggema di lorong panjang.
"Benar! Tapi aku tidak yakin saat ini!"jawab Archibald tanpa menoleh. Mereka menghindari kerumunan tentara yang berlalu-lalang di lorong dengan persenjataan lengkap. Archibald terlihat berbicara dengan seseorang melalui earpiece yang terpasang di telinganya, salah satu alat komunikasi rahasia yang digunakan oleh pasukan khusus.
"Ledakan itu tepat di belakang ruang rapat! Cepat ke sana!"seru Archibald dengan suaranya yang bergetar setelah salah satu anak buahnya memberi laporan. Walaupun kecepatan lari Archibald bisa dikatakan lebih cepat dari Lucien dan yang lainnya, namun jika dalam keadaan panik, maka apapun bisa terjadi, seperti saat ini, kecepatan lari Lucien, Asterin, dan Maggie kini lebih cepat dari biasanya, dan hampir bisa menyeimbangkan dengan Archibald.
BUM!
Ledakan kedua terdengar kembali, kali ini suaranya lebih keras dan lantai yang mereka pijak bergetar lebih kuat. Langit-langit markas pelan-pelan mulai runtuh karena ledakan tersebut. Mereka berempat berlari sembari menyeimbangkan tubuh mereka sekaligus menghindar dari material yang jatuh.
Saat berada di belokan lorong terakhir, lorong yang membawa mereka ke ruang rapat, mereka dikejutkan oleh ledakan kecil yang berjarak lima meter di depan. Archibald refleks berhenti berlari saat itu juga.
"Sial, bagaimana bisa ada granat di sini?"ucap Archibald kesal.
Meskipun ledakan granat tersebut tidak terlalu berdampak pada mereka, namun tetap saja suara ledakannya membuat kaget, apalagi Lucien, Asterin, dan Maggie yang tidak mempunyai pengalaman untuk menghadapi sebuah ledakan. Walaupun begitu, mereka tetap bergerak untuk mencapai ruang rapat untuk menjemput para atasan.
Pintu ruang rapat tersebut terbuka lebar dan seberkas cahaya terlihat dari dalam sana. Mereka pun melangkah maju dengan pelan untuk memastikan ruangan tersebut aman. Ruang rapat tersebut terkena ledakan pertama, sehingga dindingnya hancur separuh dan berlubang. Archibald sudah sigap dengan senjata di tangannya, sementara yang lainnya mengekori dari belakang.
"Oh, ini buruk, sangat buruk."nada suara Archibald mengecil saat matanya menangkap sosok bayangan manusia di dalam. Ia pun melangkah masuk ke dalam ruangan untuk memastikan apa yang ia lihat bukanlah apa yang di pikirannya.
"Apa? Apa yang kau lihat?"celetuk Maggie penasaran. Posisinya di paling belakang membuatnya terhalang untuk melihat ke dalam ruangan.
Archibald membungkuk dan memastikan matanya tidak salah melihat. Pria itu hampir tidak bisa mengontrol napasnya saat ia melihat empat mayat tergeletak dengan darah yang mengalir dari kepala mereka. Bau anyir pun mulai menyerbak hingga menusuk penciuman. Lucien hanya bisa terdiam saat melihat orang-orang yang tadinya berbicara dengannya di ruangan yang sama beberapa menit yang lalu, kini sudah terkulai tak bernyawa.
Baik Asterin maupun Maggie sama-sama membeku di tempat. Tubuh mereka gemetar tatkala mata mereka melihat secara langsung manusia yang mati dengan mengenaskan.
"Le-lebih baik, ki-kita kembali ke mo-mobil saja.."saran Lucien dengan tergugu-gugu. Mereka sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Menyesali sesuatu dan menangisi apa yang telah tiada bukanlah jalan keluar untuk saat ini.
Lucien berjalan mendekati Archibald yang masih terduduk di depan mayat letnan jenderal US Army. Pria itu menepuk pelan pundak Archibald, mencoba untuk memastikan pria itu melamun atau tidak. Mereka tidak bisa berlama-lama di sini, mereka juga harus menyelamatkan diri dari ledakan ataupun serangan makhluk kanibal yang kemungkinan besar berada di dekat mereka.
"Kau membawa kendaraan?"tanya Archibald tanpa menoleh. Kepalanya masih tertunduk.
"Ya. Untuk itu lebih baik kita segera pergi dari sini secepatnya."ucap Lucien cepat. Perasaannya campur aduk serta ia mulai merasa panik dengan keadaan sekitar. Biasanya Lucien tidak akan membiarkan kepanikan menguasai dirinya, namun untuk saat ini sepertinya sulit untuk mengatasinya. Selagi masih ada kesempatan untuk hidup, ia ingin memanfaatkannya dengan sebaik mungkin.
Archibald tak lama kemudian bangkit berdiri dan menghela napas. Sebagai seorang anggota tentara terbaik di dunia, ia tetap tidak akan melupakan jasa kedua letnan jenderal tersebut yang pernah mendidiknya saat pelatihan. Kali ini yang bisa ia lakukan hanyalah memberi penghormatan terakhir di depan kedua letnan jenderal tersebut.
"Ayo pergi."selesai dengan urusannya, Archibald pun kembali menormalkan suaranya. Lucien memimpin di depan bersama Archibald, disusul oleh Asterin dan Maggie. Mereka harus segera menuju mobil secepatnya.
***
Lucien bersyukur mobilnya dalam keadaan aman. Mereka pun segera masuk ke mobil dan meninggalkan markas yang beberapa bagian bangunannya sudah hancur akibat ledakan yang tidak mereka ketahui siapa pelakunya. Mobil SUV milik Lucien segera melaju di jalanan yang mulai sepi.
"Ngomong-ngomong, kita mau ke mana sekarang?"tanya Lucien dengan tatapan ke depan, ia berusaha fokus mengemudi. Di sampingnya ada Archibald yang terlihat murung, sorot matanya redup dan ia beberapa kali menghela napas.
"Mampir sebentar ke apartemenku, aku harus mengambil sesuatu."jawabnya lesu, lantas mengalihkan pandangan ke luar. Lucien mengangguk paham tanpa berkata apapun.
Mereka berada di posisi yang masih jauh dari pusat kota. Keadaan jalan raya tidak terlalu banyak dipenuhi oleh kendaraan. Siaran darurat sudah berlangsung sejak setengah jam yang lalu, bahwa untuk saat ini, seluruh warga di luar radius 10 kilometer diharapkan untuk tetap diam di rumah, sementara itu, warga yang tinggal dalam radius 10 kilometer, harus segera mengungsi ke tempat pengungsian yang telah disiapkan.
Perjalanan berlangsung hening tanpa ada yang berani bersuara, bahkan Maggie dan Asterin yang biasanya usil, kini diam tak berucap, bahkan untuk sekadar menelan saliva pun sulit bagi mereka. Archibald memandang pemandangan kota melalui jendela. Tangan kanannya bertumpu di pintu mobil guna menopang dagunya. Tidak seperti biasanya ia merasa semurung ini.
Setelah berada di mobil dalam beberapa menit, kini mereka tiba di pos pengamanan yang sudah didirikan untuk mengamankan kota di radius 10 kilometer. Evakuasi warga sudah berjalan 90%, hanya tersisa beberapa tentara yang kini menangani kawasan laboratorium.
"Bagaimana keadaan di laboratorium?"tanya Lucien terhadap tentara yang berjaga.
"Informasi terakhir yang kami dapat, para makhluk kanibal itu mulai menyerang warga dan juga tentara lainnya."suara prajurit itu terdengar gugup. Spontan Archibald, Maggie, dan Asterin menoleh ke tentara tersebut. Ekspresi prajurit tersebut seketika terkejut saat melihat Archibald berada di dalam mobil. Lantas Archibald pun turun dari mobil dan mendatangi tentara muda itu.
"Bagaimana itu bisa terjadi? Apa yang sebenarnya terjadi di sana?"
Tentara muda itu terlihat ketakutan, terlihat dari kaki-kakinya yang gemetar hebat, entah karena kejadian saat ini, atau karena ia berada di hadapan seorang tentara terbaik di dunia.
"Pengamanan sangat sulit dikendalikan. Makhluk kanibal itu sangat kuat dan menyerang manusia di sekitarnya."jawab tentara muda berusaha untuk tetap rileks.
"Lalu?"Archibald menukikkan alisnya.
"Lantas manusia itu bermutasi menjadi satu spesies dengan mereka."Maggie menjawab langsung. Ia menyodorkan ponselnya yang kini merekam secara langsung kejadian yang terjadi di pusat kota. "Kau lihat? Tidak semuanya ikut berubah menjadi spesies kanibal."
"Kau dapat ini dari mana?"tanya Archibald dengan mata yang masih menonton siaran dari kamera yang ia duga adalah CCTV.
"Mudah, aku meretasnya, baru saja."jawaban enteng dari seorang Maggie Morgan yang biasanya melakukan tindakan konyol. Ia kemudian mengukir senyum tipis di wajahnya. "Tidak hanya satu tempat, kau bisa menggesernya. Aku meretas kamera CCTV di beberapa gedung, apartemen, persimpangan jalan, dan juga tiang listrik."
"Aku tidak tahu kau bisa meretas CCTV."ucap Asterin bingung, kepalanya miring ke kanan.
"Sekarang kau tahu."respon Maggie dengan santai.
"Kalau begitu, segera laporkan situasi saat ini ke pusat. Aku akan ke sana untuk memeriksa."perintah Archibald, kemudian ia masuk kembali ke dalam mobil. "Aku ingin sebelum tengah malam, pasukan khusus sudah tiba di sini, ini perintah dari Kapten Winter."
"Ba-baik–Siap, Kapten!"tentara itu memberi hormat lalu kembali ke pos penjagaannya. Archibald mengangguk, lalu mobil kembali berjalan. "Baiklah, kini giliran kita."katanya dengan santai.
"Tu-tunggu! Apa maksudmu giliran kita?"Lucien menoleh, berharap Archibald tidak melakukan hal gila.
Archibald tidak menjawab. Ia kemudian menyiapkan senjatanya. Namun setelah itu, ia teringat sesuatu, satu hal penting yang ia lupa. Wajahnya seketika tegang dan giginya bergemeretak. Pria berbadan besar itu merogoh ponselnya lalu mencoba untuk menghubungi seseorang. Nada sambung telepon akhirnya terdengar.
"Halo? Helga? Di mana kau sekarang? Apa kau aman?"intonasi suara Archibald berubah, berbeda saat berbicara dengan Lucien dan yang lainnya.
"Archie?! T-tolong! Argh!!"
"Helga?! Helga!!"serunya saat wanita yang berada di seberang telepon tidak merespon apa-apa. Jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya. Tidak, ia tidak ingin kehilangan lagi. Sudah cukup kedua orang tuanya dan juga anak buahnya, namun jangan dengan wanita ini.
Tidak ada jawaban dari seorang wanita bernama Helga. Ekspresi panik dan sedih bercampur jadi satu di wajah Archibald. Ia kemudian mendengar suara raungan keras yang di mana raungan tersebut familiar dengan suara Helga.
Archibald memutus sambungan teleponnya. Ia terlalu syok dan kaget mendengar bahwa wanita yang ia hubungi tadi telah diserang atau bahkan telah berubah menjadi makhluk kanibal yang berwujud mengerikan. Pria itu menggeram, lantas mengeratkan kepalan tangannya sekuat mungkin. Ia tidak bisa menangis, sehingga tidak ada setetes air mata mengalir dari sudut matanya.
Lucien menghentikan mobilnya saat ia melihat di kejauhan terdapat spesies kanibal yang kini berjalan ke arah mereka. Lucien memutuskan untuk mencari jalan lain, namun tangan Archibald menahan stir kemudi.
"Biarkan aku turun."ucapnya dingin, kemudian keluar dari mobil dengan perasaan sakit hati yang luar biasa.
Emosi kini menguasai Archibald Winter. Pria itu berjalan dengan santai sembari menyiapkan senjata yang sudah ia isi penuh dengan amunisi. Dalam jarak beberapa meter, pria itu berhenti dan kemudian menatap langit biru tanpa awan putih, namun dikotori oleh kepulan asap kebakaran dari laboratorium yang belum kunjung padam.
Seperti hilang akal, Archibald melepas semua senjata andalannya ke tanah, membuat Lucien bingung dan ingin segera menyusulnya. Seakan mengetahui Lucien akan menjemputnya, Archibald memberi kode untuk tetap diam di tempat. Kemudian untuk pertama kalinya dalam kurun waktu lima tahun, setetes air mata lolos dari sudut matanya. Ia benar-benar tidak tahan lagi, yang ia inginkan sekarang adalah balas dendam.
Ia menarik sebilah pisau dari celananya, kemudian berlari menghadapi kerumunan kanibal yang juga berlari ke arah Archibald. Pria itu dalam hati sudah menetapkan bahwa makhluk kanibal di depannya adalah spesies zombi.
Bagaikan hewan buas tak berperasaan, Archibald menyerang kerumunan zombi yang mengepungnya hanya dengan berbekal pisau. Ia berteriak kesal, kemudian tertawa puas, lalu berteriak kembali saat darah zombi menyiprat ke wajahnya. Terlihat jelas ia begitu menikmati permainannya. Lucien, Asterin, dan Maggie dapat melihat dengan jelas, bahwa Archibald yang mereka lihat sekarang layaknya sebuah mesin pembunuh.