Chereads / The Meliorism: Land of Survivor / Chapter 3 - Warmer in The Winter

Chapter 3 - Warmer in The Winter

Mobil SUV putih dengan sentuhan warna hitam di beberapa bagiannya melaju di jalan tol menuju Pangkalan AU Kirtland, berjarak kurang lebih 8 mil dari apartemen Lucien. Mereka membutuhkan waktu satu jam untuk bisa mencapai tujuan lantaran hampir semua ruas jalan terkena macet. Kemacetan tersebut disebabkan oleh kejadian yang terjadi di laboratorium. Tidak hanya ledakan yang beruntun, namun terdapat sosok makhluk yang kini menyerang manusia yang mereka lihat. Karena itu, hampir separuh warga Albuquerque kini berusaha mengungsi dari kota, sehingga kemacetan pun terjadi di sepanjang jalan keluar kota.

Di dalam mobil, Lucien fokus mengemudi walaupun pikirannya sedang mondar-mandir. Pria itu berusaha untuk tetap stabil di tengah hiruk-pikuk kota. Di sampingnya, Asterin hanya bisa duduk diam sembari menenangkan pacarnya itu. Beberapa kali ia mengusap pelan bahu seorang Lucien Jayden untuk memberi kenyamanan. Sementara itu di kursi belakang, Maggie berkutat di depan laptop miliknya dengan raut wajah yang berubah-ubah. Selang beberapa menit, ia mengendurkan keningnya, kemudian berkerut kembali, seakan ada hal yang membuatnya bingung.

"Bagaimana?"Asterin menoleh ke Maggie, memastikan Maggie mendapatkan akses jalan tercepat menuju markas AU. Gadis bersurai hitam pendek itu spontan menggeleng tanpa suara. Seluruh jalur yang ada pada fitur Maps kini berwarna merah. Asterin mengangguk paham kemudian mengalihkan pandangan.

"Lebih baik lewat jalan kecil saja, aku tahu jalan pintas, walau memakan waktu 10 menit lebih lama."ucap Asterin karena tidak tahan dengan kemacetan di depan mereka. "Kita bisa mati kaku menghadapi macet."

Lucien mengiyakan lalu ia banting stir, keluar dari jalur mobil, dan mengambil belokan yang mengarah keluar tol. Jalan tersebut melewati perumahan warga yang kini perlahan mulai ditinggali pemiliknya. Rasa takut benar-benar menguasai diri mereka hingga meninggalkan semua harta benda mereka.

"Ketemu."kata Maggie lega, ia pun menyandarkan tubuhnya. "Data arsip Archibald Winter, sulit sekali mencarinya karena dilindungi oleh berbagai macam kode pengaman."

"Lalu bagaimana kau bisa menemukannya?"tanya Asterin tanpa menoleh. Maggie tersenyum bangga dan menunjukkan sebuah flashdisk di tangannya.

"Micro-controller di dalamnya sangat berguna untuk meretas situs apapun. Sayangnya benda ini benar-benar dibatasi penggunaannya."jelas Maggie secara singkat. Lucien dan Asterin pun menoleh bersamaan.

"Milik siapa?"tanya Lucien menaikkan sebelah alisnya.

"Carlos."

Lucien menoleh ke Asterin, sorot matanya menunjukkan 'siapa itu Carlos'. Asterin menghela napas, tidak menyangka benda peninggalan yang krusial itu berada di tangan Maggie. "Mantannya yang terakhir."

"Yep. Pria itu memang brengsek, tapi aku beruntung bisa mendapatkan barang ini."lanjut Maggie dengan nada bangga. "Kalian tahu, dia meninggalkan ini di mobilku, sampai saat ini pun dia sudah lupa dan tidak pernah menanyakannya."

"Kenapa benda itu ada di mobilmu?"kali ini Asterin yang dibuat bingung.

"Ia mau menghapus video dewasanya dengan selingkuhannya, tapi ia lupa."

Hening. Jawaban Maggie benar-benar to the point. Baik Asterin maupun Lucien kini sama-sama membulatkan kedua mata mereka. Lucien hanya bisa melihat ekspresi Maggie dari spion tengah, sementara Asterin perlahan menoleh ke belakang. "For God's sake, kau tidak pernah menceritakannya."

"Tadi aku menceritakannya."ucap Maggie memamerkan deretan giginya. Asterin pun menggeleng dan menghela napas, memaklumi apa yang terjadi.

"Baiklah, sudah cukup mengenang masa lalu. Kita kembali ke topik."celetuk Lucien mengingatkan. "Kita tidak punya banyak waktu."

Maggie mengangguk kemudian kembali menatap layar laptopnya. Ia sudah mengumpulkan beberapa artikel dan profil dari seorang tentara yang sebelumnya menghubungi Lucien. Entah mengapa, Lucien benar-benar penasaran dengan orang itu.

"Archibald Moran Winter, tentara jenius dan berbakat yang bergabung ke pasukan khusus saat operasi ke Timur Tengah. Ia memperoleh pangkat Kapten saat di usia 26 tahun–hei dia berbeda empat tahun dengan kita , Len!"serunya tidak percaya.

"Aku pernah dengar itu, dan aku kira itu hanya omong kosong."Maggie menyela. "Dia dijuluki human prodigy dan humanity strongest soldier oleh teman-temannya."

"Ternyata manusia seperti itu memang ada, aku kira hanya Levi Ackerman."kata Maggie mengingat salah satu serial animasi Jepang favoritnya. "Baiklah kita lanjutkan. Ia terlahir di keluarga sederhana di kota kecil di California, tidak jauh dari LA. Keluarganya bekerja di bidang industri, sementara dirinya bersikeras untuk menjadi anggota bersenjata. Selain itu, ia alergi dengan manisan–hei ada apa dengan artikel ini?"

"Editornya mungkin ngantuk. Cari informasi yang berhubungan dengan pekerjaannya saja."Asterin memegang kepalanya, bisa-bisanya ada informasi seperti itu di artikel penting seorang tentara.

Maggie berdeham sekaligus menahan tawa, menetralisir suaranya. Ia hampir tertawa saat membaca untaian kalimat tadi, benar-benar membuatnya tersedak.

"Winter bergabung di US Army saat usianya 19 tahun, kemudian ia langsung diterjunkan ke Timur Tengah untuk operasi pengamanan selama dua tahun. Winter merupakan salah satu kandidat terkuat untuk memimpin pasukan walaupun usianya masih terbilang muda. Potensi yang dimilikinya benar-benar membuat para jenderal terpukau. Ia memiliki fisik yang kuat lantaran ia pernah mengikuti olahraga tinju serta parkour. Tidak hanya fisik, bahkan kecerdikannya pun lebih menakutkan dari seekor ular. Saat ini Winter bertugas di Albuquerque sebagai Kepala Koordinator serta mengawasi pengamanan di setiap sudut kota."

Mereka hampir tiba di gerbang pengamanan Pangkalan AU. Terbebas dari kemacetan membuat mereka satu jam lebih cepat untuk datang. Lucien merasa lega karena sebentar lagi ia akan bertemu sang direktur dan kepala laboratorium. Sebagai saksi, ia pasti dimintai untuk menjelaskan asal mula kejadian tersebut di konferensi pers. Ia bingung apakah ia harus bangga atau tidak.

"Hanya segitu?"tanya Asterin saat Maggie berhenti berbicara.

"Kau memintaku untuk membacakan informasi lainnya? Baiklah, sebentar."

"Hei! Kau tidak perlu mencarinya lagi, itu tadi sudah cukup!"

"Pertanyaan yang paling sering ditanyakan, apakah Winter masih perja–"

"Oh, ayolah, memangnya siapa yang memerlukan informasi itu?"potong Lucien lalu berdecak. Asterin sudah kembali duduk dengan wajah yang bersungut-sungut. Niatnya bertanya begitu bukan berarti ia penasaran apakah pria itu masih perj–

"Asterin Jyscal, keluarkan itu semua dari kepalamu. Kau sudah memiliki Lucien."ucap Maggie menepuk-nepuk pucuk kepala sahabatnya dengan senyum yang dikulum. Gadis itu benar-benar menahan tawa lantaran tidak kuat melihat ekspresi Asterin kali ini. Maggie benar-benar menikmati perjalanannya kali ini.

Setibanya di gerbang pemeriksaan, Lucien menyapa salah satu tentara yang berjaga di portal. Selagi memeriksa mobil, tentara itu mengajak Lucien untuk berbincang sebentar terkait kasus laboratorium saat ini.

"Bahkan apa yang aku kira di dunia fiksi itu hanya ada di sana."katanya saat mendengar penuturan singkat Lucien. "Baiklah kalau begitu, silakan lewat."

Gerbang portal telah terbuka dan Lucien segera mengarahkan mobilnya ke parkiran yang tidak jauh dari pintu utama. Ada banyak tentara terlihat mondar-mandir dan berlalu-lalang dengan pakaian lengkap serta senjata di tangan mereka. Tidak lama kemudian, kurang lebih 10 kendaraan militer meninggalkan markas dengan membawa beberapa pasukan tentara menuju laboratorium untuk ditangani. Maggie, Asterin, dan Lucien segera turun dari mobil saat kendaraan militer terakhir keluar dari area markas. Mereka segera berjalan ke pintu markas untuk menemui direktur WHO.

"Lucien Jayden?"seseorang memanggil nama pria berkacamata itu, membuatnya menoleh ke belakang. "Ikuti saya."lanjut pria bertubuh tegap dengan pakaian tentaranya yang lengkap. Ketiga remaja itu pun membuntuti dari belakang.

"Kau melapor tepat waktu. Saat ini, hampir seluruh bangunan laboratorium hangus dilahap api karena korsleting. Selain itu, laporan mengenai makhluk kanibal yang kau sebutkan itu juga merupakan yang terpenting. Pertama kalinya dalam sejarah, ini merupakan situasi darurat bagi kita semua."ucap pria itu dengan jelas.

"Terima kasih, saya saat itu juga hampir hilang akal sehat. Bagaimana pun juga, saya tidak boleh panik waktu itu."

"Kau pernah mengikuti pelatihan? Semacam pelatihan pengendalian diri? Meditasi? Yoga?"tanya tentara itu.

"Aku tidak pernah mengikuti kegiatan semacam itu, tapi naluri saya saat itu menangkap respon bahwa saya harus bergerak dan melaporkannya."

"Bagus. Pembawaan dirimu cukup bagus untuk seorang pria yang tidak pernah mengikuti pelatihan. Kebanyakan orang akan memilih menyelamatkan diri sendiri di situasi genting semacam ini, tapi kamu tidak. Katamu kamu juga sempat membawa beberapa peralatan dan sampel laboratorium yang bagimu penting, bukan?"

Lucien mengangguk. Saat mencoba kabur dari kejaran pekerja laboratorium yang berubah menjadi makhluk kanibal, ia menyempatkan untuk membawa alat-alat dan sampel yang penting sesuai pesan dari Profesor Edgar. Sial, ia merindukan sosok pak tua yang selalu menyuruhnya untuk membuatkan kopi di siang hari.

"Aku hanya bisa mengantar sampai sini. Lucien Jayden, silakan masuk. Kedua temanmu boleh menunggu di sini. Saya permisi."tentara tersebut membungkuk, lalu meninggalkan mereka di tempat.

"Kami akan menunggu di sini, kau selesaikan urusanmu di dalam situ."ucap Asterin. Lucien mengangguk lalu berjalan ke arah pintu berukuran besar dengan ukiran indah. "Jangan berbuat macam-macam. Maggie, jangan mempermalukanku."pria tersebut kemudian hilang di balik pintu.

"Aku? Bisa-bisanya dia berkata seperti itu."gerutunya lalu berjalan meninggalkan Asterin yang masih berdiri di depan pintu. "Ma-Maggie, kau mau ke mana?"

"Kantin. Kau mau ikut?"tawar Maggie, kemudian gadis bersurai hitam kecokelatan itu tersenyum dan mengangguk, menyusul dari belakang.

***

"Duduklah, Lucien Jayden."

Seorang laki-laki berusia separuh abad lebih dengan rambut yang mulai memutih, duduk tepat di seberang pemuda berkacamata itu. Dengan meja berbentuk oval, ia tepat berhadapan dengan seorang direktur WHO. Dua kursi di sebelah kanan diisi oleh kepala laboratorium dan letnan jenderal US Army, lalu dua kursi di sebelah kiri diisi oleh walikota serta letnan jenderal US Air Force.

"Kita mulai rapat siang ini. Tidak berlangsung lama, karena setelah ini, dunia di luar sana akan menghadapi perubahan."