Karena aku bosan menunggu, aku melihat-lihat rumah Dea, aku melihat foto keluarganya yang besar terpang-pang di dinding.
"Itu Mamah aku," Dea tiba-tiba sudah ada di sampingku.
"Kapan kamu datang?" tanyaku kaget.
"Barusan," jawabnya sambil tersenyum.
"Mamah kamu cantik mirip kamu," ucapku.
"Iya Mamah memang cantik dan baik, terkadang aku rindu pelukan Mamah." Ucapnya sambil memandang foto itu.
"Memang Mamah kamu ke mana?" tanyaku.
"Mamahku sudah meninggal," jawabnya.
"Maaf aku tidak bermaksud," ucapku canggung.
"Tidak apa-apa kok, aku sudah bisa ikhlas," jawabnya.
Lalu Dea mengajakku duduk dan memperlihatkan foto album kenangan bersama Orang tuanya, Dea bercerita kalau Mamahnya sakit kanker dan sempat berobat di Singapura. Sampai-sampai Dea juga pindah sekolah ke sana, agar bisa selalu menemani Mamahnya. Namun takdir berkata lain, Mamahnya meninggal. Setelah itu mereka kembali ke Indonesia dan melakukan pemakaman, Orang tua Angga datang dan menyarankan agar Dea bersekolah di sekolah kami karena ada Angga. Aku kasihan kepadanya, di umurnya yang masih muda, dia harus kehilangan Mamahnya, aku mencoba mengalihkan pembicaraan agar Dea tidak kembali sedih.
"Ini foto siapa?" Aku menunjuk sebuah foto Gadis kecil dan Pria kecil yang sedang duduk bersama.
"Itu aku dan Angga," jawabnya.
"Wah wajah kalian dari kecil sudah cantik dan ganteng ya," ucapku kagum.
"Kamu juga cantik kok," ucap Dea.
"Ah pasti kamu hanya menghiburku saja," ucapku.
"Aku serius, hanya saja orang-orang belum menyadarinya," ucap Dea, aku hanya tersenyum.
"Ayo kita sekarang ke rumah kamu," ajak Dea.
"Baiklah,"
Sesampainya di rumah, aku langsung mandi dan mengganti pakaian. Setelah selesai kami berangkat ke Pasar Malam itu, sesampainya di sana ternyata belum banyak orang yang datang. Mungkin karena masih sore, Dea mengajakku mencari makan, kebetulan aku juga memang sudah lapar, tapi aku bingung harus membeli apa, karena aku tidak bisa bebas membeli makanan.
"Aku bingung harus beli apa," ucapku.
"Bagaimana kalu beli roti saja," ucap Dea.
"Baiklah," aku membeli roti.
Aku hanya memakan satu roti saja, selesai makan aku dan Dea mulai melihat-lihat Pasar Malam itu. Orang-orang mulai berdatangan, mungkin karena hari mulai malam. Dari kejauhan aku seorang melihat Angga, dan ternyata benar itu Angga dan Teman-temannya.
"Kalian sudah sampai di sini?" tanya Angga saat menghampiri kami.
"Lumayan lama," jawab Dea.
"Ayo kita naik itu," ajak Deon.
"Memangnya kau berani?" tanya Angga meledek.
"Berani tahu, cuma naik yang seperti itu," jawabnya.
"Kalau begitu ayo kita naik," ajak Dea semangat.
Kami naik bianglala dan setiap kabin berisi dua orang, Angga naik bersama Dea dan aku naik bersama Deon. Setelah memasuki kabin bianglala itu, aku terus melihat kabin yang di naiki Angga dan Dea. Aku libat mereka sangat senang, terlihat juga Angga memegang tangan Dea. Entah kenapa dadaku rasanya sesak, saat kabinku berada di atas, mesin tiba-tiba mati dan bianglala tidak berputar.
"Ya ampun ada apa ini? Kenapa berhenti?" Deon mulai panik.
"Tenang saja, nanti juga akan jalan sendiri," ucapku Agar Deon tenang.
Aku terus melihat kabin Dea yang berada di bawahku, dan itu membuatku tidak bisa melihat apa yang sdang mereka lakukan.
"Tolong! Tolong!" Teriak Deon.
"Aduh berisik sekali," ucapku, karena suaranya menggangguku yang sedang fokus berusaha melihat Dea dan Angga.
Beberapa saat kemudian bianglala mulai menyala dan berputar lagi.
"Akhirnya jalan lagi," Deon bersyukur dan wajahnya tidak tegang lagi.
Ternyata Deon penakut, padahal Angga dan Teman-temannya dikenal keren dan pemberani, saat kami turun dari bianglala aku melihat Dea dan Angga seperti merasa canggung satu sama lain, tidak seperti biasanya, aku tidak tahu apa yang sudah terjadi kepada mereka.
"Ayo kita ke sana." Dea menarik tanganku.
"Ke mana?" tanyaku spontan.
Angga menatap Dea dan tidak mengikuti kami.
"Kamu kenapa?" tanyaku.
"Aku enggak apa-apa kok," jawabnya.
Padahal terlihat jelas kalau Dea sedang gelisah, Dea mengajakku memainkan permainan menembak, dan kalau tembakannya berhasil akan di beri hadiah.
"Aku coba lebih dulu ya," Dea menembak dengan sangat fokus.
"ah tidak kena," Dea tidak berhasil.
"Sini aku coba," aku mencoba permainan itu.
Tembakan pertamaku meleset, tapi saat tembakan ke dua aku mengenai sasaran. Aku di suruh untuk memilih hadiahnya, aku tahu kalau Dea menginginkan boneka kuda poni. Jadi aku memilih kuda itu dan memberikannya kepada Dea, dia sangat senang sekali.
"Aku akan selalu menjaga boneka ini." Ucap Dea sambil memeluk boneka itu.
"Ayo kita coba lagi permainan yang lain," ajakku.
"Ayo," Dea sangat bersemangat.
Karena asyik mencoba permainan-permainan di sana, aku sampai lupa dan tidak memikirkan lagi apa yang terjadi di antara Dea dan Angga. Sampai pada saat aku ke toilet, Angga menghampiri Dea yang sedang menungguku di luar. Namun saat aku akan keluar, aku tidak sengaja mendengar percakapan mereka.
"Kamu kenapa?" tanya Angga.
"Enggak apa-apa," jawab Dea.
"Kenapa sikap kamu jadi seperti ini? Apa karena kejadian tadi?" tanya Angga.
"Kenapa tadi kamu melakukan itu?" tanya Dea.
"Tadi terjadi begitu saja," jawabnya.
"Kenapa sampai menciumku, kita ini Sahabat?" tanya Dea kesal, aku kaget mendengar itu.
"Sudah aku bilang perasaanku lebih dari Sahabat," ucap Angga.
"Tapi tidak bisa seperti itu," ucap Dea.
"aku yakin kamu juga memiliki perasaan yang sama sepertiku," ucap Angga.
"Tidak!" Dea menyangkal.
Sepertinya Dea menuju ke arah toilet, dengan cepat aku pura-pura sedang mencuci tangan dan tidak mendengar percakapan mereka.
"Kamu kenapa?" tanyaku.
"Ayo kita pulang saja," ajaknya dengan wajah kesal.
"Ya sudah ayo, kamu mau langsung pulang?" tanyaku.
"Aku mau ke rumah kamu dulu saja," jawabnya.
"Baiklah,"
Saat kami keluar dari toilet, Angga sudah tidak ada, tapi saat akan pulang kami berpapasan dengan Angga dan Teman-temannya. Angga menatap Dea, tapi Dea memalingkan muka dan menarik tanganku agar kami segera pergi. Sesampainya di rumahku ternyata Mamah belum pulang, lampu rumah juga masih padam, padahal ini sudah jam 21:00 WIB.
"Mamah kamu sepertinya belum pulang," ucap Dea.
"Iya sepertinya belum," kami masuk ke rumah.
Karena lapar kami memasak, tapi sebelum masak aku mencari resep makanan diet. Dan setelah menemukannya kami mulai memasak, kali ini aku rasa makanannya cukup enak. Walaupun makanan diet, setelah kami selesai makan pun Mamah belum pulang juga.
"Kok Mamah belum pulang juga ya," aku khawatir.
"Telepon saja," ucap Dea.
"Iya, aku telepon Mamah dulu ya," aku mulai menelepon Mamah tapi tidak di angkat.
"Bagaimana di angkat tidak?" tanya Dea.
"Tidak, bagaimana ini aku sangat khawatir," ucapku bingung.