"Aku tak mau mendengar apapun lagi darimu," ujar Jordan dengan penuh amarah tersimpan dalam dirinya.
Ayana kemudian mendorong Nico lalu menghampiri Jordan.
"Tapi, setidaknya biarkan aku jelaskan-" balas Ayana. Ia terlihat seperti orang yang sangat ketakutan.
"Cukup Ayana! Semuanya sudah berakhir di sini. Kali ini sudah kelewatan. Aku sudah tidak bisa memaafkanmu lagi. Kuharap kau mengerti dengan keputusan yang kuambil," ujar Jordan.
"Dan satu lagi, aku akan keluar dari Retina Park. Aku akan mengisi surat pengunduran diri besok. Kuharap kau masuk kerja dan segera menandatanganinya," ujar Jordan lagi. Ia kemudian meninggalkan Ayana bersama dengan Nico.
Ayana terdiam di tempat. Ia tak berbicara sepatah kata pun.
"Cemburuan sekali dia. Sudahlah, jangan sedih seperti itu. Lebih baik kamu tinggalkan dia, itu yang terbaik," ucap Nico.
"Lagipula, apa yang membuatmu bisa suka padanya? Dia itu kan hanya orang miskin tak berguna," ucap Nico lagi.
" ... " Ayana terdiam menahan amarah.
"Kau mau apa? Harta? Kekuasaan? Aku bisa berikan semua itu!" ujar Nico.
"Bunuh," gumam Ayana.
"Hah? Tidak kedengaran!" ucap Nico.
"Akan kubunuh kau!" teriak Ayana. Ia kemudian mundur selangkah dan menendang Nico sampai terjatuh di lantai.
"Dasar kurang ajar!" balas Nico.
Ayana mendekatinya dan menodongkan garpu ke arah Nico.
"Kau ingin wajahmu robek dengan garpu ini?" ucap Ayana.
"Mungkin kau takkan bisa lagi melihat wajahmu di cermin," ucap Ayana lagi.
Nico terlihat ketakutan.
"Saat ini, aku tak keberatan menjadi seorang pembunuh," ucap Ayana.
"Kalau kau masih sayang dengan wajahmu, jangan pernah menemuiku lagi. Dasar ... SAMPAH!" bentak Ayana.
Tanpa pikir panjang, Nico langsung kabur dari tempat tersebut. Sesaat setelah keluar, Arina masuk ke dalam.
"Ayana ... Apa yang terjadi?" tanya Arina.
Ayana duduk kembali di kursi lalu berkata dengan nada pelan,"Aku mengacaukan segalanya."
Mendengar perkataan Ayana, Arina berinisiatif untuk berhenti bertanya lebih lanjut. Ia kemudian membuatkan secangkir teh hangat untuk Ayana.
"Ini untukmu. Minumlah selagi masih hangat," ucap Arina sambil memberikan secangkir teh hangat kepada Ayana.
"Terima kasih," balas Ayana.
Dengan perasaan kecewa, Jordan kembali ke asramanya. Ia langsung berbaring di tempat tidurnya begitu sampai. Ia merasa dikhianati Ayana. Namun, ia juga merasa sedikit bersalah karena menentukan keputusan secara sephiak. Ia kemudian mengirim permintaan maaf kepada Ayana melalui SMS. Pesan itu dibalas secara panjang lebar oleh Ayana. Namun, Jordan mengabaikan balasan itu.
Keesokan harinya, di ruang manajemen ...
"Tolong tandatangani berkas ini," ucap Jordan kepada Ayana. Tanpa pikir panjang lagi, Ayana langsung menandatanganinya. Di sisi lain, Arina yang biasanya selalu berkomentar kini diam saja. Ia seperti sudah memperkirakan hal ini akan terjadi.
Pada sore harinya, Jordan mengemasi barang bawaannya dan langsung menuju ke stasiun untuk kembali ke kota. Tidak seperti biasanya, suasana di kereta sangatlah sepi dan menyeramkan. Keesokan harinya, Jordan sampai di kota sekitar pukul enam pagi. Ia turun dari kereta dan keluar dari stasiun.
"Haduh padahal masih pagi, tetapi sudah lumayan ramai. Kuharap aku tidak memilih keputusan yang salah," pikir Jordan. Ia lalu berjalan tanpa memperhatikan sekitar. Beberapa saat kemudian ...
"Hei, ini lampu hijau. Jangan menyeberang!" teriak seseorang dari pinggir jalan.
"!!!" Jordan baru sadar ketika sebuah bus telah mendekati dirinya.
Namun, orang yang tadi meneriaki Jordan langsung berlari ke arah Jordan dan mendorongnya. Untungnya, mereka berdua selamat. Namun, Jordan pingsan karena syok.
"Kalau mau menyeberang lihat-lihat dong! Kalau mati kan tidak ada yang mau urus! Dasar pasien rumah sakit jiwa!" umpat si sopir bus yang kemudian kembali mengemudikan busnya.
...
...
...
Setelah beberapa jam pingsan, akhirnya Jordan sadarkan diri.
"Di mana ini?" tanya Jordan.
"Kau sedang berada di rumahku," balas seseorang.
Orang tersebut kemudian masuk ke dalam ruangan tempat Jordan berada.
"Sudah merasa baikan? Ini, kubuatkan teh hangat untukmu," ucap orang tersebut sambil memberikan secangkir teh manis hangat.
"Eleana? Kamu Eleana, kan?" tanya Jordan.
"Ya, memangnya kenapa?" balas Eleana.
"Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanya Jordan.
"Apa yang aku lakukan di sini? Ini kan rumahku. Tidak ada salahnya dong aku berada di sini?" jawab Eleana.
"Maksudku, mengapa kamu keluar dari Retina Park? Mengapa kamu sampai sebegitunya tidak ingin kembali?" tanya Jordan.
"Sulit mengatakannya. Semuanya tidak semudah yang kamu bayangkan," jawab Eleana.
"Sulit?" tanya Jordan.
"Ya, sulit. Mungkin di lain kesempatan akan aku jelaskan," jawab Eleana.
"Di samping itu, apakah ini pinggiran kota?" tanya Jordan.
"Ya, benar. Kalau tidak percaya, lihat saja ke luar. Di mana lagi kamu bisa melihat laut berwarna hitam karena tercemar?" tanya Eleana.
"Selama ini kamu tinggal di sini?" tanya Jordan.
"Bisa dibilang begitu, walaupun aku tidak tahu apakah aku akan pindah," jawab Eleana.
"Apakah di dekat sini ada tempat tinggal kosong?" tanya Jordan.
"Sayangnya, tempat ini adalah salah satu bagian kota yang memiliki kepadatan penduduk terpadat. Tidak ada lagi rumah kosong di sini. Kalau kamu memang mencari tempat tinggal, kamu bisa tinggal di rumahku," jawab Eleana.
"Berapa biayanya?" tanya Jordan.
"Tidak perlu biaya apapun, aku ikhlas. Yang penting, kamu tidak keberatan untuk tinggal di dekat laut," jawab Eleana.
"Terima kasih," ucap Jordan.
"Lalu, bagaimana dengan kondisi Retina Park?" tanya Eleana.
"Saat aku pergi dari sana, semuanya terkendali. Tak ada masalah apapun," jawab Jordan.
"Kalau semuanya terkendali, mengapa kamu pergi dari sana?" tanya Eleana.
"Itu ... bagian dari rencana yang diimprovisasi," jawab Jordan.
"Bagaimana sebuah rencana dapat dikatakan rencana kalau diimprovisasi. Kamu ini ada-ada saja," ujar Eleana.
"Sejujurnya, aku sedang ada masalah dengan Ayana. Dia sepertinya ... Mengkhianatiku," balas Jordan.
"Hah?" tanya Eleana. Wajahnya tampak terkejut.
"Apa kamu serius?" tanya Eleana lagi.
"Tentu saja aku serius. Kalau tidak, mana mungkin aku sampai keluar dari Retina Park," jawab Jordan.
"Hmm ... Aku masih meragukannya. Ayana yang kukenal tidak mungkin berbuat seperti itu," ucap Eleana.
"Mungkin kamu bisa ceritakan kronologinya?" tanya Eleana.
"Aku melihatnya sedang berciuman dengan Nico. Padahal pada hari itu, aku akan melamarnya," jawab Jordan.
Mendengar perkataan Jordan, Eleana menunjukkan sedikit ekspresi jijik.
"Astaga. Ada-ada saja. Apakah kamu memberikan Ayana kesempatan untuk menjelaskannya?" tanya Ayana.
"Tidak. Aku belum melakukannya," jawab Jordan.
"Kalau begitu, kurasa sebagian kesalahan ada di tanganmu. Coba kamu bayangkan, pasti sekarang dalam hatinya, Ayana sedang terluka. Sekadar tambahan, aku tidak memihak siapa-siapa," balas Estella.
"Ya, aku mengetahuinya. Aku juga merasa bersalah tentang hal itu," ucap Jordan.
"Kalau begitu, kuserahkan pilihan padamu. Aku tidak akan memaksa dan aku yakin kamu bisa memilih pilihan terbaik bagi dirimu sendiri. Ingatlah. Dirimu adalah kekuatan terbesarmu," balas Eleana.
Ia kemudian keluar dari ruangan.