"Benar yang ini?"
Laura mengangguk di bawah sana.
"Hati-hati, Pak."
Fyuh ... akhirnya mereka mendapat berkas yang sedari tadi Edgar cari. Atasan Laura itu tersenyum puas, setelah melakukan perjuangan hanya demi sebuah berkas lama.
"Oke, terima kasih, Laura. Kalau nanti saya butuh bantuan kamu lagi, pasti akan saya hubungi."
Laura menelan ludah dengan susah payah setelah melihat kepergian Edgar. Memangnya dia siapa? Atasan? Lho, memang iya.
"Kenapa gue yang harus direpotin, sih? Lagian Mbak Issabel kenapa pake cuti segala? Kerjaan gue masih banyak, masa harus ngurusin Pak Edgar juga." Laura mendengkus kesal dan kembali ke ruangannya. Di tengah perjalanan, dia bertemu dengan Jasmin yang tengah mengobrol dengan salah satu karyawan pria.
"Eh, Lau, tunggu!"
Sesuai dugaan, wanita itu pasti memanggil Laura. Tidak salah, pasti ia akan mempertanyakan kebersamaannya dengan Edgar.
"Lo habis ngapain sama Pak Edgar? Kok masuk ke ruang arsip?" tanya Jasmin, sangat ingin tahu.
"Gue tadi habis bantu Pak Edgar buat nyari arsip yang lama. Nggak tahu juga deh buat apa. Sumpah ya, masa gue harus bantuin dia terus selama Mbak Issabel cuti? Itu kan bukan tugas gue!" Laura mengeluh dan merengek pada sahabatnya. Tidak bisa dibiarkan. Laura juga memiliki pekerjaan yang harus ia selesaikan secepatnya.
"Hmm .., pantes aja semalem itu bos baru ngasih makanan buat lo. Ternyata emang ada maunya."
Astaga ... bola mata Laura melebar dengan mulut sedikit menganga. "Lo bener, Jas. Kenapa gue nggak sadar, ya? Emang bener ya, orang kalau berbuat baik pasti ada maunya!"
"Makanya, Lau. Lo harus hati-hati. Gue mulai mencium bau-bau gak beres dari Pak Edgar."
Benar juga. Laura tidak boleh terlalu percaya pada Edgar. Kemarin mereka memang mengobrol bersama dan ia langsung menganggap bahwa Edgar adalah pria yang baik. Namun setelah kejadian ini, Laura menjadi ragu.
"Udah ya, gue mau cek lab dulu. Nanti kita pulang bareng."
Laura mengangguk dan memasuki ruangannya. Dia langsung menarik kursi, mendudukinya dan mengecek proposal yang baru selesai setengahnya.
Menjadi seorang yang diandalkan terkadang tidak terlalu leluasa. Laura buktinya. Wanita itu sangat dipercaya oleh Dewa, bahkan Laura pernah diberi penghargaan karyawan terbaik di perusahaan mereka.
Walau hal itu memang sepatutnya dia dapatkan. Kerja keras Laura selama ini selalu memberi keuntungan yang berlipat pada Dewantara's Company. Hasil iklan yang berada di bawah tanggung jawab Laura juga sering mendapat ulasan yang baik dari para pemilik saham dan petinggi lainnya.
"Zee, tolong ke ruangan saya sekarang." Wanita itu meletakkan gagang telepon setelah memanggil salah satu anggota divisi mereka.
"Bu Laura?"
"Zee, duduk sebentar." Laura tidak pernah bersikap kasar pada anak-anak yang bekerja sama dengannya. Dia lebih bersikap sebagai ibu, agar mereka dapat bekerja dengan nyaman dan tanpa tekanan. "Saya mau minta tolong sama kamu, tolong print proposal ini, ya. Terus langsung dijilid. Soalnya kita besok ada meeting dengan Pak Edgar untuk peluncuran produk baru."
"Huh ... baru aja kemarin produk kita keluar, Bu. Sekarang udah peluncuran lagi. Ini perusahaan kayaknya maruk banget, ya."
Laura hanya terkekeh pelan. Memang benar apa yang dikatakan oleh Zenaya, atau yang lebih akrab dipanggil Zee.
"Namanya juga bisnis, Zee. Pak Dewa juga pasti pengen untung, makanya kita peluncuran terus."
"Tapi masalahnya, Bu .... " Zee mengatur kursi agar semakin dekat dengan kepala pimpinan divisi pemasaran mereka. "Kenapa yang capek kita mulu, sih? Divisi pemasaran di perusahaan ini ada tiga tim, terus kerjaan tim dua sama tiga, apa?"
Laura mengangkat wajah, memperhatikan satu ruangan yang berada tepat di hadapannya. "Mereka juga lagi bikin produk baru, kok. Tapi saya nggak tahu, kapan produk mereka akan keluar. Yang jelas, saya kemarin lihat mereka di lab. Mungkin lagi cek gizi."
"Kalau saya denger dari orang lain ya, Bu, produk mereka kebanyakan ditolak sama perusahaan. Kemarin aja mereka ngotot pengen ngeluarin mie instan mateng dalam kemasan. Apa nggak gila?"
"Sudah, sudah, kenapa kamu malah gosip? Ayo tolong print proposal kita."
Zee menyengir lebar dan langsung berdiri dari duduknya. "Siap, Bu. Nanti saya langsung ke sini setelah selesai."
"Oke, terima kasih, ya."
Akhirnya Laura bisa bernapas lega juga. Pekerjaannya yang ke sekian baru saja selesai. Mungkin sebentar lagi ia akan sibuk memikirkan proposal iklan dan menghubungi beberapa model andalan perusahaan.
"Bikin kopi enak kali, ya." Laura mengikat rambut sekenanya dan berjalan ke arah pantri untuk membuat kopi.
Pantri adalah tempat yang paling banyak didatangi para karyawan setelah jam makan siang. Terkhusus para karyawan pria. Mereka akan berbondong-bondong dan membuat kopi.
"Saya dengar tim satu akan mengeluarkan produk baru."
Laura menoleh ke samping, lalu tersenyum pada ketua divisi tim tiga. Arya Bagaskara.
"Iya, Pak Arya. Kami baru saja menyelesaikan proposal."
"Wow, cepat sekali, ya." Arya terlihat menyesap kopi hitamnya. "Tapi, apa kali ini Bu Laura yakin, kalau proposal itu akan disetujui oleh Pak Edgar?"
"Saya tidak tahu. Tapi, ya ... semoga saja. Lagi pula ini pertama kalinya Pak Edgar menangani proposal seperti ini. Mungkin saya akan lebih banyak menjelaskan secara rinci."
"Saya hanya ingin mengingatkan." Arya mengubah posisi menghadap Laura. "Jangan terlalu sombong dan berbangga diri. Kalau proposal tim kalian ditolak, maka tim kami yang akan maju."
Alih-alih tersinggung dan marah, Laura justru tersenyum menanggapi ucapan Arya yang terdengar seperti peringatan.
"Terima kasih, Pak Arya, karena anda sudah peduli terhadap tim kami. Tapi Pak Arya tenang aja, saya sudah menyiapkan semuanya dengan sangat matang."
Pria berusia dua tahun lebih tua dari Laura itu melenggang pergi dengan perasaan dongkol. Faktanya, tidak ada yang benar-benar teman di dalam dunia bisnis seperti ini.
Laura menggeleng pelan, sambil menyesap kopinya perlahan. Persaingan sengit antar divisi memang sering terjadi. Apalagi Laura yang selalu mendapat pujian dari Dewa, yang akhirnya banyak menimbulkan rasa iri di kalangan karyawan lainnya.
Namun Laura sama sekali tidak peduli. Dia hanya ingin bekerja dan memberikan yang terbaik pada perusahaan. Anggap saja sebagai balas budi, karena telah memberinya pekerjaan yang layak seperti ini.
"Bu, Pak Arya habis ngapain? Pasti dia abis nyinyir lagi, ya?" Sudah menjadi rahasia umum, jika Arya selalu bersikap tidak ramah pada Laura. Bahkan Agatha, anak yang bekerja di bawah naungan Laura pun tahu seperti apa sifat pria lajang itu.
"Biasalah, Tha. Namanya juga rekan bisnis. Mungkin Pak Arya lagi agak sensi."
"Ah, dia mah emang kayak gitu, Bu. Maklum lah, tim-nya jarang dapet job. Mereka udah kayak orang gabut yang digaji perusahaan."
Laura memukul pelan lengan Agatha. "Jangan ngomong gitu. Kalau ada yang denger, gimana?"