"Pak, ini beberapa berkas yang harus ditandatangani lagi. Kemarin baru dibahas dua proposal saja, kan?" Laura mengangkat wajah, sedikit mengerutkan dahi ketika melihat atasannya hanya diam, sambil menatap ke arahnya.
"Pak? Pak Edgar kenapa?"
Edgar tersentak dan mengerjap beberapa kali. Ia berdeham kaku, merapikan dasi yang sama sekali tidak berantakan sedikitpun.
"Oh, enggak. Gimana? Ada berapa berkas lagi yang harus saya tandatangani?"
"Ada tiga lagi, Pak. Proposal dari tim satu pemasaran, tim dua, dan bagian laboratorium."
"Sebentar." Edgar memandang bingung Laura yang masih berdiri di depannya. "Kenapa kamu yang ngasih semua ini sama saya? Kenapa bukan mereka?"
Mampus. Laura menelan saliva dengan susah payah. Dia tidak pernah melihat Edgar menatapnya seperti ini. Tegas dan sedikit tajam.
"Ehm, anu, Pak ... kebetulan kerjaan saya nggak begitu banyak, jadi saya yang minta mereka buat kasih ini."
"Panggil mereka sekarang juga. Ada yang mau saya omongin."
Aduh ... Laura menjerit dalam hati. Ini salahnya. Pasti Pak edgar akan memarahi teman-temannya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Laura tidak mungkin membiarkan orang lain menanggung akibat atas kesalahannya.
"Pak, tapi ini salah saya. Kalau Bapak mau marah, marahin saya aja, Pak." Laura berbalik dan langsung menunduk. Ia tidak berani menatap wajah Edgar. Sepertinya pria itu tengah memiliki masalah atau banyak pikiran.
"Siapa yang mau marahin mereka, Laura?"
Sontak Laura mengangkat waja dan mengerjap beberapa kali. "Jadi, Pak Edgar manggil mereka buat apa?"
Pria berusia dua puluh delapan tahun itu tersenyum. "Saya mau kasih mereka penjelasan sekaligus informasi bagian yang harus direvisi. Kamu tenang aja, saya nggak segalak itu, kok."
Huh ... syukurlah. Akhirnya Laura bisa bernapas lega.
"O-oh ... kalau begitu, saya panggil mereka dulu, Pak."
"Tunggu, Laura."
Wanita itu menahan langkah, dan kembali berbalik.
"Kamu cantik pakai baju itu."
Wajah Laura refleks memerah. Hari ini ia memang mengenakan pakaian yang diberikan oleh Edgar kemarin. Entahlah, dia hanya ingin membuat Edgar senang, karena pemberiannya diterima dengan baik.
"Terima kasih, Pak. Saya juga suka sama baju ini. Saya nggak nyangka, ternyata selera Pak Edgar bagus banget."
"Mau lagi? Kamu benar-benar cantik, Laura."
"Ah, nggak usah, Pak. Udah cukup. Harga baju ini bisa buat gaji saya selama lima bulan. Nggak mungkin dong, Pak Edgar traktir saya terus." Laura tersenyum malu. Sebenarnya, ia juga ingin menolak ketika Edgar memilih dress di atas lutut itu. Namun, modelnya memang cantik.
Hanya saja .., terlihat sedikit pendek ketika dikenakan oleh Laura.
"Nggak papa. Saya akan kasih kamu hadiah, setiap kali kamu berhasil memberi keuntungan untuk perusahaan ini. Kamu jangan merasa nggak enak ya, Laura. Ini adalah balas budi saya sama kamu."
"Terima kasih, Pak. Sekali lagi terima kasih. Saya pasti akan mengingat terus kebaikan Bapak."
Edgar tersenyum lebar dan mengangguk.
"Saya permisi, Pak."
"Silakan."
Tatapan nakal Edgar tidak sedikitpun berpaling dari pinggul elok wanita yang hendak meninggalkan ruangannya. Laura memang memiliki bentuk tubuh yang sempurna di mata Edgar. Sintal, namun terlihat seksi.
Beberapa kali Edgar mendecak. Membayangkan betapa indahnya pinggul polos Laura, dan goyangan yang ... ah sudahlah.
"Selamat pagi, Pak."
Khayalan Edgar terpecah seketika. Ia membenarkan posisi duduk dan mempersilakan para karyawan untuk masuk.
"Silakan. Saya meminta kalian datang, karena ingin mendengar secara langsung presentase dari tim masing-masing."
***
Jam makan siang akhirnya tiba. Laura merapikan barang-barangnya, untuk kemudian menemui Jasmin di ruangan lamanya.
"Laura, kamu mau makan siang?"
Ah, dia melupakan Edgar yang masih berada di ruangan mereka.
"Iya, Pak. Pak Edgar nggak makan siang?" Laura menghampiri atasannya, sembari menyerahkan soft file untuk pertemuan selanjutnya.
"Sebentar lagi. Kamu mau makan di mana? Di kantin perusahaan?"
Laura tertawa kecil, lalu mengangguk. "Iya, Pak. Maklum, tanggal tua. Jadi saya harus berhemat."
"Oke. Selamat makan siang kalau gitu."
"Permisi, Pak." Laura mengundurkan diri dengan sopan. Ia berjalan keluar dan langsung berlari menghampiri Jasmin. "Sori. Lo nunggu lama, ya?" tanyanya. Merasa tidak enak.
"Nggak. Gue juga baru keluar dari lab. Ayo, udah perih banget perut gue."
Kedua wanita itu melangkah bersisian. Perusahaan nampak sepi, karena para karyawan yang sudah berburu makanan untuk makan siang mereka.
"Lau, gimana rasanya satu ruangan sama Pak Edgar? Dia baik, nggak? Atau suka ngomel?"
"Dia baik, kok. Jarang ngomel juga. Paling kalau lagi badmood, seharian bisa diem doang."
"Wah .... " Jasmin terperangah dengan mulut membulat. "Gue kira orang cakep nggak pernah badmood. Tapi emang sih, Pak Edgar itu baik banget. Tadi aja harusnya dia marahin kita kan, karena udah nitip proposal sama lo? Tapi malah sebaliknya. Sumpah sih, Pak Dewa nggak salah pilih orang."
Benar. Laura juga merasa bahwa kebaikan Edgar adalah sesuatu yang berarti untuk para karyawan. Selama ini, mereka berada di bawah tekanan Direktur yang semena-mena. Setelah Edgar bergabung, suasana kantor tidak lagi menegangkan seperti dulu.
Ting!
Lift yang mereka tumpangi berhenti di lantai satu. Di mana kantin Dewantara's Company tersedia.
Yang menarik di perusahaan ini, mereka menyediakan kantin dengan semboyan Makan Sehat, Untuk Jiwa Yang Kuat. Tanpa pengecualian, semua karyawan bebas makan di tempat itu secara gratis. Termasuk para OB dan OG.
Menakjubkan, bukan?
"Hai, Neng Laura."
Laura melambaikan tangan pada petugas kantin.
"Mau makan apa, Neng? Lauknya mau pake apa?"
"Nasi aja deh, Luis. Lauknya pake ayam goreng sama sayur, ya."
"Oke siap, Neng."
Luis adalah salah satu pria yang bekerja di bagian kantin. Ia mengenal Laura sejak dua bulan yang lalu. Di mana wanita itu selalu tersenyum dan ramah kepada siapa pun, tanpa membedakan.
Bukan hanya Luis, banyak yang mengenal Laura di perusahaan itu. Termasuk para petugas kebersihan di setiap lantai.
Keramahan Laura membuat mereka takjub dan kagum pada wanita itu. Meski ia memiliki pekerjaan yang jauh lebih berpangkat, namun tidak pernah sombong apalagi membedakan kasta seseorang.
"Neng Jasmin mau makan apa, nih? Biar Aa Luis yang ambilin."
"Nggak usah, Luis. Mending lo ngaso aja, deh. Gue masih punya tangan."
Sama halnya seperti Laura. Jasmin juga sangat ramah, meski tutur bahasanya tidak sebaik Laura.
Jasmin adalah wanita yang selalu tampil apa adanya. Ingin membuat semua orang senang dengan caranya sendiri.
"Kita duduk di mana, Jas?" Laura celingukan, mencari tempat yang nyaman.
"Di tengah aja deh, Lau. Biar AC nya kerasa."
Dari kejauhan, Edgar memperhatikan gerak gerik Laura. Ia selalu tersenyum, saat melihat Sekretaris pribadinya. Sangat cantik dan anggun.
"Gue harus bisa dapetin Laura. Kalau bisa, bikin dia jatuh cinta sama lo, Edgar." Tidak pernah Edgar sesuka ini kepada wanita. Seperti yang kalian tahu.