Chereads / Dendam Di Atas Cinta / Chapter 12 - Hadiah Pertama

Chapter 12 - Hadiah Pertama

"Terima kasih, Pak Edgar. Kami senang bekerja sama dengan anda."

"Terima kasih kembali, Pak Kevin. Karena telah mempercayakan semuanya kepada kami."

Laura yang berdiri di samping Edgar masih tersenyum. Wanita itu senang, karena berhasil menggaet pemilik salah satu pemiliki super market di Jakarta. Ini adalah projek yang besar. Menjadi pemasok sangat tidak mudah. Apalagi bagi pengusaha makanan seperti mereka.

"Sama-sama, Pak. Kalau begitu saya permisi."

"Silakan, Pak Kevin."

Pertemuan hari ini berjalan dengan lancar. Edgar menghela napas lega, kemudian kembali meletakkan bokong di atas kursi dengan lega.

"Saya nggak nyangka, ternyata kamu pinter juga, ya."

"Jadi, selama ini Pak Edgar pikir saya bodoh?" Laura melirik sinis. "Jangan pernah menilai orang dari luarnya aja, Pak. Saya ini bisa segalanya, asal Pak Edgar tahu."

Edgar tertawa geli melihat raut wajah Laura yang kesal. Ia benar-benar manis. Dan cantik tentu saja.

"Saya hanya bercanda, Laura. Kamu nggak perlu marah kayak gini. Saya tahu, kok, kalau kamu adalah perempuan cerdas."

Setelah terjatuh, Laura kembali melayang dalam pujian Edgar. "Ya sudah. Bagus kalau Bapak mengakui."

"Ya sudah. Karena kamu sudah bekerja keras, saya akan membeli sesuatu untuk kamu. Ayo."

"Ke mana, Pak? Beli sesuatu apa maksud Bapak?" Laura sedikit tidak mengerti dengan maksud ajakan Edgar. Membeli sesuatu? Hadiah, kah? Tapi selama ini Laura tidak pernah mau menerima apa pun pemberian pria.

Dia percaya pada satu kalimat. Di mana pria memberi, pasti ada maksud yang mereka tutupi. Dan sejak saat itu, Laura selalu menolak pemberian-pemberian dari mantan kekasihnya dahulu.

"Saya mau beli hadiah buat kamu, Laura. Hari ini kamu sudah bekerja keras. Jadi, anggap aja ini sebagai bentuk terima kasih saya."

"Maaf, Pak. Tapi ... saya nggak bisa menerima pemberian Bapak." Laura tersenyum singkat. Dia bekerja untuk perusahaan dan dirinya sendiri. Melakukan yang terbaik adalah sebuah keharusan. Tanpa mengharap imbalan.

"Gak. Pokoknya kamu harus ikut dengan saya. Karena saya nggak suka penolakan."

Edgar menarik tangan sekretarisnya dengan lembut. Ia sudah memikirkan ini sejak lama. Memberi Laura sesuatu, dengan dalih kinerja yang baik.

Diam-diam Edgar tersenyum. Wanita itu sepertinya berhasil mencuri hatinya. Sehingga Edgar ingin selalu memberikan yang terbaik untuk Laura.

"Pak, beneran nggak usah, deh. Saya cuma kerja, Pak. Dan pekerjaan itu kewajiban buat saya. Jadi, Pak Edgar nggak perlu repot-repot kayak gini." Di dalam mobil, Laura terus menolak dan menyadarkan Edgar. Namun, pria itu justru tidak peduli. Ia menancap pedal gas, mengabaikan ocehan Laura.

"Pak Edgar keras kepala banget, sih!"

"Emang iya. Makanya kamu jangan melawan. Saya bukan mau culik kamu, Laura. Saya hanya ingin memberi hadiah untuk karyawan terbaik. Memangnya salah?"

Laura mendengkus kesal dan memalingkan wajah ke luar jendela. Kemudian terdiam. Memasang mode pasrah.

"Kenapa diem? Udah mau terima?"

"Percuma juga saya nolak. Pak Edgar pasti nggak akan mau."

"Bagus kalau kamu mengerti." Edgar mengulum senyum, sembari sesekali melirik Laura yang masih membuang wajahnya.

Dia sempat berpikir untuk menyatakan cinta pada wanita itu. Namun, Edgar masih harus mempertimbangkan hal lainnya. Apa Laura akan menyukainya juga? Atau hanya cintanya yang bertepuk sebelah tangan?

"Kita sudah sampai." Edgar memarkirkan kendaraannya di basement bawah tanah. Pria itu melepas sabuk pengaman, lalu mengambil dompet yang disimpan di tas yang berada di kursi belakang.

"Bapak mau beliin saya apa?" Laura kembali bertanya. Demi memastikan, barang yang Edgar beli tidak sampai menginjak jutaan rupiah.

"Liat saja nanti. Ayo keluar."

Laura mengangguk pelan. Dia berjalan di samping atasannya dengan anggun. Jika dilihat dengan kacamata orang awam, atau orang yang tidak tahu, mereka seperti pasangan kekasih. Atau bahkan suami istri. Keduanya begitu serasi. Seperti perpaduan parutan kelapa dan gula merah yang selalu berdampingan di atas sebuah kue jajanan pasar.

"Sebelum saya yang beli, kamu mau minta sesuatu, nggak? Atau kamu lagi pengen beli apa, gitu."

"Nggak, Pak. Udah saya bilang, saya lagi nggak butuh apa-apa. Jadi, Pak Edgar nggak usah beliin saya apa pun."

"Oke. Artinya terserah saya, kan? Ikut saya."

Lagi dan lagi. Edgar menarik tangan Laura tanpa permisi. Pria itu mengajak sekretarisnya memasuki sebuah outlet merek terkenal.

Laura sampai melotot tidak percaya. Ia yang sama sekali belum pernah menginjakan kaki tempat itu, seketika terkejut. Melihat bagaimana akrabnya Edgar bersama para pegawai di sana.

'Pasti Edgar sering datang ke sini.' Wanita itu bergumam. Dia menggeleng takjub. Edgar memang luar biasa. Masih muda, namun bisnisnya berkembang dengan pesat. Tempat yang ia datangi pun sangat luar biasa.

"Kamu mau beli apa, Laura? Tas? Baju? Atau sepatu?"

"Pak, ini terlalu mahal. Saya tahu harga di tempat ini berapa. Walaupun saya belum pernah beli." Laura memelas. Dia ingin membujuk Edgar untuk keluar dari tempat itu sekarang juga.

"Harga di tempat ini nggak seberapa, dengan kinerja kamu yang luar biasa, Laurq." Edgar menatap manik mata wanita itu dengan lembut, "Ayo pilih. Saya lagi nggak main-main."

Laura hampir tersedak salivanya sendiri. Dia belum pernah melihat wajah Edgar yang tampan seperti ini, ketika mengatakan hal yang serius dan tulus.

Bahkan di kantor, ia hanya tegas, tanpa menaburkan perasaan di dalamnya.

"Ba-baik, Pak." Laura pun luluh. Dia menyusuri setiap sudut outlet tersebut, tanpa tahu akan mengambil yang mana.

Hingga beberapa saat kemudian, tatapan Laura tertuju pada sebuah tas yang sangat cantik. Tas jinjing berwarna lilac itu berhasil membuat Laura terpana. Namun ketika melihat harga, refleks Laura terkejut dan mengeluarkan kata-kata mutiara.

"Kenapa ditaro lagi?"

Laura terkejut dan menoleh ke belakang. Mendapati Edgar yang tengah berdiri tegap.

"Harganya mahal banget, Pak. Saya pikir masih ada yang lebih bagus dan lebih murah. Apalagi kalau kita belinya di pasar, pasti harga segitu bakal dapet satu karung, Pak."

Edgar tertawa dibuatnya. Laura benar-benar wanita sejati yang sangat mementingkan harga. Padahal ia tidak masalah, jika Laura benar-benar menginginkan tas itu.

"Ya sudah. Jadi, kamu mau yang mana?"

Laurq kembali melangkah. Kali ini ia pergi ke arah sepatu. Memang ya, kebutuhan wanita terlihat jauh lebih cantik.

"Pak, yang warna item ini cocok nggak, sama saya?"

Edgar memperhatikan kaki Laura yang mulus tanpa luka sedikit pun.

"Cocok. Kau akan menjadi pusat perhatian atas itu."

Laura tersipu. Apa benar yang ia katak

"Dasar Bapak-bapak kang rayu!" Laura kembali berjalan ke tempat lain. Siapa tahu dia bisa menemukan barang dengan harga ratusan ribu.

"Kamu mau cari apa lagi, Laura?"

"Saya mau cari yang murah, tapi bermanfaat, Pak. Yang harganya ratusan ribu." Laura berkata tanpa mengalihkan wajah dari deretan sepatu yang sungguh amat menggoda.

"Ada yang ratusan ribu, Laura. Tapi ikatan rambut. Kamu mau?