"Laura, tolong kemarikan berkas untuk meeting besok."
Laura mengambil berkas yang Edgar inginkan. Wanita itu menghampiri sang atasan, menyerahkan berkas tersebut dengan sopan.
"Saya pikir meetingnya nggak jadi, Pak. Soalnya dari pihak klien kayak males gitu. Tadi saya telepon sekretarisnya, tapi jawabannya malah kayak gitu."
Edgar tersenyum. Membuka lembar demi lembar berkas di tangannya. "Jangan diambil hati, Laura. Mungkin aja kamu lagi agak sensitif. Makanya menganggap orang nggak welcome sama kamu."
"Ih, nggak gitu, Pak! Tapi itu beneran!" Laura mempertahankan pendapatnya. "Saya nggak bohong. Makanya saya agak bingung. Kok ini meetingnya jadi, sih? Saya pikir bakal diundur."
"Tolong rapikan di bagian dua. Saya masih liat ada beberapa kesalahan."
Laura mengerutkan dahi. Mengambil kembali berkas tersebut dan membaca dari ujung hingga ujung. "Ah ... kayaknya saya lagi pusing pas bikin ini. Kalau gitu, saya revisi dulu, Pak."
Edgar mengangguk pelan. Kedua sudut bibirnya sedikit terangkat, kemudian menyadari sesuatu.
"Ah, Laura!"
"Ya, Pak?" Wanita itu kembali berbalik. "Ada lagi?"
"Nggak. Saya cuma mau bilang. Kamu cantik."
Laura mematung. Membeku di tempatnya. Apa yang ada di dalam pikiran Edgar saat ini? Mengapa pria itu terlihat seperti manusia pembual yang sering mengganggu para wanita?
"Ah, maaf, Laura. Kamu jangan salah paham. Saya memuji kamu, karena kamu adalah sekretaris yang paling baik dan sabar."
Bibir Laura membulat. Kemudian mengangguk, menanggapi pengakuan Edgar yang entah benar atau salah.
Setelahnya, tidak ada obrolan yang terjadi di dalam ruangan itu. Laura tidak fokus menyelesaikan tugas yang diberi oleh Edgar. Wanita itu masih memikirkan apa yang Edgar katakan tadi. Cantik? Apa benar ia cantik?
Huh ... helaan napas Laura membuat Edgar menaikkan sebelah alis. Matanya bergerak ke atas, menatap sang sekretaris secara diam-diam.
"Ada apa, Laura?"
"Oh, nggak, Pak. Saya cuma kelelahan aja."
"Oke. Kamu bisa istirahat dulu, peregangan tangan atau badan."
"Iya, Pak." Laura tersenyum kecil. Memberi reaksi atas perhatian yang Edgar berikan.
Ia juga tidak menampik, jika Edgar sangat tampan. Tubuhnya gagah berorot, juga sikapnya yang tegas membuat semua wanita menjerit ingin menjadi pendamping atasannya.
Termasuk Laura.
Meski belum lama berada di ruangan yang sama dengan Edgar, namun Laura sepertinya mulai tertarik pada pria itu.
Ia selalu memperhatikan Edgar secara diam-diam. Memuji sorot mata dan sikapnya yang tegas ketika meeting dengan para karyawan.
Laura merasa seperti akan gila, jika berada di dekat atau tengah mengatur strategi dengan Edgar. Ia baru menyadari satu hal, bahwa pria itu memiliki pesona yang luar biasa. Ditambah dengan aroma maskulin yang menguar dari tubuhnya.
"Saya tampan, Laura?"
Suara berat Edgar membuat Laura mengerjap. Wanita itu berdeham, memalingkan wajah dan menyembunyikan ekspresi terkejut sekaligus malu itu.
"Hm, maaf, Pak. Saya mau ke kamar mandi dulu."
"Silakan." Edgar tertawa pelan melihat sikap Laura yang kaget sekaligus malu. Dia tahu, bahwa wanita itu tengah memperhatikan dirinya.
"Dasar perempuan. Kalau udah ketangkap basah, pasti malu kayak tadi." Edgar menggeleng pelan. Dan melanjutkan pekerjaannya.
Di kamar mandi, Laura menatap wajahnya yang basah di cermin. Ya. ia baru saja membasuh wajah, berharap rasa malu dan kemerahan di sana bisa hilang secepatnya.
"Lo harus sadar, Laura. Lo nggak boleh suka sama Pak Edgar. Lo siapa, hah? Lo cuma Sekretaris. Level lo sama Pak Edgar beda jauh. Bagikan langit dan bumi." Laura memukul pinggiran wastafel dengan kedua tangan mengepal. "Nggak. Ini cuma godaan. Gue yakin ini godaan. Pasti Pak Edgar cuma mau nguji gue. Apa gue bisa mempertahankan iman, yang nggak akan jatuh cinta sama bos-nya. Atau, gue berubah jadi perempuan nggak tahu diri, yang berharap jadi pasangan Pak Edgar." Laura menjeda sejenak.
"Huh?!" Ia ternganga, entah karena apa. "Terus kalau Pak Edgar tahu gue suka sama dia, apa gue bakal dipecat?" Laura menggelengkan kepala semakin kuat. "Nggak boleh, Laura. Lo nggak boleh menentang hukum alam. Mending sekarang lo lupain Pak Edgar. Dia nggak pantes buat lo."
Setelah merenung, Laura membuang napas perlahan, Dia tidak boleh lemah. Hatinya sudah terlalu kuat dan kebal hanya untuk sebuah cinta. Apalagi cinta yang Laura miliki saat ini bukan cinta biasa. Ia telah memainkan bumerang untuk dirinya sendiri.
"Semoga elo nggak berkembang, ya ... cinta!" Laura tersenyum di depan cermin, lalu mengoles sedikit lipstik yang hampir memudar. "Oke. Lo boleh keluar sekarang."
Ketukan langkah kaki Laura membuat semua orang menoleh kepadanya. Banyak pasang mata yang menatap, lantas menyapa dengan hormat. Mereka senang melihat Laura yang sudah menjadi salah satu karyawan paling beruntung di perusahaan itu.
Bagaimana tidak, ia telah bersanding dengan Edgar. Direktur baru dengan ketampanan yang mempesona.
"Cie ... makin kece aja nih, temen gue." Jasmin baru saja keluar dari ruang laboratorium. Ia langsung tersenyum dan memeluk pinggang Laura.
"Nggak usah lebay deh, lo. Oh ya, lo lagi ngerjain apa? Produk baru?"
Jasmin menggeleng, dengan kedua tangan yang sudah berada di dalam saku blazzer cokelatnya. "Masih produk lama. Ini punya tim dua, tim Pak Arya.' Jasmin malas sekali membantu Arya dalam penelitian kali ini. Ia sangat berbeda dengan Laura yang selalu menerima kritik dan saran.
"Sabar, ya. Kita juga nggak bisa nebak bakal dapet siapa."
"Lo bener, Lau. Dari dulu gue cuma mau ngurus produk punya elo. Tapi sekarang, justru malah dapet punya Pak Arya." Jasmin membuang napas lelah, kemudian menyandarkan kepala di bahu Laura. "Elo mah enak, tiap hari bisa ketemu sama Pak Edgar. Lha gue? Pak Arya lagi, Pak Arya lagi."
Menyedihkan sekali nasib teman baiknya. Laura memeluk Jasmin dengan erat. "Nggak, ah. Gue juga sama, Jasmin. Kerjaan gue malah lebih banyak dari biasanya!" Laura mempertegas. Menurutnya, semua pekerjaan memiliki kesulitan itu sendiri. Dari berbagai sisi.
"Lo bener juga, sih. Gue harus lebih bersyukur lagi."
Laura mengangkat kedua sudut bibir dengan manis. "Lo harus semangat. Gue balik dulu, ya. Tadi lagi revisi berkas."
"Oke. Gue juga mau bikin minuman dingin."
Kedua wanita itu berpisah dengan tujuan masing-masing. Laura senang bisa mendengar keluh kesah teman baiknya. Apalagi dari orang yang sedikit tertutup seperti Jasmin.
"Kamu sakit perut?"
"Eh?' Laura menoleh pada Edgar.
"Ke toilet kok lama banget?" Edgar bertanya, tanpa menoleh sedikitpun.
"Maaf Pak. Tadi saya ketemu Jasmin dan ngobrol sebentar."
Edgar melepas kacamatanya dan menatap Laura yang masih berdiri dengan takut. "Ngobrol? Kamu pikir ini sekolah? Ini tempat kerja, Laura."
"Saya ngerti Pak. Saya minta maaf."
Sebenarnya Edgar tidak tega melihat wajah Laura yang ditekuk seakan hendak menangis.
"Jangan nangi. Maafin saya. Kamu lama balik dari toilet, dan itu bikin saya khawatir."