Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

GASKANA

🇮🇩SiluetLazuardi_429
--
chs / week
--
NOT RATINGS
33.9k
Views
Synopsis
Kisah SMA tak selamanya hanya cerita indah atau masa lalu yang penuh dengan cinta. Persahabatan dan cita-cita yang sesungguhnya mulai terbangun, serta rasa percaya diri yang kian tumbuh dalam menentukan masa depan. Ana, gadis berusia 18 tahun yang hidup bersama adik perempuan satu-satunya. Hidupnya terpaksa menjadi tulang punggu keluarga dan melanjutkan usaha angkringan orang tuanya. Benih-benih asmara mulai tumbuh ketika bertemu dengan siswa bernama Gaska. Hingga suatu ketika sebuah masalah besar datang dihidupnya yang mengharuskan dirinya melupakan Gaska. Ia mencoba menghindari Gaska dimanapun dan kapanpun itu. Gaska yang terlanjur muak pun mengatakan, "Kamu mau bolos kelas? Silahkan! Kamu kenapa sih menghindari aku terus?" begitulah pertanyaan Gaska ketika berpapasan dengan Ana didepan kelasnya. Ana yang terbiasa menghindar pun akhirnya meninggalkan jam pelajaran dan tdiur diruang UKS. Bagaimanakah kisah Gaska dan Ana selanjutnya? Lalu apa yang membuat Ana menghidari cinta pertamanya, Gaska? Apakah mereka akan bersama?
VIEW MORE

Chapter 1 - Chapter 1 : Si Culun Itu Temanku

Ini tahun pertama aku masuk SMA. Dengan langkah kaki lunglai, aku pijak bidak-bidak lantai lorong yang mengarah ke kelas ku. Ya, aku sudah tahu bahwa aku masuk kelas X MIPA 2. Tempatnya dilantai dua dan berada paling depan, tepat ketika aku sampai diujung tangga, aku melihat kelas itu. Bangunan baru dengan bau cat basah yang masih sangat terasa, lantainya pun masih mengkilap karena baru beberapa bulan ini terpasang. Aku memang tidak mau ditempatkan digedung jelek yang sempit dan bau pengap, serta tanpa pendingin udara. Mungkin rasanya sudah seperti ayam panggang atau bahkan seperti babi guling yang dibakar selama beberapa jam, hanya perlu tes kriuk ketika pulang sekolah nanti. Berbeda dengan anak lain yang mencari tempat duduknya masing-masing, aku justru menempati kursi pojok belakang yang menurutku adalah tempat paling strategis dikala guru sedang berceramah didepan kelas. Aku bisa tidur dengan pulas atau bahkan bermain game kesukaanku. Jangan tanya siapa yang akan memarahiku. Tentu tidak ada yang berani, karena orang tuaku lah yang membesarkan sekolah ini. Sekolah kumuh yang kursinya saja sudah menjadi santapan tungau atau rayap. Entahlah, aku tiak tahu jenis serangga apa yang suka menggerogoti kayu.

"Permisi, boleh saya duduk disini?" tanya seorang gadis culun yang kini tepat didepan ku.

Benar sekali, dia akan duduk denganku. Dengan tatapan sinis, kupalingkan wajahku menuju jendela, sembari ku pasang earphone dikedua telingaku. Anak itu seakan tak menghiraukan aku, ia langsung duduk dan mencoba mengajakku berbicara. Sepertinya dia sudah tidak punya urat malu, atau bahkan tidak memilikinya sejak lahir.

"Kenalkan, nama saya Ana" sembari tangan yang terlihat pucat itu menjulur kearahku. Entah ada wangsit dari mana, tiba-tiba aku mulai melirik ia yang kini tersenyum padaku.

"Gila! Dia aneh banget" pikirku sembari kembali keposisi awal, dimana kutatap luar kelas melalui jendela didekatku. Barangkali juga ada siswa tampan yang lewat didepan kelasku. Ya, aku tahu bahwa sekolah ini sekolah kumuh dari desa yang hampir saja tidak aku tahu namanya. Andai saja ayahku tidak membawa aku ke tempat yang jauh dari ibu kota, mungkin aku bisa bersekolah dengan benar. Ditempat yang mewah, dengan suasana sekolah yang mendukung, bukan dikelilingi hutan dan susah sinyal seperti ini. Tanpa pikir panjang, kuletakkan kedua tanganku sebagai penyanggah kepalaku disaat aku melampiaskan kekesalanku dengan tidur.

Bunyi sepatu fantovel memasuki ruanganku, tentulah guru yang masuk ke kelas ku. Siapa lagi yang dengan senang hati berangkat sekolah menggunakan sepatu kuda, bunyinya sangat memekakkan telinga ku. Sedikit kuangkat kepala, kulirik depan kelasku. Ternyata benar, haaah. Suasana ini makin membuatku mengantuk, panjang lebar ceritanya tentang nama dan alamat serta mata pelajaran yang di ajar dijelaskannya. Sayup-sayup kudengar suaranya makin hilang ketika mataku telah tertutup seluruhnya. Dan aku tertidur selama pelajaran berlangsung, itulah hobiku. Karena pelajaran terasa sangat memuakkan.

"Krrrriiiiiinnnngggg!!!" suara surga sudah terdengar olehku, aku pun terbangun dari mimpi panjangku. Ya, tidur disaat mata pelajaran berlangsung. Akupun bergegas keluar ruangan untuk segera pulang dan bermain game kesukaanku dirumah. Hanya pemberitahuan, bahwa aku jarang sekali berkumpul dengan temanku, bukan karena aku tak punya teman. Karena memang aku sangat malas untuk keluar rumah, apalagi dengan orang baru dan harus repot repot memperkenalkan diri. Aku lebih suka bermain game dirumah sembari menunggu yang katanya ayahku pulang bekerja. Oh ya, namaku Raina Adiwiyata Putri, sekarang anak satu-satunya dari Rudi Adiwiyata. Orang yang berpengaruh di Adiwiyata Konstruksi. Mungkin karena itulah aku jadi seseorang yang angkuh dan selalu menggampangkan segala hal. Baik hal penting sekalipun. Hingga semuanya berubah.

"Itu bukannya si culun itu yah?" gumamku saat mobilku melewati sebuah tenda bertuliskan 'ANGKRINGAN'. Kumundurkan lagi kendaraanku, hanya untuk memeriksa, apakah benar itu si Ana culun.

"Wah! Benar kan? Itu si culun. Bodo amat lah, ngapain juga aku perduli" gumamku sembari menacap gas menuju rumah.

Sesampainya dirumah, aku disuguhkan sebuah pemandangan yang amat sangat mencengangkan. Ayahku yang biasanya menggunakan setelan rapi dengan jas serta dasi, sekarang menggunakan celemek dengan lengan baju yang dilipat dan tersenyum canggung kepadaku. Aneh, sangat aneh bagiku.

"Mba Ipah mana?" tanyaku padanya.

"Ayah suruh pulang, ini ayah masakin bihun goreng kesukaanmu. Ayah banyakin udangnya, kata Mba Ipah, kamu suka udang". Jawabnya panjang lebar sambil terus tersenyum kepadaku.

"Kata Mba Ipah? Hahahaha, ternyata Mba Ipah lebih tahu aku daripada ayah". Jawabku lagi sambil berlalu menuju kamarku.

Aku masih belum bisa menerima ayahku, aku masih sangat membencinya, sangat. Bahkan ketika dia berlutut dikaki ku pun aku tidak akan memaafkannya. Luka itu masih sangat basah, goresan goresan kecil yang bahkan aku sendiri tak bisa mengobatinya. Aku merindukan ibu, aku rindu Raka dan Rana. Aku benci sendiri, aku benci ditinggalkan. Aku benci diriku dan ayah. Tak terasa, air mataku jatuh membasahi bantal Rana yang sedari tadi aku peluk. Akupun tertidur dikamar kecil adikku yang kembar.

Seperti biasa, aku berangkat ke sekolah tanpa berpamitan dengan ayah, aku berangkat sangat pagi agar tidak bertemu dan melihat wajah ayah. Aku hanya melihat Mba Ipah yang dengan sibuk menyiapkan aku sarapan serta membuatkan aku secangkir kopi susu dingin kesukaanku.

"Non Raina, kenapa bihunnya nggak dimakan?" tanya Mba Ipah sembari menunjukkan aku wadah makanan kedap udara dikulkas.

"Aku udah makan kok, itu aku sisain buat mba" jawabku berbohong, agar Mba Ipah tidak banyak bertanya kepadaku.

"Tapi ini udangnya banyak banget lho non, udangnya buat non ya?" tanya Mba Ipah seakan tahu aku berbohong. Mengetahui bahwa aku tidak akan memakan sedikitpun makanan yang dibuat oleh ayahku. Dengan lembut kutolak pemberian Mba Ipah dengan alasan sudah siang dan aku bisa saja terlambat kalau memakan makanan itu. Aku pun mengiyakan perjanjian Mba Ipah denganku kalau pulang sekolah nanti akan memakan makanan itu. Tentulah karena aku akan pulang larut malam dan pasti Mba Ipah sudah pulang kerumahnya. Itulah pikirku saat itu.

Pagi itu memang terasa sangat dingin, sengaja kukenakan jaket hingga kedalam kelas. Karena memang belum waktunya pelajaran, akupun enggan melepas jaket.

"Ntar aja lah kalo disuruh guru. Ya kalau disuruh, pasti lah nggak mungkin. Hahahaha" pikirku dalam hati. Tiba-tiba saja aku melihat si culun masuk kekelas sembari tersenyum kepadaku. Aiiih, terasa geli disekitar tubuhku. Kok ada perempuan yang seramah itu sampai harus tersenyum kepada ku, yang jelas-jelas tidak dikenalnya. Untuk aku yang baru pertama kali, itu sangat risih dan tidak nyaman. Aku kembali teringat kejadian kemarin sore saat aku melintas disekitar alun-alun. Pikiran itu terus menggelayut dikepalaku,

"Kenapa dia jualan? Padahal dia sekolah? Apa dia nggak malu kalo temen-temen tau? Apa dia pura-pura jadi anak orang kaya. Haaah! Bodo amat lah. Mending tidur". Begitulah pikirku sembari terus memalingkan wajah dari pandangan si culun.

"Kamu emang biasa berangkat pagi ya?". Tanyanya membuka perbincangan denganku.

"Kamu Raina kan? Aku Ana. Semoga kita bisa berteman ya". Kata katanya sungguh membuatku merinding. Mana mau aku berteman dengan gadis desa yang kotor dan kumuh seperti dia.

"Kamarin aku liat kamu di alun-alun". Mata yang awalnya hampir terpejam, seakan tidak lagi merasa kantuk. Ternyata benar, yang aku lihat kemarin memang si culun ini. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku pun masih tetap menatap jendela.

"Besok jangan lupa bawa bahan-bahan yang aku tulis. Aku bikin rangkuman dan bawa bahannya, kamu yang bawa alatnya". Kata si culun mengaturku. Sial sekali aku harus satu kelompok dengan si culun, kenapa pembagian kelompok harus dengan teman sebangku? Tapi, kalaupun dengan yang lain. Aku tentu tidak mau juga. Aaah, entahlah. Aku memutuskan pulang tanpa mendengarkan apa yang dikatakan si culun. Aku sangat muak, hingga malas pulang kerumah. Kuarahkan mobilku ke suatu tempat yang sangat aku rindukan. Sepertinya sudah sangat lama aku tidak kesana. Hari ini juga aku bisa pulang lebih awal, jadi tidak ada salahnya kuhabiskan hariku ditempat itu. Kulewati lorong demi lorong dengan membawa permen, biskuit dan mainan kesukaan mereka. Sampailah aku disebuah ruangan yang tampak seperti kondominium. Besar, sangat besar. Terdapat beberapa ruangan yang disekat dengan kaca. Kubaringkan tubuhku disebuah sofa panjang yang menghadap ke televisi, sepertinya mereka suka menonton siaran ini. Hingga akupun terlelap dengan bantal yang sangat aku sukai, karena masih tercium harum badan Raka dan Rana.

"Aku rindu kalian. Ibu, Raka, Rana". Begitulah ucapku sebelum akhirnya aku benar-benar tertidur.

Pagi ini, awan seakan murka padaku. Parasnya cemberut menadakan hujan. Ada apakah gerangan? Apa yang membuat dia marah padaku. Kata-kata puitis yang tak pantas dengan gambaran ku. Hujan turun dengan lebatnya hingga banyak kecelakaan yang menyebabkan kemacetan. Dan itu semua membuatku terlambat kesekolah. Aku sih tidak terlalu memikirkan hukuman, toh siapa yang akan menghukumku. Maukah dia dipecat orang tuaku? Tentu tidak lah jawabnya. Aku tiba disekolah pukul 09.00 WIB. Dan ternyata, si culun itu juga datang bersamaan denganku. Dengan baju basah yang membuatku tambah jijik melihatnya. Tentu aku langsung masuk kekelas dan ia pun disambut oleh guru BK yang menangani keterlambatannya.

"Loh, dia juga telat bu?".

"Sudahlah. Ikuti saya sekarang".

Sudah seperti tradisi bahwa yang kayalah yang menang.

Singkat cerita, tanpa menghiraukan si culun itu diapakan oleh guru BK. Aku langsung masuk kekelas dengan santai, pelajaran sejarah berlangsung begitu saja tanpa menghiraukan kedatanganku. Kududuki tempat dudukku, kupasang earphone dan hanyutlah aku dalam mimpiku siang itu. Selang beberapa jam, aku terbangun karena kaget mendengar bunyi sebuah meja yang sedang diseret. Ternyata benar, sekarang saatnya jam pelajaran prakarya, segera kurogoh tasku untuk mencari perlengkapan yang aku butuhkan.

"Ah, sial. Ternyata aku tidak membawa apa yang diperintahkan si culun. Biarlah, lagian siapa yang berani menghukumku?". Gumamku dalam hati

"Siapa yang tidak bawa peralatan prakarya, silahkan keluar dari kelas saya!". Perintah Pak Fathoni, guru prakarya yang mengajar dikelasku.

"Kamu!" katanya sambil menunjukku.

Kuarahkan jariku tepat didepan wajahku, memberikan isyarat, apakah benar bahwa aku juga disuruh keluar? Ya, dia menyuruhku keluar. Namun, baru empat langkah aku menuju kedepan kelas, tiba-tiba si culun itu masuk ke kelasku dan berkata,

"Sebentar pak, hah hah hah. Dia kelompokku, aku bawa semuanya, hah hah hah". Katanya sambil terengah engah. Akupun diperbolehkan duduk kembali oleh guru botak sialan itu.

Hari pun terus berlalu, aku yang teringat dengan sikap si culun pun semakin penasaran dengannya. Apakah dia tidak marah kepadaku? Sedangkan dia kemarin dihukum karena datang terlambat, dan dia juga melihatku datang terlambat. Tapi aku tidak mendapat hukuman.

"Dia itu bodoh atau gimana sih? Apa emang mau mempermalukan aku aja? Ahhh, tau lah. Pusing aku". Gumamku sembari berjalan menuju kelas. Semuanya berjalan seperti biasa, semua murid berangkat sekolah, tidak terkecuali si culun. Bel berbunyi, guru masuk dan pelajaran dimulai. Begitu pula dengan ku, kupasang earphone dikedua telingaku, kutelungkupkan tangan dan kupalingkan wajahku menuju jendela hingga akupun tertidur pulas dikelas selama pelajaran terus berlangsung. Sesekali aku bangun untuk istirahat atau kekamar mandi.

Hingga jam pelajaran terakhir pun dimulai, samar-samar aku mendengarkan celoteh guru didepan kelas. Apa yang dijelaskannya pun aku tak tahu karena lagi-lagi aku tidur kembali. Padahal sebelumnya aku tidak pernah tidur dijam terakhir pelajaran, ini pasti karena aku semalaman suntuk bermain game kesukaanku dan ayah tidak pulang semalam. Jadi, tentulah aku bebas bermain sampai jam berapapun. Hingga akhirnya aku terbangun karena gigitan nyamuk sialan ditelingaku. Entah kemana perginya semua orang, aku hanya menyadari bahwa semuanya sudah pulang. Aku pun bergegas pulang. Lorong-lorong kelas sudah menggelap karena cahaya senja yang kebiruan itu sudah tertutup awan gelap pertanda malam akan singgah. Suasana menyeramkan sangatlah terasa, bulu tangan serta kakiku beranjak tagak. Suara-suara mulai terdengar, jelas terdengar disudut ruangan sebelah perpustakaan. Jelas itu kamar mandi siswa dan siswi, suara itu sangat jelas terdengar pada ruang kamar mandi siswi. Biasanya memang hal-hal semacam itu singgah ditempat-tempat kotor dan tidak terawatt.

"Guubbbbrrrraaakkk!!!".

Langkahku tak karuan hingga tak sengaja menabrak sebuah pot besar disudut lorong. Jantungku hampir saja lepas dari sarangnya, akupun bersembunyi dibalik loker. Ketakutanku berubah menjadi penasaran ketika terdengar suara dari ruangan itu.

"Tolong" lirih suara itu hampir hilang diakhir kata.

"Masa sih setan minta tolong??" pikirku yang kembali tersadar bahwa itu suara seorang manusia.

"Tolong" terdengar lagi suara dari ruangan tersebut.

Akupun memutuskan untuk memberanikan diri dan membuka ruangaan itu, dan ternyata benar. Itu bukanlah suara setan, melainkan seorang perempuan yang sudah tersungkur disebelah tong sampah.

"Hey, hey. Kamu manusia kan?" kataku sembali membalik tubuh gadis itu.

Hal yang sangat membuatku terkejut, ternyata gadis itu ialah Ana, si culun itu. Hidung dan mulutnya sudah dipenuhi darah, ia pun sepertinya sudah tidak sadarkan diri. Aku bergegas menelpon ambulance dan membawanya kerumah sakit terdekat.

Pukul 23.25 WIB, aku masih tetap menunggu keputusan dokter mengenai penyakit yang sedang diderita si culun. Dan hampir saja jantungku kembali terlepas dari sarangnya saat terdengar dering hp milik si culun. Ah, inilah kesempatan aku memberitahu keluarga si culun agar aku bisa pulang dan tidur nyenyak dirumah.

"Halo, Kak Ana??" terdengar suara gadis kecil yang sepertinya mengenali Ana.

"Halo, ini saya temannya Ana. Ini siapa ya?".

"Halo, ini Alma. Kak Ananya mana? Kok jam segini belum pulang. Alma takut sendirian dirumah".

"Permisi mba. Mbanya keluarga pasien Ana?" suara dokter yang menegurku kembali membuatku kaget. Dengan tak sengaja, aku pun menutup telepon dari anak kecil itu. Aku mengiyakan pertanyaan dokter. Dokter menjelaskan keadaan si culun dengan sebenar-benarnya. Aku kembali menganga saat mendengar penjelasan dokter. Setelah perginya dokter yang sedari tadi meberiku penjelasan, aku langsung menuju keruangan si culun. Ia memang belum sadarkan diri, namun aku ingin sekali melihat keadaannya. Jiwa egois dan rasa tak perduliku seakan luntur, seorang Raina yang terkenal angkuh seakan menumpahkan seluruh air matanya. Sudah beberapa kali aku tahan agar tak terlihat sedih, namun derasnya air mataku sudah sangat tak terkendalikan. Gadis kecil yang menelpon itu kembali menelpon hp si culun.

"Kak, kapan kakak pulang? Alma takut, katanya kakak mau nemenin Alma selamanya. Walaupun bapak sama ibu nggak ada, tapi jam segini malah Kak Ana belum pulang? Alma ngantuk, Alma juga belum makan dari siang. Huhuhu" tangis gadis itu yang sontak membuatku kembali terkejut.

"Adek, Kak Ana…" belum sempat selesai aku memberi penjelasan ke anak itu. Tiba-tiba hp si culun mati. Ah sial, batrainya habis.

Tanpa pikir panjang, aku langsung membuka dompet si culun dan mencari selembar kertas yang dapat memberiku informasi tempat tinggalnya. Kutancap gas menuju rumah si culun itu sembari membeli beberapa makanan untuk gadis kecil yang aku kira adalah adik si culun itu.

Tibalah aku disebuah gubuk kecil dengan sebuah gerobak menghias latarnya. Hawa dingin yang menusuk tulang menyuruhku untuk bergegas masuk tanpa permisi terlebih dahulu.

"Kak Anaaa" sambut gadis kecil berambut pendek yang mengira aku adalah si culun itu.

"Lho, Kak Ananya mana?" tanya polos gadis yang menyadari kedatanganku bukanlah kakaknya.

"Kak Ana masih jualan dek" jawabku sekenanya.

"Tapi kok gerobaknya dirumah?" tanya gadis itu semakin menyelidik.

"Ah iya, itu, anu. Kak Ana jualan pake gerobak aku. Katanya ban gerobaknya bocor" jawabku kembali sekenanya.

"Oooh, kakak ini siapa ya? Kata Kak Ana, aku nggak boleh bicara sama orang sembarangan".

"Aku Raina, temannya si culun, eh Ana maksudnya. Oh ya, ini Ana nitip makanan buat kamu katanya".

"Waahhh, makasih kak. Wah, ayam. Kak Ana pasti jualannya rame, makanya bisa beli ayam. Padahal tadi aku udah goreng tahu". Katanya sambil terus mengunyah ayam goreng yang aku bawa.

"Apa? Kamu goreng tahu? Emang nggak takut meledak?" tanyaku bingung.

"Hahahaha, kan aku gorengnya pakai kompor kak, bukan pakai balon. Jadi nggak bakal meledak. Hahahaha". Jawabnya mengejekku.

Seperti ada belati yang menusuk jantungku. Malu sekaligus kaget, anak sekecil ini sudah harus dituntut mandiri. Mungkin saja lengannya terkena cipratan minyak. Tapi kenapa dia terlihat baik-baik saja, bahkan sepertinya dia terlihat bahagia. Ana, dia juga tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya karena orang tuanya sudah meninggal. Tapi ia tetap jadi manusia yang berguna, dia bisa menghidupi dirinya serta adik satu-satunya dengan segala keterbatasan yang ia miliki. Dengan keadaan tubuhnya yang sudah menderita kanker pankreas, bukan karena dia perokok. Tapi aktivitasnya sebagai penjual angkringan yang setiap harinya berhadapan langsung dengan pembeli yang mayoritas perokok. Untung saja kanker itu belum terlalu besar dan bisa diangkat dengan melakukan operasi. Tapi ia selalu bersemangat yang berusaha untuk menjadi lebih baik dan berguna bagi siapa saja. Sedangkan aku, aku yang memiliki segalanya malah selalu menyalahkan orang tuaku. Harusnya aku harus lebih berguna, bahkan lebih dari Ana. Aku terlalu egois dan mau menang sendiri. Mungkin memang orang tuaku berusaha agar aku mendapatkan apa yang aku mau tanpa bekerja keras. Harusnya aku lebih mendengarkan penjelasan orang tuaku, bukan malah menyalahkan mereka. Dari sini aku belajar bahwa hebat itu bukan ditentukan dari kelurganya saja, tapi dari masing-masing individu yang memutuskan jalan mana yang akan diambil dan jalan mana yang akan ditinggalkan, disetiap jalannya memang ada rintangannya masing-masing, namun disinilah gunanya keluarga, yaitu sebagai pendorong, pelindung dan penasehat.

Sejak saat itu, aku dan si culun Ana berteman, dia selalu mengajari aku tentang hidup. Bagaimana menahan emosi, bagaimana berusaha bisa sekalipun belajar dari nol, ia juga mengajari aku bagaimana caranya bersabar dan mengahadapi masalah dengan kepala dingin.

"Eh, culun. Mana uang kebersihannya?". Pinta seorang preman yang bertubuh tinggi dan tegap.

"Nggak usah, ini biar aku aja". Jawabku pada Ana yang hendak memberikan uang kepada preman itu.

"Bang, ini cukup nggak buat setahun?". Tanyaku pada preman itu.

"Ya, cukup-cukup aja sih. Emang elu siapanya si culun?". Tanya perman itu kepadaku.

"Si culun itu temanku". Jawabku singkat sambil terus menata barang-barang yang ada dimeja angkringan. Ana hanya memandangku dengan tersenyum tipis hingga akhirnya kita berdua tertawa terbahak-bahak bersama.