Beberapa bulan kemudian, pengumuman kenaikan kelas pun dilakukan. Semua siswa berbondong-bondong menuju aula sekolah. Memang bukan orang tua yang mengambil hasil kenaikan kelas, melainkan siswa atau siswi itu sendiri. Begitu juga dengan Ana dan Raina. Mereka berdua berjalan bersama menuju aula dengan perasaan tak karuan, karena tepat dua minggu sebelum pengumuman. Ibu Ami, selaku wali kelas X MIPA 2 sudah memberitahukan kriteria siapa-siapa saja yang terancam tidak naik kelas dan duduk dibangku kelas sepuluh lagi. Raina yang seakan menjadi cenayang pada hari itu sudah menduga bahwa dirinya juga termasuk salah satu anak tersebut. Bagaimana tidak? Ketika Bu Ami menyebutkan poin pertama, yaitu jarang masuk sekolah. Raina dengan bangganya melempar senyum kepada Ana. Pada poin kedua, Bu Ami menjelaskan bahwa siswa atau siswi yang tidak naik kelas ialah anak yang tidak mengerjakan tugas. Baik itu tugas individu maupun kelompok. Disini justru Ana yang melempar senyum kepada Raina, karena dari beberapa tugas yang dilakukan kelompok sudah mereka kerjakan bersama, meskipun hanya Ana yang mengerjakan.
"Kamu pasti naik kelas lah". Kata Ana ditengah perjalanan menuju aula.
"Sulapan kali. Aku udah ngomong ke ayah, kalau aku udah nggak mau diprioritaskan lagi disekolah". Jawabku meledek Ana.
"Udahlah, lagian masih satu sekolah. Bosen kali jalan sama kamu terus, pengen cari adek kelas yang manis-manis kek cendol. Hahahaha". Timpalku saat melihat mulut Ana hendak mengatakan sesuatu.
Tibalah kami di aula, suasananya sudah sangat ramai dan penuh sesak. Padahal aula sekolah ini sudah lumayan besar menurutku. Tapi, aku tetap tidak menghiraukannya. Aku duduk dikursi paling belakang, dekat dengan pintu keluar. Ana yang termasuk anggota OSIS berkumpul dengan teman organisasinya. Sedikit meringankan telingaku yang bosan mendengar omelan dia ketika aku tidur mendengar ceramah guru-guru secara bergantian.
"Selamat ya culun. Akhirnya naik kelas juga". Kataku sambil mengulurkan tangan kepada Ana.
"Alah, seneng kan kamu. Nggak bakal sekelas lagi sama aku?". Gerutunya sambil memanyunkan bibir.
"Ya, gimana lagi? Untung kan aku bisa naik kelas, meskipun harus dipindah ke kelas IPS". Jawabku ringan.
Syukurlah, kami semua naik ke kelas sebelas, meskipun aku dan Ana harus terpisah kelas. Karena aku harus dipindah kelas menjadi kelas IPS. Bagaimana tidak? Nilai yang aku punya hanya nilai kelompok, untung saja aku selalu satu kelompok dengan si culun.
"Mau kemana?" tanyaku saat melihat Ana menenteng tasnya.
"Mulung! Ke sekolah Alma lah, kan hari ini Alma juga terima rapot". Jawab Ana nyolot.
Bisa nyolot juga ternyata makhluk ini.
"Aku ikut!" seru ku sambil mengikuti Ana dari belakang.
"Ngapain weh?" tanya Ana sambil berbalik kearahku.
"Jajan lah, jajanan anak SD kan enak-enak. Micin it's my life". Jawabku
"Dasar bocah micin".
Tidak terasa, waktu begitu cepat berlalu. Awalnya aku hanya anak kota yang pindah ke desa. Sekarang aku sudah menjadi anak desa yang lupa akan dunia perkotaan. Sedikit demi sedikit luka batinku mulai terobati. Aku mulai beradabtasi dengan teman-teman di sekolah. Semua juga karena Ana, Ana yang memperkenalkan aku dengan satu persatu teman sekelas. Bukan karena gengsi, aku memang sangat susah membuat topik dalam sebuah perbincangan. Aku bisa saja duduk berjam-jam dengan orang lain tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutku. Tapi, kalau aku sudah kenal dan dekat dengan seseorang. Aku menjadi anak yang paling ramai dan gampang meladeni setiap perbincangan. Entah itu, game atau dunia make up dan fashion sekaligus. Dua minggu setelah libur sekolah, aku dan Ana memutuskan untuk menjalin bisnis dalam dunia angkringan. Aku sebagai investor dan Ana sebagai pelaku usaha. Waktu liburan kami habiskan untuk berjualan, meski terkadang aku jarang sekali menemaninya di angkringan. Aku hanya sebatas memasak semur telur puyuh, usus dan hati ayam. Aku juga sering bahkan hampir setiap hari, hingga aku sendiri bosan membuat sate yang berisi telur puyuh, usus atau hati ayam yang awalnya sudah matang karena dibumbui semur. Untuk yang lainnya hanya bakso ikan atau otak-otak yang aku tusuk menjadi sate, yang nantinya akan dibakar jika ada pelanggan yang membelinya. Bukan karena jarak rumahku yang jauh dari tempat berjualan, tapi karena akhir-akhir ini aku lebih sering bermain dengan Raka dan Rana ditempatnya. Sesekali aku juga singgah kerumah ibu, untuk sekedar bercerita tentang keadaan hidupku yang sekarang ini.
"Bu, kenapa ya? Aku masih belum bisa memaafkan ayah. Setelah apa yang dilakukan ayah kepada ibu, Raka dan Rana".
Ibuku hanya tersenyum melihat kehadiranku disebelahnya. Ibuku memang tidak terlalu banyak berbicara. Tapi aku tahu, ibu juga merasakan sakit yang teramat dalam kepada ayah. Hingga akhirnya ibuku dipindahkan ke tempat ini. Semoga suatu saat nanti, ibu dan adik kembarku dapat berkumpul lagi denganku dirumah.
Lamunanku sontak lenyap saat mendengar telepon dari Ana, entah apa yang ia butuhkan hingga harus menelponku. Segera kuangkat, sebelum telingaku pecah mendengar omelannya.
"Iya, apa?" tanyaku sembari mengangkat telepon dari Ana.
"Dimana? Aku butuh bantuan nih, angkringan rame banget" jawab Ana meminta bantuanku.
"Iya, bentar. Aku langsung jalan ini, 10 menit lagi sampai" jawabku sambil bergegas mengambil kunci mobil yang aku taruh diatas meja ruangan ibu.
Kutancap gas secepat mungkin agar bisa sampai angkringan tepat waktu. Kasian sekali Ana, setelah beberapa menu diangkringan ditambah, sekarang angkringan Ana disulap mejadi café hits yang terkenal diantara muda mudi desa ini. Setelah memakan waktu cukup lama, sampailah aku disebuah tenda yang bertulisan ANGKRINGAN ALMA. Betapa kagetnya aku ketika melihat Ana yang membawa kue ulang tahun bertuliskan 'Selamat Jebrol Raina' dengan lilin berangka 18. Aku sendiri bahkan lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke 18 tahun.
"Apa-apaan nih? Mana? Katanya angkringan rame? Sepi gini".
"Kak Raina, Alma bikin gambar ini buat Kak Raina. Soalnya Alma nggak punya uang buat beli bunga. Jadi, Alma gambar aja deh bunga matahari buat Kak Raina. Semoga Kak Raina suka ya".
"Pastilah Kak Raina suka. Kata siapa kalo ulang tahun harus dikasih bunga?". Tanya ku kepada Alma sembari menerima gambar sebuah bunga matahari berwarna kuning dengan tangkai yang bercabang dua.
"Kata temen Alma, oh ya kak. Ini bunganya ada dua ya, dari Alma dan Kak Ana". Jawab Alma dengan polosnya menunjukkan jumlah bunga itu.
"Betewe, selamat ulang tahun ya Rain. Sorry ya bikin kamu buru-buru kesini, hahahaha". Kata Ana sambil terbahak menertawakan aku yang sedikit syok melihat pemandangan ini.
"Hahahahaha, ini nanti dimasukkin ke laporan keungan apa nggak?" tanyaku meledek Ana.
"Ya nggak lah, ini pake uang aku sendiri tau. Yakali pake uang angkringan". Jawab Ana.
"Udah udah, yok sekarang ini beresin semua. Beres-beres, kita pergi makan" ajakku pada Ana dan Alma.
"Yeaaaay, makan daging yang dipotong pake pisau ya kak" kata Alma kegirangan.
"Steak maksudnya? Iya ayo. Makanya Alma bantuin juga dong. Biar cepet selesai".
"Terus ini sisanya gimana? Masih lumayan banyak tau" kata Ana sambil menunjuk beberapa sate yang belum habis. Karena memang baru jam setengah delapan, biasanya angkringan ramai dan semua makanan akan habis jam sepuluh keatas.
"Udah, bagiin aja ke mas mas itu tuh. Itu juga tuh, itung-itung traktiran aku dihari ulang tahunku" jawabku sambil menunjuk beberapa muda mudi yang sedang asik berjalan disekitar alun-alun.
"Nota loh yaaaa" kata Ana.
"Iyaaaaa, catet aja udah. Ntar tinggal aku transfer".
"Heleh, dasar. Uang tinggal gunting sih" kata Ana meledekku.
"Udah buruan, keburu malem ntar. Alma udah laper tuh".
"Enggak, Alma nggak laper".
"Kruyyuuuukkk".
"Hahahahahahaha". Semuanya pun tertawa terbahak-bahak mendengar suara perut Alma dengan sesekali memandang wajahnya yang lucu seperti habis melakukan kesalahan.
Malam itu kami pergi makan bersama dan menghabiskan waktu dengan bermain macam-macam permainan di mall yang tidak jauh dari tempat kami makan malam.
Keesokan paginya adalah hari kami pertama kali masuk sekolah setelah naik kekelas sebelas. Seperti biasa, Ana menyiapkan Alma terlebih dahulu sebelum dirinya bergegas berangkat ke sekolah.
"Alma, ini telurnya mau didadar atau di mata sapi?" tanya Ana yang sedang menyiapkan sarapan untuk mereka berdua.
"Alma mau yang kaya tadi malem kak" jawab Alma.
"Loh. Kakak nggak ada uang buat beli itu, dek. Gimana kalo telurnya kakak dadar, habis itu kakak kasih tepung biar kaya fried chicken?" rayu Ana kepada adiknya yang rewel dalam hal makanan.
"Mmm, yaudah deh. Tapi telurnya dua ya, yang satunya buat bekel".
"Siap bos. Udah sekarang Alma ganti baju ya, pakai sepatu. Nanti kita sarapan, habis itu berangkat sekolah".
"Horeeee. Alma mau ketemu Rahel dan Bianca lagiiiii". Sorak Alma yang bersemangat untuk berangkat sekolah kembali.
Mereka pun menghabiskan sarapan dan berangkat ke sekolah bersama menggunakan angkot. Ana mengantar Alma ke sekolah terlebih dahulu, barulah Alma sedikit berjalan kaki menuju sekolahnya. Jaraknya memang agak jauh, tapi kalau harus naik angkot lagi. Ana tidak bisa berhemat untuk membeli keperluan sekolahnya.
"Woyyy!!!! Lesu amat kayak cucian kotor. Semangkaaa, semangat kakaa" seru Raina yang melihat Ana sedang berjalan kaki memasuki gerbang sekolah sembari meledeknya.
"Dih, bocah songong. Awas kamu dikelas". Kata Ana sambil mengejar Raina yang berlari menuju gedung kelas 11. Mereka pun bersama-sama mencari kelas masing-masing. Raina mencari kelas 11 IPS 4 dan Ana mencari kelas 11 MIPA 1.
"Mmmm, sorry. Ini didepan kosong kan?" tanya Ana yang sudah menemukan kelas dan hendak langsung menduduki bangku nomor dua dikelas itu.
"Oh, silahkan. Kosong sih kayaknya" jawab seorang siswa yang duduk dibangku nomor tiga. Tepatnya dibelakang tempat duduk Ana.
Ana pun langsung duduk dan segera mengirim pesan kepada Raina. Bertanya, apakah Raina sudah menemukan ruang kelasnya dan apakah Raina sudah duduk dikelas itu, serta mengajak Raina untuk keluar sebentar mencari minum di kantin sebelum pelajaran dimulai.
"Dimana, Ra?" tanya Ana pada Raina.
"Dikelas nih, aku udah ketemu kelasnya. Aku juga udah dapet tempat duduk, kamu dimana?" jawab Raina panjang lebar disertai pertanyaan kepada Ana.
"Aku juga, beli minum yuk? Aku canggung nih, nggak ada yang bisa diajak ngomong" ajak Ana.
"Oke, aku tunggu dikantin ya" jawab Raina
Mereka pun memutuskan menunggu bel masuk kelas di kantin bersama. Mungkin karena hari pertama masuk sekolah, semua guru lebih berfokus ke peserta didik baru. Ana yang menjadi anggota OSIS pun sesekali ikut membantu teman-temannya yang lain. Namun, Ana memang bertugas pada hari keempat dan kelima hari orientasi sekolah, maka dari itulah ia memutuskan untuk meunggu guru di kantin. Karena jarak kelasnya dengan kantin sekolah cukup dekat.
Hingga tanpa disengaja, Ana melihat siswa yang duduk dibelakang tempat duduk Ana dikelas tadi ada dikantin bersama segerombolan temannya. Tidak sedikit pula siswi diantara beberapa siswa yang duduk dipojok kanan bagian kantin.
"Kasian ya, temen-temennya naik kelas. Eh dia malah ditinggal" kata Raina melirik siswa itu.
"Siapa?" tanya Ana sembari bermain hp.
"Itu" tuding Raina menggunakan raut wajah.
"Yang mana?" tanya Ana yang mulai fokus mencari sumber percakapan mereka.
"Ituloh, yang duduk paling kiri. Deket tante, eh cewek itu. Yakali ditunjuk, ntar bisa-bisa rame meja kita" jawab Raina agak kesal dengan Ana.
"Loh, itu bukannya temen sekelas aku?" tanya Ana kebingungan.
"Ngaco, dia kelas IPS tau. Dia kakak kelas yang nggak naik kelas. Eh, gimana sih maksudnya. Ya intinya dia itu harusnya kelas 12, tapi sekarang sekelas sama kita, eh setingkat maksudnya. Belibet banget ini mulut" jelas Raina panjang lebar.
"Tapi dia tadi dikelasku" jawab Ana kekeh.
"Ya kali aja main ke kelas kamu. Mungkin ada temennya yang sama-sama nggak naik trus dikelas kamu" jelas Raina kepada Ana yang masih kebingungan.
"Iya kali ya, bodo amat lah ya" jawab Ana singkat sembari meminum es teh manisnya.
"Kriiiiinnnggg!!!" bel masuk pun berbunyi. Raina dan Ana segera berpisah dan menuju kelas masing-masing. Ketika hendak bangun dari tempat duduknya, Ana tidak sengaja menatap siswa yang sedari tadi dibicarakannya dengan Raina. Siswa itu melempar senyum tipis ke arah Ana. Ana hanya membalas senyuman itu tanpa menaruh rasa sedikit pun. Ana langsung menuju kekelasnya, dia berkenalan dengan beberapa siswa dan siswi yang sekelas dengannya.
"Nama ku Ana" kata Ana yang mencoba menjabat tangan seorang siswi berkepang dua dan berponi tipis.
"Bentar-bentar, aku Yasha. Oh kamu ternyata yang duduk disini, kirain siswa" jawab seorang siswi bernama Yasha yang mengira Ana seorang siswa karena backpacknya berwarna hijau army tanpa ada hiasan.
"Hah, iya. Aku suka warna netral soalnya" kata Ana sambil membuka backpacknya.
"Bentar ya, aku kenalin sama temen aku. Sekha! Sini deh".
"Apa?" tanya seorang siswi dengan rambut kuncir kuda sembari berjalan kearah meja Ana dan Yasha.
"Kenalin, aku Ana" kata Ana sambil kembali mengajak siswi itu berjabat tangan.
"Ah, iya. Aku Sekha, temennya Yasha. Yang sabar ya kalo duduk sama Yasha. Doyan tidur soalnya. Hahaha" kata gadis bernama Sekha itu.
"Hih, apaan sih Sekha".
Mereka pun asyik bercerita sembari menunggu guru yang masuk kekelas mereka. Sekarang akhirnya Ana memiliki banyak teman. Awalnya bukan karena Ana memiliki sifat yang buruk, namun beberapa teman Ana menjauh semenjak Ana berteman dengan Raina yang terkenal sombong dan jutek di sekolah. Disisi lain, Ana malah mengajari Raina agar berkenalan dan berteman dengan siapa saja. Karena suatu saat, kita pasti membutuhkan pertolongan orang lain.
Dikelas lain, Raina mulai mempraktikan nasihat yang diberikan Ana. Raina mulai memberanikan diri untuk berkenalan dengan teman sekelasnya.
"Namaku Raina" kata Raina sembari menjulukan tangan kepada teman sebangkunya.
Seperti hukum karma, Raina hanya di acuhkan oleh teman sebangkunya. Tanpa siswi itu tahu, bahwa sekolah ini hampir tujuh puluh lima persennya milik ayah Raina. Namun, Raina sudah berjanji kepada Ana, bahwa ia harus menutupi identitasnya disekolah. Agar tidak ada yang dapat memanfaatkan Raina dikemudian hari. Raina pun memutuskan bermain game kesukaannya sembari menunggu guru masuk kekelasnya.
"Aku join dong" kata seorang siswa yang duduk dikursi depan Raina.
"Eh, iya. Silahkan, IDnya apa?" jawab Raina kaget.
"Ini" kata siswa itu menunjukkan hpnya.
"Namaku Gaska" kata siswa itu dengan mengajak Raina berjabat tangan.
"Oh iya. Aku Raina" kata Raina yang asyik bermain game tanpa memperhatikan uluran tangan siswa itu.
Mereka pun bermain dalam satu putaran permainan, namun guru masih belum juga masuk ke kelasnya.
"Yashhh! Aku menang" kata Raina dengan kegirangan.
"Wah! Hebat juga ya kamu" kata Gaska memuji Raina.
"Hahaha, izy pizy" jawab Raina sambil cengengesan.
"Oh ya, tadi siapa nama kamu? Gaska ya?" kata Raina sambil mengulurkan tangan mengajak Gaska berjabat tangan.
"Iya, aku Gaska. Kamu udah lama main game ini?".
"Lumayan sih, dari SMP kayaknya".
"Itu bukan lumayan lagi. Itu sih dari awal game ini keluar kali" kata Gaska dengan mimik wajah yang lucu.
"Hahahaha, lucu banget sih kamu. Ketawanya kocak".
Mereka pun asyik membahas game itu hingga salah seorang guru laki-laki masuk kekelas mereka. Pelajaran pun dimulai, semuanya kembali ke tempat duduknya masing-masing dan mulai mengikuti pelajaran dengan tertib.
"Kalo kata aku sih mending cewek aja, takutnya malah kamu yang di apa-apain" kata Raina sambil menyeruput kuah bakso miliknya.
"Ya nggaklah, ntar kan bisa jagain aku juga. Trus gimana kalo Alma minta pulang? Yakali dia cewek sendirian yang jaga?" kata Ana dengan alasan yang logis.
"Yaudah, berarti dua orang".
"Nggak, nggak. Dananya nggak cukup. Nggak usah aneh-aneh. Kamu itu investor, bukan pengurus lapangan. Biar aku aja yang ngurus".
"Aku mau dong di urus juga" kata Gaska yang menyela dan langsung duduk disebelah Ana.
"Eh, aku boleh kan duduk disini?" tanya Gaska berikutnya.
Ana dan Raina pun bertatap-tatapan. Sedangkan Yasha dan Sekha hanya diam dan lanjut menikmati makanannya.
"Eh, iya. Silahkan" jawab Ana.
"Trus gimana ini jadinya?" tanya Raina.
"Yaudah, itu urusan aku. Oh ya, laporan keuangan bulan ini udah aku email ya" jawab Ana.
"Urus? Laporan? Kalian lagi bahas apa sih?" tanya Gaska menyelidik.
"Bukan kok, bukan apa-apa" jawab Ana memotong Raina yang hendak berbicara.
Gaska pun hanya mengangkat alis dan memasang wajah 'bodo amat'.
"Oh ya, kenalan aja dulu. Aku Gaska. Bisa dipanggil sayang, hahahaha" kata Gaska memperkenalkan diri sembari menertawakan lelucon yang ia buat.
Semuanya pun ikut tertawa sembari saling berkenalan. Suasana kembali mencair, mereka berbincang dan bercanda. Membahas game hingga mata pelajaran. Sesekali Ana tatap wajah Gaska yang sedang asyik mengobrol. Ana merasakan ada letusan kembang api kecil yang meledak dihatinya. Perutnya seakan mual, dan matanya semakin berbinar. Gaska yang merasa sedang dipandang pun sedikit melirik Ana, namun dengan sigapnya Ana mengalihkan padangannya ketempat lain. Hingga tanpa disengaja, Ana tersedak akibat kaget melihat Gaska yang berbalik menatapnya. Mereka pun hanya tertawa terbahak-bahak tanpa menaruh rasa curiga.
Pagi ini, Ana sangat bersemangat menjalani harinya. Dimulai dengan memasak nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi dan irisan sosis. Hal itu membuat Alma bingung dan menatap heran kakak satu-satunya. Disekolah pun ana melakukan hal aneh yang membuat Raina kebingungan.
"Pagi, Raina" sapa Ana yang melewati mobil Raina.
"Pagiiii, tumben itu bocah. Kepentok kali ya kepalanya? Haha" sahut Raina yang diikuti dengan perkataan konyolnya.
Mereka pun berjalan menuju kelas masing-masing, namun Ana malah menuju ke kalas Raina. Ana beralasan ingin mengantar Raina menuju kelasnya. Agar Raina merasa aman diperjalanan menuju kelasnya. Alasan yang sangat tidak masuk akal, Raina merasa heran dengan tingkah laku sahabatnya, karena Ana bertindak tidak seperti biasanya. Ana terlihat seperti bukan Ana, namun Raina hanya membiarkan sahabatnya bertingkah seperti itu.
"Ini kelas kamu ya?" tanya Ana kepada Raina saat Raina berhenti didepan kelas.
"Iya, aku masukin tas dulu ya ke kalas".
"Oke oke, siap". Jawab Ana dengan mengangkat jempol.
Ana yang sedang duduk didepan kelas Raina pun merasa kelelahan dan meminum air yang dibawanya dari rumah. Ana kembali tersedak karena melihat Gaska, ia berniat menyapa Gaska yang hendak masuk ke kelas. Namun, tiba-tiba datanglah seorang siswi dari arah tangga berjalan menuju Gaska sambil memanggil Gaska.
"Sayang!". Seru wanita itu kepada Gaska.
"Sayang? Itu pacarnya Gaska?" gerutu Ana sembari menatap Gaska dan siswi itu.
"Apa? Kenapa liat-liat?!" tanya siswi itu sedikit membentak Ana.
Ana langung memalingkan wajahnya dan berusaha tidak menatap Gaska dengan pacarnya.
"Ini sayang, kamu lupa ya? Kunci motornya" kata siswi itu kepada Gaska.
Samar-samar Ana juga mendengar Gaska memanggil wanita itu dengan panggilan 'sayang' juga. Gaska menyuruh siswi itu untuk masuk kelas, karena Gaska juga akan masuk ke kelasnya. Namun, setelah siswi itu pergi. Gaska malah duduk disebelah Ana.
"Nunggu Raina ya?" tanya Gaska kepada Ana yang hanya dijawab anggukan oleh Ana.
"Gantungan tasnya lucu ya, kamu suka avokado?" tanya Gaska sambil menunjuk gantungan tas Ana.
"Nggak juga sih, Cuma suka warnanya aja" jawab Ana sambil sesekali melirik wajah Gaska.
"Raina lama banget ya? Aku panggilin deh ya?" tanya Gaska kepada Ana yang terlihat mulai gelisah menunggu Raina.
"Nggak usah deh, aku mau ke kelas aja. Udah mau masuk juga, ntar aku chat aja" jawab Ana yang beranjak dari tempat duduknya.
"Aku? Emang kamu punya kontakku?" tanya Gaska menggoda Ana.
"Nggak, Raina. Maksudku, ntar aku chat Raina aja" jawab Ana sembari terus salah tingkah.
"Sekali-kali kek jawab iya, ntar aku kasih kontakku".
"Iya..".
"Iya?" tanya Gaska memotong perkataan Ana.
"Iya suka-suka aku lah, hahaha. Udah ah, aku mau masuk kelas. Udah bel".
Ana pun pergi meninggalkan Gaska yang juga sudah beranjak dari tempat duduknya. Gaska hanya tersenyum melihat tingkah Ana, bukan karena Gaska tidak tahu bahwa Ana menyukai dirinya. Namun, karena Gaska tahu bahwa Ana sedang salah tingkah kepadanya. Ana yang tadinya berjalan santai menuju tangga, kini ia malah berlari sembari tersenyum kegirangan melewati tangga dan menuju ke kelasnya.
Jam pulang sekolah tiba, Ana mengirim pesan kepada Raina untuk menjaga angkringan dan menemani Alma sembari menunggu Ana pulang dari belajar kelompok dengan teman sekelasnya. Raina pun mengiyakan permintaan Ana dan segera menuju ke rumah Ana. Segera Raina memasak makanan yang akan dijualnya di angkringan, menu yang sama dengan kemarin, yaitu sate usus, hati, telur puyuh dan beberapa nugget atau bakso ikan. Dibantu oleh Alma yang memang sudah terbiasa membantu Ana untuk menyipakan bahan jualan dan tidak jarang pula Alma menemani Ana berjualan hingga terkadang ia harus tidur beralaskan terpal hingga digigit nyamuk atau bahkan semut. Alma dan Ana berusaha saling menguatkan satu sama lain saat mereka harus dihadapkan dengan pahitnya kehidupan tanpa seorang ayah ataupun ibu. Mereka tetap saling menjaga dan menyayangi. Ana bertindak sebagai orang tua yang memberi nafkah dan mendidik, Alma bertugas menjadi seorang anak yang membantu kakaknya mencari nafkah. Meski sesekali Alma ingin merasakan apa yang dirsakan teman-temannya, seperti membeli mainan dan memakan ice cream kesukaanya. Alma yang sedang asyik mewarnai bukunya pun mulai gagal fokus dengan penjual mainan yang menjual permen kapas berbentuk bunga warna warni. Raina yang melihat itu pun langsung menawarkannya kepada Alma.
"Alma mau permen kapas?" tanya Raina yang berjalan mengahampiri Alma yang sedang duduk diterpal.
"Enggak" jawab Alma.
Namun, tatapan Alma kepada permen kapas itu tidak sesuai dengan apa yang dikatakannya. Raina pun langsung menghampiri penjual permen kapas itu dan memesan 2 buah permen kapas dengan bentuk bunga. Alma yang melihat itupun meninggalkan semua pensil warna dan buku gambarnya. Ia berjalan mendekati Raina, Raina hanya tersenyum melihat tingkah Alma yang sangat lucu.
"Kak Raina, Alma nggak boleh jajan lagi. Tadi Alma udah beli pensil warna, kasian Kak Ana. Nanti uangnya habis" kata Alma dengan polos, namun tatapannya masih kearah permen kapas yang belum pernah ia makan selama ini.
"Ini Kak Raina beli buat Kak Raina sendiri, bukan buat Alma. Tapi Kak Raina belinya kebanyakan, Alma mau nggak bantuin Kak Raina habisin permen kapas ini?" kata Raina panjang lebar.
"Tapi..".
"Yah, apa Kak Raina buang aja ya?" tanya Raina menggoda Alma yang masih saja menatap permen kapas itu.
"Kata Kak Ana, nggak boleh mubadzir makanan kak. Jadi, kalo boleh. Permennya buat Alma aja, boleh kak? Tapi".
"Ini Kak Raina beli pake uang sendiri kok, bukan pake uang Kak Ana atau uang angkringan".
Mendengar kalimat itu, Alma langsung menerima permen kapas yang sedari tadi ia inginkan. Sambil berjalan menuju angkringannya, Alma melihat penjual pensil dengan boneka diujung pensil itu. Ada yang rambutnya panjang dan dikepang 2, ada pula yang berambut pendek berwarna orange, lalu yang berambut panjang tergerai. Alma menghampiri penjual itu, dan mengambil pensil dengan boneka berambut kepang dan yang tergerai.
"Pak, ini berapa?" tanya Alma kepada penjual hiasan itu.
"Itu 5 ribuan semua dek" jawab penjual itu.
"Kalo 2 jadi 10 ribu ya pak?" tanya Alma lagi.
"Iya".
"Ini pak, uangnya pas" kata Alma sambil meneyerahkan 5 lembar uang 2000an.
Raina langsung menyusul Alma yang sedang memilih milih pensil.
"Alma mau?" tanya Raina.
"Ini buat Kak Raina yang nggak pake pita. Ini buat Kak Ana yang dikepang. Cantik nggak kak?" kata Alma menunjukkan pensil dengan boneka yang berambut terurai untuk Raina dan yang dikepang untuk Ana.
"Loh kok buat Kak Raina, buat apa? Mending buat kamu ya? Buat sekolah" tanya Raina keheranan.
"Kemarin kan Kak Raina ulang tahun, abis itu Kak Ana yang ulang tahun. Ini buat kado Kak Raina sama Kak Ana" jawab Alma.
"Loh, Ana ulang tahun? Kapan?".
"Kemarin lusa, beda 1 minggu sama Kak Raina. Masak cuma Alma yang dikasih hadiah, Kak Ana sama Kak Raina juga dong".
"Ya ampun Alma, kamu lucu banget sih. Trus ini Alma uang dari mana?" tanya Raina sembari menerima pensil yang diberikan Alma.
"Alma nabung kak, kalo dikasih uang saku Kak Ana. Alma simpen 2 ribu, bagus ya kak?" kata Alma sembari terus memainkan boneka pada pensil itu.
"Punya Alma mana?" tanya Raina.
"Alma kan nggak ulang tahun, kak" kata Alma dengan polos.
"Yaudah, ini buat Alma. Nanti kalo Alma ulang tahun, Kak Raina nggak usah ngasih kado ya?" kata Raina sembari mengambil pensil dengan boneka berambut pendek berwarna orange. Dan segera membayar pensil itu.
"Wah, hahahaha. Kita kembaran ya kak. Lucu deh" kata Alma kegirangan.
Mereka pun kembali ke tenda angkringan mereka. Malam itu angkringan memang sedikit sepi, hanya beberapa orang saja yang singgah untuk makan nasi kucing atau hanya sekedar meminum kopi. Tak lama dari kembalinya Alma dan Raina ke angkringan, Ana datang dengan wajah lelah, Alma pun memberikan pensil yang tadi dibelinya kepada Ana. Rasa lelah dan penatnya hilang saat melihat hadiah pemberian adik satu-satunya. Melihat keakraban Alma dan Ana, Raina merasa iri dengan Ana. Ia juga merindukan adik kembarnya, ia merasa Alma menjadi pengganti adiknya, ia juga menyayangi Alma seperti menyayangi Raka dan Rana. Adik kembar laki-laki dan perempuan yang sangat lucu.