Utara, Distrik 14
Westway, Hatemoor
21 Januari 2157
05.33 NPM
Pintu kaca sebuah mansion terbuka begitu Rachel berdiri di terasnya. Ia baru saja kembali dari banyak pekerjaan seharian ini. Tidak hanya menghadiri setengah acara kongres, tetapi juga beberapa urusan di perusahaannya. Toleransi lelah Rachel telah meningkat, hingga Ia dapat tetap terlihat memiliki energi yang cukup menyala menjelang petang.
Berjalan beberapa langkah ke dalam, terdengar suara dua robot AI mendekat, mereka adalah Tenor dan Bass, penjaga sekaligus pelayan utama mansion besar itu.
"Rachel Rachel, rupanya Kau sudah kembali." Tenor yang bersuara laki-laki cempreng itu mengambil alih tas lengan dan blazer putih Rachel, cukup menyisakan gaun merah tanpa tali saja di tubuh rampingnya.
"Rachel Rachel, ada pesan untukmu," ujar Bass kali ini.
"Oh ya? Apakah ada yang datang?"
"Ya, Rachel. Ibu datang dan menitipkan pesan untukmu." Bass lantas menampilkan hologram di depan Rachel yang duduk di meja makan. Wajah sang ibu muncul disana, "Rachel, keluarga Richmann akan mengadakan makan malam keluarga besok, dan Kau harus datang. Aku akan memukulmu jika Kau mangkir!"
Begitu pesannya, membuat Rachel hanya menghela nafasnya malas, "Apa lagi yang akan mereka bahas? Benar-benar membosankan."
"Mungkin mereka akan memintamu segera menikah, Rachel," jawab Tenor dari arah dapur, robot itu membawa satu nampan berisi makanan dan air mineral untuk majikannya automatis.
"Dengan siapa aku akan menikah, Tenor? Jaga mulutmu."
"Tenor tidak memiliki mulut, Rachel, hanya speaker," bantah Bass.
Rachel memutar bola matanya malas, dua robot-robot yang telah disisipkan sel-sel otak pilihan dari majikannya itu memang pandai sekali berbicara dan membantah. "Tenor, tolong siarkan hasil kongres hari ini, karena aku tidak mengikutinya sampai selesai," perintah Rachel seraya mulai menyantap makanan buatan Tenor: bratwurst dan sauerkraut.
"Baik, Rachel."
Lima detik kemudian, layar super tipis seluas dinding dihadapan Rachel sudah berubah tampilan, menayangkan setengah lagi acara kongres usai jeda istirahat yang terpaksa Ia tinggalkan tadi. Durasinya cukup panjang, lebih dari satu jam, dan tidak satu menit pun tayangan itu luput dari pandangannya. Mulutnya mengunyah lambat, sesekali terangkat ujungnya begitu mendengar 'opini jelek' dari beberapa orang di dalam pertemuan itu.
"Astaga, mereka bahkan memulai debat kusir ..."
"Tidak ada seorang pun kusir yang diundang dalam kongres, Rachel," ujar Bass.
"Diam kau, robot cerewet!"
"Oh, baik."
Dua robot itu kembali diam, dan Rachel semakin fokus ketika seseorang dari sayap kanan kongres itu berbicara tentang isu kemiskinan dan ketahanan pangan, dua isu yang tidak sempat dikritisinya.
"Ini adalah masalah struktural ..." ujar pria berkemeja biru langit dengan kacamata itu, "Kualitas hidup manusia salah satunya ditentukan oleh asupan pangan dan nutrisinya. Tidak selamanya pangan sintetik dapat menjadi andalan pemerintah ..."
"Kita, manusia, memiliki indra pengecap yang sebetulnya sudah sangat lama menolak makanan-makanan berbentuk pasta, cairan, atau pil yang dikatakan memenuhi seluruh asupan nutrisi, namun tidak memiliki sedikitpun seni dalam proses konsumsinya ..."
Rachel mengulas senyum tipis, "Hm, seni. Bertentangan, tapi menarik," ujarnya pelan.
"Aku adalah seorang peneliti, dan tidak jarang aku mendapati seseorang yang memuntahkan kembali 'makanan' itu karena mereka tidak menyukai, atau bahkan menurut mereka ... maaf, menjijikan," lanjut pria itu, sangat sopan berbicara, tidak hanya dari nadanya, tetapi juga gesturnya. Rachel penasaran, bagaimana bisa seseorang sangat sopan seperti itu usai menyaksikan keangkuhan para lawan debatnya?
"Tidak hanya itu, harga 'makanan-makanan' ini juga tidak murah, dan para pengusaha beralasan bahwa harga tersebut karena proses teknologi yang digunakan. Kalian di pemerintah mungkin selalu peka, bahwa ini yang menjadi penyebab kemiskinan struktural tetap terjadi di zaman seba maju ..."
"Ya, itu benar sekali, Kawan," tanggap Rachel, mengangguk-nganggukkan kepala sembari kembali menyantap suapan makanan terakhirnya.
"Kalian mungkin tidak pernah melihat bagaimana bentuk kemiskinan ekstrem, karena kalian tinggal di pusat kota, tetapi tidak denganku. Aku hanyalah pria yang berasal dari pinggiran, pelosok pedesaan ..."
"Untuk itu, aku menyarankan agar hutan di utara justru dilindungi untuk mengembalikan sejarah evolusi dengan bantuan teknologi, alih-alih menciptakan kebaruan yang sejatinya tidak bisa mengungguli apa yang telah ada sebelumnya."
Rachel mengerutkan dahi, menautkan kesepuluh jari-jari tangannya di depan dagu, "Siapa dia? Sepertinya ... adalah orang yang sederhana dan tradisional, cenderung kuno ..."
"Dia adalah Niels Geyer, Rachel." Tenor menujukkan hasil pencariannya di hologram, "Dia seorang arkeolog dari Universitas Cohlin."
"Arkeolog?"
"Ya, Rachel."
"Pantas saja pemikirannya seperti itu. Orang yang menarik." Rachel tersenyum miring, namun terlihat manis alih-alih menghakimi. Tak lama dari itu terdengar suara Bass memindai sesuatu, "Pupil mata Rachel membesar, tekanan darahnya dan konsentrasi dopaminnya meningkat, dan dia tersenyum..."
Rachel mengerutkan dahinya, "Apa yang kau lakukan?"
Lampu LED di wajah datar robot itu membentuk emoji smirk, "Rachel Rachel, apa kau tertarik pada Niels Geyer?"
****
Utara, Distrik 12
Foxadon, Grena
22 Januari 2157
07.30 NPM
Rachel memotong daging steak dengan rasa agak aneh di piringnya dengan malas. Seleranya absen sama sekali, ditambah obrolan-obrolan di sepanjang meja makan yang terdengar membosankan baginya. Ah, masih untung keluarganya itu kaya, sehingga mampu membeli makanan eksklusif alih-alih pasta, cairan, atau pil. Sensasi makan malam keluarga tentu tidak akan ada lagi jika yang dihidangkan adalah benda-benda seperti itu.
"Rachel, aku baru ingat, kau baru saja berulang tahun, bukan? Maaf Aku tak sempat mengucapkannya." Lissa, sepupu yang lumayan dekat dengannya itu mengajak bicara. Rachel hanya tersenyum simpul, "Ya. Tidak masalah, bukan apa-apa."
"Lantas berapa usiamu sekarang?" sambung Anita, neneknya dari pihak ibu.
"31 tahun, Eyang."
"Ah, Kau sudah dewasa. Aku masih melihatmu sebagai cucu kecilku sampai sekarang."
"Cucu kecilmu ini sudah berubah menjadi wanita dewasa, Ibu. Tapi sayang dia tak kunjung mau menikah dan memberiku cucu." Vero, ibunya itu tertawa bercanda, tak peduli soal Rachel yang meliriknya tajam penuh kekesalan. Selalu saja hal itu yang dibahasnya sampai Rachel jengah sendiri.
"Tapi aku yakin Rachel pasti memiliki kekasih diam-diam," bisik Jackson, adik sepupu Rachel yang paling provokator.
"Jangan membuat rumor, Jack!"
"Kurasa kau sendiri yang membuat rumor bahwa kau tidak menyukai lelaki karena tak kunjung berkencan apalagi menikah, Kak Rachel!"
"Astaga, aku sungguh masih sangat tertarik dengan laki-laki!" seru Rachel, pasrah dirundung.
"Lalu siapa laki-laki yang membuatmu tertarik itu, Kak? Kenalkanlah padaku," lanjut Lissa, mengerlingkan matanya genit.
Rachel tak menjawab, masa bodoh. Namun sedikit-banyak pikirannya itu teringat kembali akan perkataan Tenor si robot cerewet kemarin sore: Niels Geyer. Astaga, pria itu memang menarik, tapi ya sekedar itu saja, menarik, tidak lebih dan tidak kurang.
"Kudengar kau berbicara jahat di dalam kongres parlemen, Rachel. Apa itu benar?" tanya Marie, bibi dari pihak ayahnya yang sedari awal tadi menyetir percakapan keluarga besar. Pertanyaannya itu membuyarkan Rachel dari lamunan, mendelikkan matanya tak suka. Diantara yang lain, Marie adalah anggota keluarga yang paling sering berseteru dengannya.
"Berbicara jahat yang seperti apa maksudmu? Aku hanya mengatakan apa yang memang seharusnya dikatakan oleh semua orang."
"Ah, begitukah menurutmu?" Marie mengangguk-ngangguk, terlihat sedikit mengolok, "Lalu bagaimana dengan bisnismu? Apakah kau sudah menyerah dengan proyek penelitianmu itu?" lanjutnya.
"Menyerah? Kenapa aku harus menyerah?" Rachel tak habis pikir dengan pertanyaan Marie, "Sepertinya kau harus memperbaiki mental dan pola pikirmu, Tante Marie ..."
"Rachel!" peringat Alan, ayahnya yang sedari tadi diam saja di kursi paling depan. "Jaga bicaramu."
Rachel memutar matanya malas, sementara Marie nampaknya malah semakin menjadi-jadi, "Daripada kau susah payah melakukan penelitian aneh dan mustahil seperti itu, lebih baik kau lanjutkan saja bisnis pakaianmu, itu lebih cocok dan lebih mudah."
Rachel menghela nafasnya sejenak, menaruh pisau dan garpunya, menatap Marie intimidatif, "Berbisnis pakaian tidak salah, berbisnis bioteknologi dan kecerdasan buatan juga tidak salah, yang salah itu hanya mulut besarmu."
"Rachel!" tegur Alan sekali lagi, lebih keras, namun putrinya itu sama sekali tidak peduli.
"Kenapa kau sangat tertarik mengurusiku, Tante? Apa Kau menginginkan saham perusahaanku? Aku bisa memberikannya jika Kau memang ingin. Katakan saja."