Beberapa detik kemudian anak-anak itu terdiam. Terlihat sorot mata tak biasa dari anak perempuan yang menghadap kami, seperti kilat yang tajam mengerikan membuat bulu kuduk kami berdiri, dan kaki kami sulit digerakkan. Tanganku bahkan sampai gemetaran.
Beberapa detik selanjutnya, anak laki-laki yang tengah jongkok membelakangi kami, kepalanya menoleh, selanjutnya berputar 180 derajat namun badannya masih di pososi semula, menyadari hal itu membuat kami semua teriak ketakutan, berbalik dan berlari tunggang langgang
"Haaa ... !!!" Kami berteriak.
Kami masih terus berlari sekencang-kencangnya. Sampai di posko cowok, pintu kami gedor bersamaan.
"Bukaaa!!!"
"Tolooong!"
"Buka cepat!"
Setelah pintu dibuka kami anak perempuan langsung menerobos kamar, di sana ada beberapa anak laki-laki yang sedang tidur, kami tidak peduli.
"Oi, bangun! Pindah sana!" perintah Rani kepada beberapa anak laki-laki tersebut.
Mereka segera pindah ke ruang tengah, di sana kudengar Markus, Andre dan Ilham sedang menceritakan kejadian tadi dengan heboh. Aku, Rani, Gina dan Sarah beranjak tidur tanpa sepatah kata, kejadian tadi cukup membuat kami shock. Tanganku saja masih gemetar. Kami tidur berpelukan, berharap mengusir rasa takut. Masalah dengan Datuk kepala desa, bodo amat lah ....
****
Baru tiga hari di desa ini, aku dan beberapa teman sudah mengalami kejadian aneh semalam. Teman-teman di posko perempuan banyak yang bertanya kenapa kami tidak pulang, bisa kena hukum adat kalau tidur di posko laki-laki. Tapi bagaimana lagi, siapa coba yang berani berjalan menerobos anak kecil misterius itu? Hiii ... aku masih bergidik ngeri.
Kami berempat saja tadi sulit mau beranjak dari tempat tidur kalau tidak di usir paksa dari posko cowok sama Bang Joseph.
Bang Joseph, nama lengkapnya Joseph Mandrawata anak Fakultas Pertanian angkatan 2002, kami panggil 'Bang' karena dia lebih tua dua angkatan di atas kami. Kami rata-rata angkatan 2004. Entah kenapa dia bisa terlambat ikut KKN, kami mengangkatnya jadi ketua posko bukan lantaran dia pintar, kami tidak tahu latar belakangnya di kampus, karena kami yang lain fakultas rata-rata baru mengenal di KKN ini. Yang jelas Bang Joseph lebih senior sehingga kami menggangkat dia jadi ke-Tua. Selain jabatan, ternyata itu mengandung makna yang paling tua. Sifatnya sejauh ini cenderung sombong gak bisa dibantah khas senior lagi ospek, agak menyebalkan sih.
Masih ingat seminggu yang lalu, ketika dibagi kelompok di gedung aula kampus, kami sudah memasuki sesi perkenalan. Aku, Lidia khairunnisa dari Fakultas ekonomi bersama Gina Sundari dan Muhammad Ilham.
Murniati, Markus Sidabutar, Dedi Karyadi dari Fakultas Pertanian. Amir syarifudin dan Widya Astuti dari Fakutas Peternakan.
Zarima, Suryanto, Sri Wahyuni, Nurulia dan Sarah dari FKIP. Andre Sumantri, Joseph Mandrawata dan Rani Silviani dari Fakultas Hukum
Waktu itu kami memakai seragam hitam putih seperti mau ujian. Bang Joseph langsung mengambil alih dan memimpin pertemuan, setelah dicek, di daftar nama ada 17 orang tetapi yang hadir cuma 16 orang. Ke mana satu lagi?
Tiba-tiba muncul cowok berperawakan tinggi, ya sekitar 178 cm la tingginya, berwajah tampan, dengan alis tebal, hidung mancung dan bibir tipis, dengan balutan kemeja putih yang digulung setengah lengan cukup menyihirku untuk menatapnya tanpa berkedip.
"Assalamualaikum semua ...," sapanya
"Hei, darimana saja kamu? Baru nongol, gak disiplin banget!" seru Bang Joseph membuatku sebel, baru saja pertemuan pertama sudah sok marah-marah.
"Maaf tadi saya salat zuhur dulu. Oh ya, saya Abdul Rasyid dari FKIP bahasa Inggris," katanya dengan tenang dan sopan, membuatku semakin terpesona ...
Oalah, Rajin salat, alim, ganteng pula, sungguh kombinasi yang sangat sempurna.
"Pakek sok-sok an salat segala, emang kamu saja yang mau salat?" Bang Joseph masih menghardik tidak puas.
Senior satu ini sepertinya gak sopan banget, makhluk halus.. ee maksudku makhluk selembut dan seindah itu di jutekkin terus, sepertinya dia memang iri sama cowok cakep ini.
"Bang Joseph, sudah! Kita mau milih pengurus kelompok ini, biar cepat selesai!" seruku agak kesal.
"Ya sudah, Bang Joseph ketuanya, Abdul Rasyid wakilnya sebagai hukuman karena terlambat," kata Andre
"Setuju!" jawabku cepat diikuti anggukan tanda setuju dari yang lain.
"Sekertarisnya kau, Lidia,"kata Markus diikuti juga anggukkan yang lain tanda setuju
"Oke," jawabku.
Siapa takut, dengan menjadi sekretaris mungkin bisa sering bareng wakil ... he ... he ... kesempatan ini mah.
"Bendaharanya mbak Zarima," usul Ilham
"Maaf, saya jadi anggota biasa saja, soalnya saya nanti lebih sibuk, saya mau bawa baby ke posko," jawab mbak Zarima, kami memanggil mbak karena bukan hanya Bang Yose yang senior, mbak Zarima angkatan 2003, setahun di atas kami.
"Maksudnya, Zarima sudah menikah?"tanya Bang Joseph
Ada nada kecewa di suara Bang Joseph, aku sih sudah filling, dari tadi Bang Joseph bersemangat mengajak mbak Zarima bercengkrama. Mbak Zarima memang cantik, dibalut jilbab lebar wajahnya yang putih bersih dengan hidung mancung, bulu mata lentik dan alis bak semut beriring seperti keturunan arab, cukup menggoncang kaum adam. Sayang, memang yang cantik seperti itu akan cepat laku, kasihan Bang Joseph ck ... ck ....
"Saya sudah menikah punya anak satu, laki-laki umur satu tahun," jawab mbak Zarima sambil mengangguk dan tersenyum dengan lembut.
"Ooo,"
seperti koor kami kompak bersuara, selanjutnya mbak Zarima bercerita, dia cuti kuliah satu tahun waktu hamil dan melahirkan anaknya, sehingga telat daftar KKN. Suaminya dulu kakak kelasnya di SMP melanjutkan SPMA sempat kuliah satu tahun namun ikut tes PNS ijazah SPMA dan lulus jadi penyuluh pertanian di kabupaten yang sama dengan lokasi KKN.
***
Akhirnya Rani dipilih menjadi bendahara, dia mulai dengan pengumpulan dana iuran anggota untuk konsumsi selama tiga bulan di Lokasi.
Aku ikut membantu pembukuannya, setelah selesai berbenah barang-barang di posko. Hari pertama lumayan capek, sampai di lokasi jam 2 siang langsung beres-beres.
Kami mengenal tetangga kami Nyai Rudiyah, wajah Nyai Rudiyah yang sudah keriput, rambut sudah penuh uban seperti nenek-nenek kadang membuatku heran, anaknya masih kecil-kecil, paling besar SMP kelas 1. Namun aku tidak berani bertanya, takut tidak sopan.
Sore Hari jam 4, Nyai Rudiyah datang memberitahukan pada kami, kalau semua aktivitas MCK dilakukan di sungai kecil seberang rumahnya, karena di desa ini tidak ada kamar mandi. Aktivitas tersebut tidak boleh lewat jam 5 sore, ketika kutanya kenapa, dia hanya mendengus tidak menjawab. Sungguh kesopanan yg tidak kuharapkan.
Kami mahasiswi semua menuju sungai, bagian hulu rupanya khusus perempuan, bagian hilir sungai untuk laki-laki. Ketika kami ke sana, kaum perempuan di sekitar lingkungan sudah berada di sungai tersebut. Mereka memakai basahan kain sarung batik, ada yang mencuci pakaian ada yang sedang mandi. Teman-teman langsung berganti basahan dan nyemplung sungai.
"Wah ... seger banget airnya bening, Fren,"seru Murni sambil teriak dan berenang.
"Ternyata lumayan dalam, seleher aku," seru Sarah kegirangan.
"Hii, dingin airnya!" pekik Gina.
Hanya aku dan mbak Zarima yang belum turun ke sungai, aku risih mandi pakai bahasan. Kurang bersih nampaknya, biasanya bisa disabun dan dibilas sampai bagian tertentu, ups. Mbak Zarima sepertinya juga ragu.
"Mmm, aku lupa bawa jilbab ganti," katanya
"Gak ada yang ngintip, kan? kalau bukak jilbab?" lanjutnya ragu-ragu.
"Gak ada Mbak, sepertinya di sini cewek semua," jawabku.
"Tapi ini alam terbuka ...,"ucapnya ragu.
"Makanya kita cepat-cepat mandinya, Mbak," kataku bersegera memakai kain bahasan.
Mbak Zarima juga mengikuti langkahku, dan semua yang ada di sungai takjub melihat mbak Zarima membuka jilbab, ck ...ck ... seperti bidadari turun dari khayangan. Kulitnya putih berkilau terkena cahaya matahari sore, memantul di atas permukaan air. Rambutnya ikal panjang sepinggang mengurai indah... bibirnya yang merah tanpa lipstik semakin membuatnya sempurna, beruntung sekali suaminya, aku jadi penasaran seperti apa suaminya? Untung dia sudah bersuami, gak kebayang nanti jadi rebutan kaum lelaki di sini.
Ah, hilang saingan satu, he ... he ... he ....
"Kawan kau cantik nian," kata seorang ibu kepadaku "Masih perawan?" sambungnya.
"Sudah bersuami, Bu," jawabku
"O, syukurlah. Tengok di bukit itu, Dek ..., " kata Ibu itu yang belum kutahu namanya menunjuk salah satu bukit di deretan bukit barisan yang mengapit desa ini.
"Itu bukit Manau," katanya lagi
"Ooo." hanya itu kata yang keluar dari mulutku, tidak tahu apa maksud ibu itu menunjuk bukit tertinggi di sana.