"Bukit Manau salah satu bukit tempat manusia harimau tinggal, di sana ada kerajaan makhluk halus yang cukup besar di deretan pegunungan bukit barisan. Konon katanya jika purnama datang di bukit itu sering ada pesta, seperti pesta pernikahan. Jika ada wanita tercantik akan di jadikan pengantin siluman Harimau. Makanya kalau mandi jangan dekat magrib,"
"Haaa?" Aku cukup kaget, gini-gini aku masih perawan dan bisa dibilang lumayan cantik. Ih, ini menakutkan.
"Hoi, cepat mandinya jangan lama-lama, takut, Hih!" Aku berteriak sambil menggidikkan bahu, merinding ketakutan.
Segera aku naik dari sungai disusul Murni dan Sarah yang mendengar juga perkataan ibu tadi, yang lain juga ikut menyusul setelah Sarah berteriak.
"Woi, cepat mandinya! Anak perawan di sini dilarang mandi mendekati magrib, nanti diculik manausia harimau!"
****
Sehabis mandi rasanya segar sekali. Beda memang air sungai pegunungan dengan air kran di indekost, rasanya menyegarkan sampai ke sumsum tulang.
Selesai menyisir rambut, lampu kamar segera kunyalakan, suasana nampaknya sudah mulai gelap, padahal baru jam setengah enam sore. Walaupun di pedesaan ternyata PLN sudah menerangi wilayah ini, syukurlah tidak perlu takut kegelapan. Segera aku menuju ruang tamu sekaligus ruang keluarga, kunyalakan lampunya juga.
Kuamati Rumah posko perempuan ini, ukurannya hanya 7m x 8m, bangunannya semi permanen, lantainya dari semen dan tidak memiliki plafon. Terdapat dua kamar tidur, satu dapur, di dekat dapur ada WC yang tidak disekat, ada bak mandi dan selang tapi tidak ada airnya, sepertinya airnya harus di alirkan dari sungai memakai pompa air. Yah, terpaksa mengangkat air pakai ember kalau mau buang air. Di antara dapur dan ruang tamu sekaligus ruang keluarga itu ada ruang kecil yang disekat lemari, ada tikar pandan yang dibentangkan, di atasnya terdapat sejadah warna maroon yang sudah usang, sepertinya itu ruang salat.
"Lampunya agak redup, ya?" ujar Sarah yang dari tadi duduk di ruang tengah sambil mengamati lampu di atasnya.
"Iya, ya?" aku menimpali ucapan Sarah.
"Bentar, kita ganti saja, aku bawa lampu philip 100 watt," kata Gina segera masuk ke kamar untuk mengambilnya.
"Wei, hebat nian kau Gina, sampai kepikiran bawa lampu segala," kata Sarah dengan suara keras.
"Untuk jaga-jaga," timpal Gina dari kamar.
Memang kuperhatikan Gina memang agak berbeda dari yang lain. Dari segi penampilan, gaya bicara dan terutama barang bawaannya yang sangat banyak, sampai dua koper belum lagi barang-barang lain. Kasurnya saja dia berbeda, rata-rata kami membawa kasur lipat yang mudah dibawa, tapi Gina membawa kasur busa ukuran no 3 untuk satu orang yang kelihatan empuk banget dan mahal. Aku rasa dia anak orang kaya.
"Besok saja masangnya Gin, tidak ada tangga," seruku.
"Pakai meja, ditumpuk kursi saja,"kata Sarah sambil menarik sebuah meja kecil dari kamar dan aku mengambil kursi kayunya. Aku baru tahu ada meja dan kursi di sudut kamar bertumpuk dengan barang-barang kami.
Aku yang memiliki tinggi badan 158 terpaksa yang mengganti lampu, di banding mereka yang rata-rata tingginya 150 cm. Segera kunaiki meja, ternyata tanganku sudah sampai, karena lampu juga menjuntai kabelnya. Sarah segera mematikan lampu, sehingga aku bisa mengganti lampu. Setelah selesai mengganti, lampu dinyalakan kembali.
"Loh, kok masih redup ya?" Kataku
"Iya, ya?" kata Gina dan Sarah hampir berbarengan.
"Gak mungkin lampuku rusak, baru beli sebelum ke sini," kata Gina
"Ada yang aneh, nih." seruku
"Apa yang aneh?" tiba-tiba mbak Zarima keluar kamar sambil membawa seperangkat alat salat.
"Lampunya sudah diganti masih redup, Mbak," jawabku
"Mungkin arus yang masuk sedikit, sehingga lampunya tidak bisa terang," kata mbak Zarima
"Bisa jadi, lampu ini kan nyalur dari rumah Nyai Rudiyah." Sarah menimpali
"Mending kita salat ke mesjid, yuk! Bentar lagi magrib," ajak mbak Zarima
"Yuk, tunggu Mbak, aku ambil mukena dulu," kataku sambil ke kamar mengambil peralatan salat, disusul dengan Sarah.
"Aku nggak, lagi halangan," kata Gina.
Sebelum pergi ke masjid kuajak teman-teman untuk ikut bersama kami, namun tidak semua bisa ikut, alasannya masih capek jadi salat di rumah saja. Kami pergi hanya berempat, aku, Mbak Zarima,Sarah dan Rani.
Kami berangkat sebelum azan magrib berkumandang. Ternyata di depan posko laki-laki kulihat Rasyid, Ilham, Dedi dan Suryanto juga akan berangkat ke masjid. Kupanggil mereka untuk pergi bersama. Kulihat Rasyid gagah sekali pakai baju koko putih tanpa memakai peci, kalau ku perhatikan, Rasyid suka sekali memakai baju berwarna putih, sehingga wajahnya semakin memancarkan aura.
Di tengah jalan, Sarah menceritakan pemasangan lampu, dia membahas dengan cowok-cowok tersebut.
"Hebat ya, Gina selalu siaga," kata Dedi memuji Gina
"Sepertinya Gìna anak orang kaya, ya?" Rani menimpali
"Kalian gak tahu apa? bapak Gina kan anggota dewan provinsi dan ibunya Dokter sekaligus Dosen di Sekolah tinggi kebidanan," kata Ilham menerangkan.
"Oo, pantes!" aku menimpali.
"Anak tunggal lagi," lanjut Ilham
"Wah, kau tahu banyak soal dia kawan, jangan-jangan ...," kata Dedi lagi sambil menepuk bahu Ilham, membuat kami tertawa geli.
"Oi, mikir apa kau? Dia itu teman satu kelas aku, ya wajar aku tahu," kata Ilham sambil menepis tangan Dedi.
Kami masih menertawakan kelakuan mereka, beberapa detik kemudian azan berkumandang dari masjid yang tinggal dua puluh langkah di depan kami.
Setelah lantunan Allah hu Akbar terjeda beberapa detik alangkah terkejutnya kami tiba-tiba di depan kami sekawanan anjing melolong memekikkan telinga dan menyayat hati, aku sampai menutup telinga.