Kamipun menghentikan langkah, mengamati sekitar. Rupanya Lolongan anjing itu bersahut-sahutan seantero kampung, dan anjing-anjing itu kompak menghadap ke satu tempat sambil mendongak. Bukit Manau ....
"Rupanya Desa ini banyak sekali jin," tiba-tiba Rasyid yang dari tadi diam saja mengeluarkan suara.
"Sepertinya jin-jin itu keluar dari Sarangnya. Lahaula wala Quata illabillah ...," sambung Mbak Zarima
"Ayo, lekas kita ke masjid!"seru Rasyid sambil mempercepat langkah. Kami mengikuti setengah berlari.
Masjid Raudhatul Jannah, masjid ini cukup megah dan luas untuk ukuran masjid di kampung, berlantai keramik putih dan berkubah hijau. Tempatnya juga bersih. Namun kulihat hanya sedikit jamaahnya. Di tempat wanita selain kami hanya ada tiga orang nenek yang ikut salat. Setelah Iqomah, kami pun mulai salat berjamaah. Imam salat melantunkan surah Al Lail dengan sangat merdu, rasa takut di dadaku membuatku salat dengan sepenuh hati. Seumur hidup baru kali ini aku salat dengan khusuk hingga serasa kakiku tidak menginjak bumi.
****
Setelah salat subuh, sudah menjadi kebiasaan sejak lama kulanjutkan dengan membaca Alquran. Membaca kitab suci di awal hari selalu memberi energi positif untuk bekal menjalani aktivitas seberat apapun beban kehidupan ini. Hari sudah jam 6 pagi, ketika kubuka jendela depan yang terbuat dari kayu, suurr ... angin dingin nan segar masuk ke dalam rumah.
Ah, alam pedesaan memang menyegarkan. Kumanjakan mata ini menikmati pemandangan persawahan yang membentang, padinya mulai berisi, sebagian ada yang mulai menunduk walau warnanya masih hijau, menyejukkan mata sekali. Kuedarkan pandangan lebih jauh sambil membuat gerakan senam ringan, putar kepala, kaki, lengan dan bahu. Kurentangkan tangan ke atas sambil menggeliatkan tubuh. Ah, terasa rileks sekali.
Kupandangi deretan bukit barisan yang menjulang tinggi, sebagian tertutupi awan tipis, sungguh indah pemandangan desa ini, anugerah Tuhan yang tak ternilai. Berbeda suasananya dengan di kota, di mana kampus kami berada, udara sudah tercemari oleh banyaknya kendaraan. Di sini serasa damai, tentram... ah, napasku serasa plong.
Kulangkahkan kaki ke halaman, kuamati sekitaran rumah, di ujung halaman tumbuh bunga-bunga yang tidak terurus sehingga menjadi liar. Bunganya bermekaran warna-warni, ada merah, putih, pink, ungu dan kuning. Seperti bunga tapak darah, tapi sepertinya berbeda, lebih cantik, bunga apa ini? Aku baru melihat bunga seperti ini.
Kulangkahkan kaki kesamping rumah. Wow ... ada pohon jeruk bali yang berbuah, letaknya sekitar 5 meter dari samping rumah sebelah kiri. Pohonnya lumayan tinggi, buahnya ranum sebesar bola volli, setelah kuhitung ada dua belas buah yang bergelantungan, ada empat buah yang warnanya sudah menguning, pasti sudah masak. Bahkan ada tiga buah yang berjatuhan ke tanah, sepertinya kondisinya masih bagus. Namun, ada beberapa yang sudah membusuk. Hmm... sepertinya aku tidak akan kekurangan vitamin C di sini, uhuy ... auto panen, nih!
"Jangan coba-coba nak metik buah tu!"
Baru berjalan dua langkah mendekati pohon jeruk bali itu, tiba- tiba dari belakang terdengar sebuah suara.
Aku terperanjat, kaget. Kubalikkan badan, tepat di depanku Nyai Rudiah menatapku datar tanpa ekspresi.
"Kenapa, Nyai?" tanyaku penasaran.
"Buahnyo pahit, dak enak," jawabnya sambil berlalu "Ingat, jangan di ambek!" katanya sekali lagi sambil menoleh sekilas ke arahku.
Buahnya pahit? Oww ... berarti dak pernah nyicip jeruk bali ni wanita tua. Di belakang rumah ibu kost kami ada pohon jeruk bali, biarpun buahnya tidak sebanyak ini, tapi jika berbuah, ibu kost sering berbagi buah ini dengan anak-anak kost. Kalau dapat yang masak, bulirnya yang besar-besar berwarna merah itu terasa manis dengan sedikit kandungan air. Namun jika mentah ya terasa pahit. Duh, sayang ini berjatuhan gak ada yang makan.
Kuurungkan dulu niatku untuk panen raya jeruk bali kali ini, lebih baik aku siap-siap untuk kegiatan hari ini. Di pintu masuk aku bertemu Murni, Sarah dan Sri.
"Kemana, Oi?" tanyaku, sepertinya mereka akan pergi
"Sekarang kan jadwal kami piket, jadi kami mau belanja ke pasar, sudah itu masak. Nanti bantu kami masak ya?" jawab Murni
"Sekarang kan tidak ada pasar kalangan, mau ke pasar mana?" tanyaku lagi
"Walau tidak ada kalangan, pasar sayur buka tiap hari. Kami berangkat ya!" Mereka bertiga berangkat ke pasar berjalan kaki, jaraknya lumayan jauh, sekitar satu kilo meter.
Melihat mereka pergi, aku hanya duduk-duduk saja di depan pintu. Pasar kalangan ada di hari minggu, masih tiga hari lagi. Biasanya pasar kalangan akan ada berbagai macam dagangan, pedagangnya datang dari berbagai wilayah, bahkan ada yang dari luar daerah. Aku berniat membeli beberapa pakaian dalam dan ember untuk mencuci pakaian dan mengangkat air. Aku hanya memiliki satu ember kecil, kurasa itu tidaklah cukup.
Aku berniat bangkit untuk mengajak Rani dan Gina mandi pagi di sungai, ketika dari kejauhan kulihat sesosok pria membawa tas besar menyusuri pematang sawah, semakin mendekat nampak pria itu menggendong seorang bayi dengan gendongan kodok. Wah, aku bisa menebak siapa dia ...
"Mbak Zarima! Sepertinya suami mbak datang tuh!" teriakku sambil wajah ini kulogokkan ke dalam rumah.
"Oya??" jawaban di dalam nampak kegirangan.
Aku bangkit, berdiri di depan pintu. Laki-laki itu sudah mendekat, wajahnya nampak jelas. Wow, suami mbak Zarima face-nya mirip gaya Amir Khan, aktor Bollywood salah satu idolaku setelah Sharukh khan dan Salman Khan. Ketiga aktor itu memang legend dan tidak akan pernah terlupakan bagi penggemarnya seantero dunia termasuk aku. Hanya saja hidungnya tidak sebangir Amir Khan. Kulitnya yang cokelat muda, dengan tubuh atletis, dan tinggi sekitaran 170 cm, nampak menawan di balut kaus casual warna abu-abu dan celana jeans biru muda.
Cambang dan kumisnya sepertinya di cukur rapi, menyisakan janggut tipis yang terawat. Sungguh pasangan yang serasi dan cocok banget, bikin ngiri saja, hu..hu..hu kapan aku punya suami yang serasi denganku ya? Ais, mikir suami, pernah pacaran aja belom.
"Assalamualaikum," kata Lelaki itu sambil tersenyum ramah.
"Walaikumsalam, duh... jagoan umi datang ya?" seru mbak Zarima sambil berlari menyambut suaminya, menyalami dan mencium tangan suaminya. Setelah itu diambilnya bayi dalam gendongan lelaki itu.
"Abang langsung pergi ya dek, mencari kamar kontrakan untuk adek, nanti kalau dah dapat abang kembali lagi," kata lelaki itu setelah berbasa-basi denganku dan memperkenalkan dirinya.
Namanya Ikhram. Kepanjangannya belum dikasih tahu. Sebagai penyuluh pertanian sepertinya dia banyak kenalan di daerah ini, walaupun wilayah kerjanya di kecamatan lain.
Mbak Zarima senang sekali, walau baru satu hari meninggalkan baby Zidan, dia mengatakan serasa sudah bertahun-tahun merindukannya. Agak lebay sih, namun mungkin begitulah perasaan seorang ibu.
Mbak Zarima langsung memberi ASI bayinya di kamar. Anak-anak yang di kamar kudengar heboh, menggoda bayi Zidan yang lucu. Setelah memberi ASI bayi Zidan sampai kenyang, mbak Zarima membawa anaknya ke ruang depan dekat jendela. Spontan bayi Zidan tiba-tiba menangis kencang sekali. Kami terkejut mendengar tangisan bayi Zidan, mbak Zarima sampai panik mendiamkannya
"Kenapa Mbak, kok nangisnya kencang banget?"
"Gak tahu nih."
"Ada yang sakit dak?"
"Entahlah ... cup cup sayang, ini Umi sayang ...." Mbak Zarima masih berusaha menenangkan bayi Zidan, namun tangisnya tidak juga berhenti.
Mbak Zarima-pun membawa bayi Zidan keluar, aku terus menemani. Bayi Zidan mulai mereda tangisnya. Mbak Zarima melangkah ke samping rumah
"Eh, dek ... ada buah apa itu?" kata mbak Zarima sambil menunjuk pohon jeruk bali di samping rumah.
Tiba-tiba bayi Zidan memekik menangis kejer, lebih kencang dari sebelumnya, bahkan muka dan badannya sampai memerah parah. Sesekali suaranya tidak terdengar saking kejernya. Mbak Zarima segera masuk rumah setengah berlari, dia menyuruhku menutup pintu dan jendela. Diambilnya sebuah kitab kecil dari tas nya bertuliskan Al-Ma'surat, dibacanya kitab itu, ternyata isinya beberapa kandungan Alquran. Dibaca kadang pelan kadang dengan nada tinggi. Bayi Zidan mulai tenang di gendongan uminya. Perlahan-lahan mulai tidur pulas.
***
Mbak Zarima mulai berkemas, suaminya sudah datang dan sudah mendapatkan rumah sewa yang tidak jauh dari posko cowok, sekitar 100 meter jaraknya. Tadi malam ketika dosen pembimbing kami datang dia sudah meminta ijin untuk menyewa rumah sendiri karena membawa bayi dan diakhir pekan suaminya akan rutin berkunjung, jika serumah dengan kami para gadis cantik tentu akan rikuh dan tidak patut. Beberapa barang sudah diangkut suaminya satu persatu.
"Semuanya, Mbak pamit ya, seringlah main ke kontrakan Mbak."
"Iya Mbak, sudah pasti itu," timpalku
"Oya Lidia, ini Al-Ma'surat, Mbak berikan untukmu," katanya sambil menyodorkan kitab kecil itu.
"Loh Mbak, Mbak gimana? Mungkin Mbak lebih membutuhkan," kataku tidak enak hati.
"Mbak sudah hapal. Kalian harus rajin mengaji, jangan sampai tinggalkan salat lima waktu, di sekitar kalian, banyak di huni bangsa astral," katanya pelan. Membuat kami berlima duduk merapat kearahnya, hawa dingin mulai menyusup ke jiwa kami ketika mulai membahas hal tersebut.
"Pohon jeruk bali di samping rumah ada penunggunya, sepertinya bukan cuma satu, tapi lebih dari satu," kata Mbak Zarima lagi.