Menjadi seorang Dokter spesialis anak bukanlah pekerjaan yang mudah. Terlebih suasana hati anak-anak yang sering kali berubah secepat jarum jam berdetak membuatku harus ekstra sabar menghadapinya.
Aku bekerja di salah satu rumah sakit swasta di Chiang Mai selama 1 tahun. Gelar Dokter spesialis aku dapatkan setelah perjalanan 9 tahun lamanya menuntut ilmu selepas lulus SMA. Proses yang tidak mudah dan penuh dengan tangisan kini terbayar sudah setelah gelar Sp. A yang tersemat di belakang namaku.
Perjalanan pendidikan ku bisa terbilang cukup singkat. Masa kuliahku hanya 3 tahun, kemudian dilanjutkan pendidikan profesi yang berlangsung dalam program koasisten selama 1,5 tahun. Setelah itu aku diharuskan menjalani ujian negara berupa Ujian Kompetensi Dokter dan setelah dinyatakan lulus, aku dilantik menjadi Dokter. Tidak selesai sampai di sana, aku juga harus mengikuti program dokter internship, dimana aku ditempatkan di layanan kesehatan milik pemerintah selama 1 tahun. Aku berhasil melewati internship dan mendapatkan Surat Tanda Registrasi dokter yang dapat dipergunakan untuk mengurus Surat Ijin Praktik, termasuk melamar untuk sekolah spesialisasi.
Sejak aku menginjak usia 16 tahun, aku bercita-cita ingin menjadi dokter spesialis anak. Maka dari itu aku melanjutkan program dokter spesialis, singkatnya selama 3 tahun karena aku memang mengejar target. Kemudian aku menjalani Program Wajib Kerja Spesialis di daerah selama 1 tahun, mirip seperti program internship. Setelahnya barulah aku dapat berpraktik mandiri sebagai seorang spesialis, namun aku memilih untuk bekerja di rumah sakit karena aku bisa belajar sekaligus berinteraksi dengan dokter lainnya.
Sejujurnya aku pernah hampir menyerah lantaran otakku sudah tak sanggup menampung berbagai macam hal yang harus aku pahami. Tetapi kedua orang tuaku selalu memberiku motivasi bahwa sesuatu yang kita kerjakan dengan sungguh-sungguh akan berbuah manis.
Satu hal yang selalu aku ingat dari sekian banyak nasehat yang Ibuku berikan.
"Prosesnya memang rumit dan melelahkan, tidak harus cepat. Nikmati segala sakit dan perihnya, agar kelak bahagianya lebih bermakna."
Aku selalu menjadikan kalimat itu sebagai pembangkit semangatku bahwa aku sudah melangkah sejauh ini dan tidak mungkin jika aku berhenti sebelum mencapai garis finis. Beruntungnya, kedua orang tuaku selalu ada di sampingku saat aku menghadapi masa-masa tersulit dalam perjalanan pendidikan ku. Terlebih aku adalah anak tunggal mereka, jadi tidak heran jika kedua orang tuaku memberikan perhatian lebih padaku.
Aku sangat beruntung mempunyai orang tua seperti kalian. Aku sangat mencintai kalian.
*****
Malam hari diakhir pekan kami gunakan untuk menghabiskan waktu bersama, seperti mengobrol dan melakukan aktifitas lainnya yang dilakukan bersama-sama.
Sekarang kami sedang menonton serial drama Korea, tentunya atas usulan Ibuku. Sebenarnya drama ini tayang pada tahun lalu, namun ibuku kembali mengulangnya lantaran menyukai alur cerita di dalam drama tersebut.
"Kau tahu Anna?" tanya Ayah disela-sela menonton drama tersebut.
"Anak rekan bisnismu?" ujar Ibu memastikan yang diangguki oleh Ayah.
"Dia akan menikah Minggu depan, tentunya kita diundang."
"Kau bercanda?!"
"Untuk apa aku bercanda, memangnya apa salahnya kita datang ke pesta pernikahan putri rekan bisnismu?!"
Aku melirik kedua orang tuaku yang duduk di sofa sebelahku. Sepertinya pertikaian akan segera dimulai, berbarengan dengan adegan pertengkaran antara istri sah dan selingkuhan suaminya dalam drama yang kami tonton.
Oh mungkin sekarang hanya aku yang menonton, karena kedua orang tuaku sibuk bertengkar.
"Aku tidak mempermasalahkan undangan dari rekan bisnismu, yang menjadi masalahnya adalah Anna!"
"Memangnya ada apa dengan Anna?"
Ibu memposisikan dirinya menjadi menghadap ayah dan membelakangiku.
"Diusianya yang baru dua puluh tahun--"
"Dua puluh dua," koreksi Ayah seraya memakan keripik.
"Iya. Diusianya yang baru dua puluh dua tahun itu masih sangat muda untuk menjalin hubungan pernikahan. Masa-masa itu seharusnya ia gunakan untuk mencari pengalaman, bukan menikah!" tegas Ibuku.
Ya seperti yang kalian lihat. Ibuku adalah tipe wanita yang selalu mengutamakan kepentingan untuk masa depan, segala sesuatunya harus berdasarkan pemikiran yang matang sekaligus belajar dari pengalaman orang lain. Ibuku memang selalu bertindak dengan mengandalkan kekuatan logika.
"Menikah juga akan menjadi pengalaman baginya!" sanggah Ayah.
"Dan berpotensi menjadi janda diusia muda juga, begitu pengalamannya?"
Sudah. Ayah pasti kalah jika beradu argumen dengan Ibu.
"Lalu apa masalahnya denganmu? Ini urusan dia dan keluarganya, untuk apa kau mencampuri urusan orang lain?!"
"Aku hanya memberikan tanggapan, apakah salah. Lagi pula menurutku usia yang ideal bagi perempuan untuk menikah adalah dua puluh tujuh tahun, di mana pola pikir mereka sudah matang. Bukan seperti Anna yang masih bau kencur!" cerocos Ibuku tak mau kalah.
"Lalu bagaimana dengan putrimu? Fiya sudah sangat matang untuk berumah tangga."
Secara reflek aku menoleh ke arah Ayah yang tengah menatapku tanpa ekspresi. Aku tidak ikut-ikutan dalam pertikaian mereka, lalu mengapa Ayah justru menarik namaku. Terlebih ia menyinggung soal status hubunganku.
Aku tahu, diusiaku sekarang memang sudah sangat pas untuk berumah tangga. Tetapi jika aku saja belum menemukan pasangan yang cocok untuk mendampingiku, aku harus bagaimana? Tidak mungkin jika aku asal memilih, aku tidak ingin menyesal dikemudian hari.
"Daddy, kau mengiasku?!" tuduhku.
"Ya! mengapa kau melakukan ini, dia putrimu!" amuk Ibu.
"Aku mengatakan dengan sebenarnya," kilahnya.
"Daddy, kau menyinggung perasaanku!" aku memberenggut kesal.
Mencari pasangan yang cocok dengan segala aspek yang ada dalam diri kita sangatlah susah. Terlebih di zaman sekarang, hampir semua pria mencari perempuan hanya berdasarkan fisik dan materi pun kelebihannya dan mengesampingkan kekurangan pasangannya. Itu sangat tidak adil.
Bukannya aku tidak laku, sejujurnya banyak pria yang mencoba mendekatiku namun aku menolaknya karena aku tahu mereka mendekatiku karena aku adalah keturunan keluarga Cheewagaroon, keluarga terpandang sekaligus pebisnis sukses di Chiang Mai.
Aku hanya membutuhkan pria yang menerima segala kekuranganku serta melengkapinya dengan kelebihan yang ia miliki tanpa memperdulikan latar belakang keluargaku. Sayangnya sampai detik ini aku masih belum menemukan pria idamanku, alhasil aku harus bersedia untuk tetap sendiri.
Ibu memukul pelan lengan Ayah, kemudian dibalas olehnya dengan senggolan kecil.
"Mencari pasangan yang sesuai dengan kriteriaku tidaklah mudah. Apalagi aku adalah anak sekaligus cucu satu-satunya keluarga ini, mereka mendekatiku hanya karena aku adalah keturunan Cheewagaroon. Mereka tidak benar-benar tulus mencintaiku," jelasku panjang lebar seraya menahan sesak di dalam dada.
Aku sangat tidak suka jika disinggung perihal pernikahan. Kapan menikah? sudah cukup umur kok masih sendiri? tidak laku ya?, itu adalah kalimat paling horor yang selalu aku hindari.
Aku tidak tahu Ayahku hanya bercanda atau bagaimana, tetapi yang jelas aku sangat sensitif tentang topik obrolan malam ini.
"Fiya, Daddy hanya bercanda," ujar Ayah seraya berjalan mendekatiku.
"Tetapi itu tidak lucu, Dad!"
"I'm sorry, my dear." Ayah memelukku dan mencium keningku penuh sayang.
"Ayah tidak memaksamu untuk menikah dalam waktu dekat. Nikmati semua yang kau miliki sekarang, kebebasanmu, kebahagiaanmu, sebelum semuanya terenggut saat kau memilih untuk menikah," ujarnya penuh akan nasehat.
"Mencari pasangan yang satu frekuensi denganku tidaklah mudah, terlebih mereka tahu bahwa aku adalah putrimu," ucapku menimpali.
"Daddy mengerti. Kau tidak perlu buru-buru, lakukan apa yang kau senangi dan begitupun sebaliknya."
Aku mengangguk sebagai respon. Kemudian aku merasakan pelukan dari Ibuku, disusul kecupan singkat di pipiku.
Memilih untuk berumah tangga bukanlah hal yang mudah untuk dijalani. Makna dari pernikahan itu sendiri adalah menyatukan dua kepala yang sudah jelas belainan visi dan misinya. Oleh sebab itu kita butuh pasangan yang bisa menerima serta memberi rasa tanggung jawab satu sama lain dan lebih dari sekadar penyatuan fisik.
Sejujurnya aku juga ingin memiliki pasangan yang bisa menemaniku mengisi lembaran cerita hidupku, tetapi kembali lagi pada realita bahwa Tuhan masih belum mengizinkanku mendapatkan pendamping yang terbaik. Maka dari itu aku berusaha untuk selalu mensyukuri setiap nikmat yang Ia berikan untukku, dan aku yakin bahwa Tuhan maha adil.
*****
Seorang pria bersetelan hitam berdiri di depan sebuah makan yang nampak masih baru dengan sebuah buket bunga anyelir berwarna merah dan putih yang berada di genggamannya.
Sorot matanya yang sendu menatap nisan kokoh yang terukir sebuah nama. Raut wajahnya yang datar tak bisa membohongi tatapan matanya yang tersirat sebuah kerinduan yang mendalam, persis seperti makna bunga anyelir yang dibawanya. Anyelir putih yang melambangkan cinta, dan anyelir merah yang melambangkan persahabatan.
Pria itu berjongkok, kemudian mengusap nisan tersebut dan disusul dengan meletakkan bunga tepat di depan batu nisan.
"Bagaimana kabarmu? Apakah di sana menyenangkan? Sepertinya kau sudah mendapatkan tempat yang jauh lebih baik," ucapnya seraya mengusap batu nisan tersebut menggunakan ibu jarinya.
Beberapa menit kemudian suasana kembali hening. Hembusan angin di siang hari berhasil menggerakkan ranting pepohonan yang berdiri di sekitar area pemakaman.
Helaan nafas berat berhambur dengan semilir angin di siang hari. Pria itu menundukkan kepalanya seraya memejamkan mata.
"Aku merindukanmu," ucapnya begitu lirih nyaris tak terdengar.
"Apakah aku begitu jahat padamu sehingga kau pergi meninggalkanku? Atau karena kau tak lagi mencintaiku?."
satu tetes air mata jatuh membasahi tanah, berbaur dengan rumput hijau yang tumbuh subur. Apakah mencintai seseorang akan semenyakitkan ini?
Disaat kebahagiaan baru saja hadir, tanpa bertahan lama ia menghilang hanya dalam satu kejapan mata saja. Dosa apa yang pria itu lakukan sehingga Tuhan tak ingin melihatnya tersenyum bahagia?
"Maafkan aku. Maafkan aku yang terlalu egois, maafkan aku yang terlalu menuntut kesempurnaan darimu, dan maafkan aku yang terlalu menuntut untuk selalu bersamaku sehingga aku lupa bahwa hidupmu bukan hanya tentang diriku. Maaf."
Sebuah tangisan dalam diam sungguh menyiksa diri. Ingin menyalahkan keadaan pun ia tak bisa, ingin mengulang waktu pun itu hal yang mustahil, dan ingin memperbaiki kesalahan pun semuanya telah terjadi dan tak bisa kembali. Kini, yang ia bisa hanyalah menerima pahitnya sebuah penyesalan dan menangisi kepergiannya.
Benar apa yang dikatakan oleh orang-orang bahwa sebuah penyesalan akan datang diakhir. Tetapi seharusnya dia juga percaya bahwa manusia akan datang dan pergi, perihal kapan dan siapa biarlah itu menjadi rahasia-Nya, tetapi yang jelas bahwa kita juga termasuk dari mereka. Kita hanya menunggu waktu itu tiba, benar begitu bukan?
"Kau adalah bagian penting dalam perjalanan hidupku, dan aku akan selalu mengingatmu, sahabatku."
Pria itu beranjak dari duduknya. Ia menatap sekilas makam tersebut sebelum benar-benar pergi.
*****
Di sebuah gedung megah tengah melangsungkan sebuah acara pop concerts yang dihadiri oleh seorang musisi yang tengah naik daun berkat lagu-lagunya yang berhasil membius telinga para pecinta musik pop.
Teriakan para penonton yang didominasi oleh perempuan membuat suasana semakin ramai, ditambah oleh bintang utamanya yang tampil dengan gaya yang berhasil membuat para kaum hawa histeris.
Kemeja putih yang membalut tubuh atletisnya ia lepas sehingga hanya menyisakan singlet yang secara langsung menunjukkan otot-otot tubuhnya, belum lagi wajah tampan yang penuh dengan keringat membuatnya semakin terlihat sempurna. Tentu saja hal tersebut membuat suasana semakin panas.
Si pelaku dengan wajah tengilnya tersenyum miring, sedangkan para kaum hawa yang menonton bersusah payah untuk tetap menjaga kesadaran diri karena ini terlalu sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata.
Musik berhenti disusul oleh teriakan serta tepukan tangan para penonton mengakhiri lagu tersebut.
Acara tidak selesai begitu saja. Setelah konser selesai, biasanya agensi memberi ruang kepada para penggemar untuk berjumpa secara lebih dekat dengan sang idol atau biasa disebut fanmeet.
Tentu saja hal ini dilakukan dengan cara undian atau bisa juga tiket konser edisi terbatas karena tidak semua diperbolehkan untuk hadir, agensi selalu membatasi untuk setiap fanmeet yang dilakukan demi kenyamanan artisnya.
"Kau harus istirahat sebentar sebelum acara jumpa penggemar dimulai," ucap salah satu stuff.
"Terimakasih," balasnya.
Seorang pria yang mengenakan setelan santainya datang, kemudian duduk di sebelah bintang konser malam ini.
"Kau hebat, aku tidak pernah berfikir jika kau akan membuat konser kali ini semakin seru," ujarnya seraya menepuk pelan pundak artis tersebut.
"Aku hanya ingin membuat kesan pertama konser mereka menjadi luar biasa dan tak terlupakan," jawabnya seraya terkekeh kecil.
"Kau memang selalu tahu apa yang diingkan penggemarmu, aku bangga padamu."
"Aku tidak akan menjadi seperti sekarang jika tanpa dirimu, Kak Kriss."
"Aku hanya membantu sedikit, selebihnya ini adalah usahamu sendiri. Aku bangga menjadi manager mu."
Pria bernama Kriss itu memeluknya erat seolah-olah ia menyalurkan rasa bahagia sekaligus bangga dengan pencapaian anak didiknya.
"Jeff, lima menit lagi acara jumpa penggemar akan segera dimulai, bersiaplah dari sekarang," ujar seorang stuff.
"Baiklah, aku akan mengganti baju, terimakasih sebelumnya."
"Kakak, aku akan mengganti bajuku," ucapnya pada sang manager.
"Pergilah, kau akan mendapat banyak cinta malam ini, Jeff."
Senyum manisnya terbit sebelum masuk ke dalam ruang khusus untuk berganti baju.
Beberapa menit kemudian sang artis telah duduk manis di atas mini stage sambil menunggu interaksi yang lebih dekat dengan para fansnya.
Satu persatu fans yang beruntung mendapatkan tiket khusus bergantian menghampiri sang idola dengan membawa beberapa hadiah dan juga barang pribadi yang ingin diberi tanda tangan.
"Tuan J, mau kah kau menikah denganku?!" teriak salah satu fans yang duduk di kursi barisan tengah.
Semua orang yang menghadiri acara tersebut bersorak sekaligus bertepuk tangan sebagai respon atas keberaniannya untuk mengajak idola ternama menikah.
Sementara pria yang diajak menikah itu tertawa geli, kemudian mengambil mic yang tergeletak diatas meja.
"Umurmu berapa?" tanyanya.
"Sembilan belas tahun!"
"Woah, kau sangat beruntung bisa datang ke sini, tetapi maafkan aku, aku tidak bisa menikahimu karena orang tuamu akan memarahiku."
Sontak saja para penggemar tertawa menanggapi jawabannya. Ini sungguh lucu, ditolak secara langsung di tempat umum memang memalukan, tetapi keberaniannya bisa diacungi jempol.
" Tuan Jeffrey, aku tidak mau mengajakmu menikah, tetapi bisakah aku menjadi asistenmu?!" teriak penggemar yang lain.
"Tidak bisa, jika kau menjadi asistenku maka Kakak Hui akan menganggur," jawabnya polos yang dihadiahi gelak tawa.
Memang harus seperti itu. Kita perlu lebih dekat dengan penggemar agar mereka merasa nyaman serta menerima lagu-lagu yang kita buat.
Menurutnya, seorang artis tidak perlu menjadi orang lain untuk disukai banyak orang, ia hanya perlu menjadi diri sendiri dan melakukan semuanya sesuai dengan semestinya, meskipun ia juga harus menerima segala konsekuensinya sebagai seorang idol.
Seorang remaja laki-laki menjadi giliran selanjutnya. Ia membawa sebuah boneka rusa yang ia jadikan sebagai hadiah.
"Hi, kulihat kau adalah laki-laki satu-satunya diantara mereka," ucapnya seraya menunjuk para penggemarnya.
"Sepertinya Dewi Fortuna tengah memihakku," jawabnya seraya tertawa kecil.
"Sunny?"
"Ini adalah buku harian temanku, dia adalah penggemar beratmu, tetapi dia tidak bisa hadir karena hari ini dia akan melakukan operasi."
"Aku turut berduka, semoga temanmu cepat sembuh."
"Terimakasih."
"Lalu, mana barang milikmu yang ingin kuberi tanda tangan?"
Remaja itu nampak terkejut mendengar kalimat yang diucapkan idolanya.
"Aku pikir hanya bisa satu barang saja, maka dari itu aku memilih buku milik sahabatku saja untuk kau tanda tangani," ucapnya polos.
"Ini khusus untukmu, kau tak perlu mengatakannya pada orang lain. Anggap saja ini sebagai hadiah atas kebaikan hatimu," ucapnya sedikit berbisik.
"seriously?"
"of course, why not?"
Dengan wajah gembiranya, remaja laki-laki itu mengeluarkan sebuah figura bergambar pria yang duduk di depannya untuk ditanda tangan.
"Apakah ini gambarmu?"
"Iya, aku sendiri yang menggambarnya," katanya antuas.
"Ini sangat indah, lain kali jika kau datang ke acara ini lagi, kau harus membawakan duplikatnya untukku."
"Tentu saja, aku akan membawakannya untukmu. Sekali lagi terimakasih, sahabatku pasti akan sangat senang. Sampai jumpa."
"Sampai jumpa, aku titipkan salam untuk sahabatku."
Remaja itu mengangguk mantap seraya melambaikan tangannya sebelum ia keluar ruangan.
Menjadi alasan seseorang untuk tetap hidup menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi Pria yang akrab disapa Jeffrey oleh para penggemarnya. Ia merasa sangat senang karena ia bisa berguna untuk orang lain dan membangun semangat mereka lewat lagu-lagunya.